Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

40 Tahun Menabung, Petugas Kebersihan Indonesia Menuju Baitullah

Rana Setiawan Editor : Ali Farkhan Tsani - 6 menit yang lalu

6 menit yang lalu

3 Views

Legiman dan istrinya saat tiba di Makkah, Arab Saudi.(Foto: SPA)

HAMPIR setiap hari selama hampir empat dekade, Legiman menyusuri gang-gang sempit di kota Solo dengan gerobak sampah, ditemani bau menyengat dan derit logam. Hari ini, ia dan istrinya berdiri di pelataran Masjidil Haram, mengenakan pakaian ihram putih, menyatu dalam lautan jamaah dari seluruh dunia. Di hadapan Ka’bah, mereka akhirnya meraih impian yang dibangun selama hampir separuh usia mereka.

“Saya tak pernah menyangka hari ini benar-benar datang,” ucap Legiman, matanya basah. “Melihat Ka’bah dengan mata sendiri… rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan,” ungkapnya.

Pasangan lansia ini merupakan bagian dari jamaah Indonesia yang berangkat melalui Inisiatif Rute Makkah (Makkah Route Initiative), sebuah program Pemerintah Arab Saudi yang mempermudah proses keimigrasian dan keberangkatan jamaah sejak dari negara asal. Namun, kisah Legiman tak hanya soal fasilitas atau teknologi, ini adalah kisah tentang ketabahan, iman, dan cinta yang sabar menanti.

Tabungan Recehan, Doa yang Tak Pernah Henti

Perjalanan haji Legiman tak dimulai di bandara, melainkan pada tahun 1986. Saat itu, penghasilan harian dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan nyaris tak cukup untuk kebutuhan pokok. Tapi ia dan istrinya tetap menyisihkan seribu rupiah per hari, tak lebih dari beberapa sen, dengan satu tujuan pergi haji.

Baca Juga: DMI Bali Kembangkan Masjid Pantai Sebagai Pusat Literasi dan Wisata Religi

“Kami menabung sedikit demi sedikit. Sulit memang, tapi kami tidak pernah menyerah. Setiap uang receh itu adalah doa,” kenangnya.

Setelah hampir 40 tahun, harapan itu berbuah. Pada 2025, nama mereka akhirnya terdaftar sebagai calon jamaah. Melalui terminal khusus Rute Makkah di Solo, seluruh proses keimigrasian ditangani secara cepat dan profesional oleh tim dari Arab Saudi. Mereka berangkat ke Tanah Suci tanpa beban administratif yang rumit.

“Kami sangat berterima kasih kepada Kerajaan Arab Saudi. Kami merasa dihargai, meskipun kami bukan siapa-siapa,” pungkasnya.

Ka’bah yang Dijaga dengan Sakralitas dan Ketelitian

Di Makkah, persiapan untuk menyambut musim haji juga dilakukan secara serius dan penuh kehormatan. Salah satu ritual penting yang dilakukan adalah pengangkatan bagian bawah kain hitam penutup Ka’bah (Kiswa) setinggi tiga meter, sebuah tradisi tahunan untuk melindungi kain suci dari kerusakan saat jutaan jamaah melakukan tawaf.

Baca Juga: KTT Liga Arab di Baghdad Desak Masuknya Bantuan Kemanusiaan ke Gaza

Bagian bawah Kiswa kemudian ditutupi kain katun putih selebar dua meter. Proses ini dilakukan oleh tim ahli dengan standar keamanan tinggi, memastikan bahwa setiap langkah dilakukan sesuai dengan kehormatan tempat suci.

Meski tampak teknis, pengangkatan Kiswa adalah simbol kesiapan spiritual dan logistik. Ia mencerminkan perpaduan antara kesakralan dan profesionalisme dalam menyambut tamu-tamu Allah dari seluruh dunia.

Haji: Lebih dari Ibadah, Sebuah Panggilan Kemanusiaan

Bagi sebagian orang, haji adalah perintah. Bagi yang lain, ia adalah cita-cita seumur hidup. Namun bagi Legiman, haji adalah bukti bahwa keajaiban bisa lahir dari ketulusan dan kesabaran.

Di dunia yang sering kali menjadikan kekayaan dan akses sebagai penentu kesempatan, kisah ini menjadi pengecualian yang menggugah. Ia mengingatkan kita bahwa dalam Islam, kedekatan kepada Tuhan tidak diukur oleh status, tapi oleh niat dan usaha.

Baca Juga: Trump Janji Atasi Krisis Kemanusiaan di Gaza

Di tengah jutaan jemaah berpakaian ihram, tak ada perbedaan antara konglomerat dan pemulung. Semuanya berdiri setara, menghadap kiblat yang sama, memohon ampun dan rahmat dari Tuhan yang satu.

Bukan Akhir, Tapi Awal

Ketika Legiman dan istrinya melangkah di antara jutaan jemaah lain, mereka membawa lebih dari sekadar tas kecil berisi pakaian. Mereka membawa kisah pengorbanan, keteguhan hati, dan cinta kepada Sang Pencipta yang tak lekang oleh waktu.

Bagi mereka, perjalanan ini adalah puncak dari sebuah usaha panjang. Tapi bagi dunia, kisah mereka adalah pengingat, bahwa ibadah haji adalah ruang spiritual yang tak terbatasi oleh kasta, jabatan, atau harta.

“Kami rela hidup sederhana. Tapi kami tidak pernah rela menyerah pada impian kami,” kata Legiman, sambil menatap Ka’bah dengan penuh syukur. []

Baca Juga: Pawai Besar-besaran di Yaman Bertajuk Bersama Gaza Melawan Kejahatan Genosida dan Kelaparan

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda