Oleh M. Ridwan Thalib, Direktur Al-Jama’ah TV
“Perdamaian sejati tidak akan lahir tanpa keadilan. Gencatan senjata hanya bermakna jika hak-hak rakyat Palestina dipulihkan.”
Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump tampil di hadapan publik dunia dengan membawa “rencana perdamaian Gaza”, dunia kembali menyaksikan ironi lama, selebrasi atas gencatan senjata di tengah reruntuhan keadilan yang hancur.
Dengan retorika optimistik tentang “Timur Tengah Baru”, Trump menggambarkan dirinya sebagai arsitek perdamaian. Namun, di balik kata-kata diplomatik itu, tak terdengar satu pun pengakuan terhadap penderitaan rakyat Palestina yang terus berlangsung di bawah pendudukan Israel.
Baca Juga: AS–Israel: Koalisi Setan Pembantai Rakyat Tak Berdosa
Bagi mereka yang menilai dengan nurani, kesepakatan ini tidak lebih dari jeda kemanusiaan yang rapuh — sebuah istirahat singkat dalam rangkaian panjang kekerasan yang belum pernah benar-benar berhenti. Sebab, bagaimana mungkin perdamaian dapat tumbuh di tanah yang masih dipenuhi blokade, pengusiran, dan genosida?
Penampilan Trump di Knesset, yang diklaim sebagai tanda berakhirnya genosida di Gaza, sesungguhnya merupakan panggung politik untuk menegaskan citranya. Peristiwa itu menandai penghentian sementara serangan Israel yang telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina selama dua tahun terakhir, sementara sejumlah peneliti memperkirakan jumlah korban sebenarnya bisa mencapai 680.000 jiwa. Namun, korban-korban itu tampaknya tidak menjadi perhatian utama dalam pertemuan tersebut.
Acara di Knesset lebih menyerupai pertunjukan saling menyanjung antara Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—sebuah perayaan atas “keunggulan Israel” dalam penghancuran dan penaklukan.
Trump bahkan dengan lantang berkata kepada Israel: “You’ve won” — “Kalian telah menang,” seraya menyanjung Netanyahu atas “pekerjaan besar yang telah dilakukan”. Ia bahkan menambahkan dengan penuh kebanggaan, “Kami membuat senjata terbaik di dunia, dan kami telah memberi banyak kepada Israel — dan kalian menggunakannya dengan baik.”
Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan
Sebuah penghormatan yang membenarkan genosida dan kelaparan paksa di Gaza. Lebih jauh, Trump menggambarkan dirinya sebagai penyelamat dari apa yang ia sebut “tragedi 3.000 tahun”, serta mengklaim telah mengakhiri tujuh perang dalam tujuh bulan—angka yang tak pernah terbukti secara faktual. Namun, dalam dunia yang diatur oleh pencitraan politik, kebenaran sering kali kalah oleh tepuk tangan.
Kesepakatan yang ditawarkan Trump menuntut Hamas untuk melucuti senjata dan menerima pemerintahan sementara yang melibatkan tokoh asing seperti Tony Blair—sebuah usulan yang langsung ditolak oleh Hamas karena dianggap menyalahi prinsip kedaulatan Palestina.
Trump pun menafsirkan keraguan Hamas sebagai “penolakan”, sementara Netanyahu dihadapkan pada tekanan dari koalisi sayap kanan yang mengancam akan menjatuhkannya jika ia menyetujui kesepakatan yang menguntungkan Palestina.
Dengan demikian, jelas bahwa yang disebut “rencana perdamaian” ini bukan upaya untuk mengakhiri penderitaan, melainkan untuk mengelola konflik agar tetap sesuai kepentingan geopolitik Amerika dan Israel. Trump memanfaatkan momentum ini untuk membangun kembali citra internasionalnya, tampil sebagai pembawa damai, namun tetap memelihara struktur ketidakadilan yang sama.
Baca Juga: Deklarasi New York, Hukuman bagi Pejuang dan Hadiah bagi Penjajah
“Timur Tengah Baru” versi Trump bukanlah tatanan damai yang adil, melainkan proyek politik yang menundukkan kawasan pada orbit pengaruh Washington dan Tel Aviv. Dalam kerangka inilah, perdamaian yang dijanjikan berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan pemulihan martabat manusia.
Namun, di tengah parade diplomasi semu itu, dunia internasional mulai menunjukkan perubahan arah. Sejumlah negara di Eropa dan Amerika Latin kini secara terbuka mengakui negara Palestina. Pergeseran opini global ini menandakan kebangkitan kesadaran moral — bahwa dunia tidak lagi dapat menutup mata terhadap blokade, penghancuran rumah sakit, dan kelaparan yang disengaja di Gaza.
Muhammad Anshorullah, Presidium Aqsa Working Group (AWG), dalam konferensi pers pernah mengatakan: “Dunia tidak pernah se-Palestina ini. Belum pernah ada dalam sejarah modern, satu-satunya bendera yang begitu dihina seperti bendera Zionis Israel. Entitas Zionis Israel telah menjadi pariah state, negeri yang dikucilkan oleh dunia. Sementara belum pernah ada bendera sebuah bangsa yang berkibar di begitu banyak negara seperti bendera Palestina.”
Meski begitu, solidaritas internasional belum cukup kuat tanpa keberanian politik untuk menuntut keadilan substantif — keadilan yang menjamin hak rakyat Palestina untuk hidup merdeka di tanah airnya sendiri. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa setiap gencatan senjata tanpa pemulihan hak hanya akan memperpanjang siklus kekerasan.
Baca Juga: Jebakan Pemikiran Kolonial Rencana 20 Poin Trump tentang Gaza
Bagi umat Islam, tragedi ini bukan sekadar isu politik, tetapi ujian iman dan solidaritas. Keadilan adalah perintah Ilahi yang pasti akan ditegakkan. Allah SWT berfirman:
وَنُرِيْدُ اَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِى الْاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ اَىِٕمَّةً وَّنَجْعَلَهُمُ الْوٰرِثِيْنَۙ
“Kami berkehendak untuk memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, menjadikan mereka para pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.” (QS. Al-Qashash: 5)
Ayat ini meneguhkan keyakinan bahwa penderitaan rakyat Palestina bukanlah akhir, melainkan awal dari kebangkitan yang dijanjikan. Gencatan senjata hanyalah jeda kemanusiaan, bukan penyelesaian kezaliman.
Baca Juga: Janji Gizi Murah, Kenyataan Pahit: Kasus Keracunan MBG Meningkat Drastis
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan kelembutan di antara mereka, seperti satu tubuh; bila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan bahwa pembelaan terhadap Palestina bukan hanya sikap politik, tetapi wujud keimanan dan ukhuwah Islamiyah yang sejati.
Mantan Presiden Bolivia Evo Morales pernah menegaskan: “Selama Palestina dijajah, kemanusiaan belum merdeka.”
Maka, umat Islam di seluruh dunia harus terus bersuara — memperkuat dakwah tentang persatuan dan keadilan, serta menolak setiap bentuk normalisasi dengan kezaliman, sampai akhirnya Palestina merdeka, Masjid Al-Aqsha terbebas, dan Zionis Israel hengkang dari bumi Palestina. Sebab, janji Allah pasti benar:
Baca Juga: Proposal Trump untuk Gaza, Harapan Baru bagi Palestina atau Strategi Geopolitik Semata?
أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Sesungguhnya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiyā’: 105)
Sejarah membuktikan, perdamaian sejati tidak pernah lahir dari konferensi kekuasaan, melainkan dari keberanian menegakkan kebenaran. Gencatan senjata mungkin meredakan senjata untuk sementara, tetapi kemenangan hakiki hanya akan datang ketika keadilan ditegakkan, penjajahan berakhir, dan rakyat Palestina berdiri bebas di tanah air mereka sendiri. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?