Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Gerobak Ketoprak ke Ayat Suci, Kisah Daiman dan Transformasi Spiritual di Tengah Hiruk Pikuk Kota Semarang

Zaenal Muttaqin Editor : Widi Kusnadi - Ahad, 9 Maret 2025 - 13:42 WIB

Ahad, 9 Maret 2025 - 13:42 WIB

230 Views

Daiman pedagang ketoprak sedang khusyuk tadarus Al-Quran (Foto: Zaenal/MINA)

DI DEPAN Masjid Al Hikmah, jalan Suyodono Bulu Stalan Kota Semarang, aroma rempah kuah ketoprak menari bersama gemericik air wudhu para jamaah yang akan menunaikan shalat berjamaah.

Di balik gerobak kayunya yang sederhana, seorang lelaki berusia 53 tahun dengan sarung lusuh dan topi usang tersenyum ramah melayani pembeli.

Dialah Daiman, pedagang ketoprak yang kisah hidupnya bagai permadani: dari kegelapan buta huruf Al-Quran menjadi cahaya tadarus yang menyinari hari-harinya.

Di tengah riuh keramaian jalan kota dan lali lalang pelanggan, jemarinya tak pernah lepas dari mushaf Al-Quran. Setiap jeda melayani pembeli, matanya menyelam ke dalam lautan ayat-ayat Ilahi, seolah waktu berhenti dan dunia hanya miliknya bersama Sang Pencipta.

Baca Juga: Jamaah Indonesia Mulai Penuhi Asrama Haji, Penerbangan Perdana dari Jakarta

Inilah mozaik seorang hamba yang menemukan surga di sela kesibukan dunia.

Perjalanan Seorang Pedagang yang Tak Pernah Terlambat Shalat Berjamaah

Daiman bukanlah sosok yang diuntungkan oleh pendidikan agama. Sebelumnya hanya bisa memandang Al-Quran sebagai kitab asing yang tak terjamah.

Namun, tekadnya mengubah nasib spiritualnya dimulai dari pertemuan dengan Ustadz Zubaidi Ardani, yang dengan sabar mengajarinya mengaji dari nol.

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

“Saya seperti bayi yang belajar merangkak,” katanya tersipu.

Proses itu diperdalam oleh Abu Ghofar Mulyono, yang mentahsin bacaannya hingga fasih. Kedua guru itu tak hanya memberikannya kemampuan, tapi juga keberanian, bahwa kesibukan bukan penghalang untuk taat.

Sejak bisa membaca Al-Quran, hidup Daiman berubah. Di sela menunggu pembeli, ia menyelipkan waktu untuk melantunkan ayat-ayat suci.

“Seperti ada air sejuk yang mengalir di dada,” ujarnya tentang rasa damai yang ia dapatkan.

Baca Juga: Masjidil Haram, Pusat Peribadatan Islam Terbesar di Dunia

Meski penghasilannya pas-pasan, bahkan kerap jauh dari kata cukup, ia merasa kaya akan ketenangan.

“Materi itu seperti asap, bisa hilang kapan saja. Tapi ketenangan hati, itu harta sejati,” katanya.

Di gerobaknya yang nampak berusia, Daiman membuktikan bahwa kebahagiaan bukan soal apa yang dimiliki, tapi bagaimana merawat jiwa.

Ramadhan: Saat Waktu Berlipat dan Hati Kian Bersinar

Baca Juga: Zionis Israel, Monster yang Kejahatannya Tak Bertepi di Gaza

Di bulan suci, ritme hidup Daiman berubah. Dagangannya baru dibuka setelah Asar, memberinya waktu panjang di pagi hari hingga siang untuk vertikal dengan Allah.

Dalam sepekan Ramadhan tahun ini, ia sukses mengkhatamkan Al-Quran—prestasi yang membuatnya tersentuh.

“Seperti Allah memberi saya ‘bonus waktu’,” katanya sambil tersenyum. Siang-malam diisi dengan tadarus di masjid, sementara di sela-selanya masih ia sempatkan untuk membersihkan tempat ibadah itu sebagai bentuk syukur.

“Masjid ini sudah seperti rumah kedua. Merawatnya adalah kehormatan,” ucapnya.

Baca Juga: Raja Ampat, Surga Bawah Laut yang Wajib Dikunjungi di Indonesia

Filosofi Rezeki dan Akhirat, Ketika Iman Mengalahkan Keraguan

Bagi Daiman, hidup adalah keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. “Rezeki itu urusan Allah. Selama nafas masih ada, Dia tak pernah lupa,” katanya dengan keyakinan teguh.

Namun, untuk akhirat, ia tak mau menggantungkan diri. “Surga tidak diwariskan. Kita harus raih dengan amal.”

Kalimat itu bukan sekadar ucapan, tapi prinsip yang ia jalani setiap hari. Ia tak hanya rajin mengaji, tapi juga gemar berbagi—kadang memberi ketoprak gratis pada anak yatim atau tetangga yang kesulitan.

Baca Juga: Tangan-Tangan Kecil untuk Palestina, Ketika Murid SD di Brebes Menolak Diam Melihat Derita Gaza

Ketika senja mulai tiba dan gerobak Daiman ditutup, ia selalu menyisipkan doa: “Ya Allah, jadikan aku hamba-Mu yang pandai bersyukur, meski hanya dengan sebuku roti dan selembar ayat.”

Kisahnya bukan tentang kesempurnaan, tapi konsistensi. Di tengah deru ekonomi yang kerap mengukur segalanya dari materi, Daiman mengajarkan bahwa kebesaran seseorang terletak pada kemampuannya merawat iman di sela-sela kesibukan.

Ia mungkin hanya pedagang ketoprak di mata dunia, tapi di langit, barangkali ia adalah bintang yang bersinar terang—mengingatkan kita bahwa surga bisa diraih bahkan dari balik panci kuah dan tumpukan lontong.

“Boleh jadi kita miskin di dunia, tapi jangan sampai jadi pengemis di akhirat,” gumamnya suatu sore, sambil menatap langit senja.

Baca Juga: Amerika Serikat Negara Adidaya, Moral Seadanya

Kalimat itu menggantung di udara, menjadi penutup sempurna untuk kisah seorang Daiman: bukti bahwa keimanan tak pernah memandang profesi, dan kedamaian selalu bisa ditemukan—bahkan di sela-sela keriuhan pasar. []

Mi’raj News Agency (MINA) 

Baca Juga: Israel Bukan Negara, Tapi Mesin Pembantai!

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Kolom
Kolom
Kolom