OLEH Deni Rahman, M.I.Kom, Kaprodi Komunikasi Penyairan Islam (KPI) STAI Al-Fatah Bogor
POLEMIK tayangan Xpose Uncensored di Trans7 telah memicu gelombang protes luas dari kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU). Tayangan yang dinilai melecehkan tradisi sowan dan marwah kiai itu bukan hanya menyinggung perasaan umat, tetapi juga menyoroti krisis etika media di tengah obsesinya terhadap rating dan sensasi.
Reaksi keras di media sosial, termasuk seruan boikot terhadap Trans7, menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin sadar akan tanggung jawab moral media dalam menjaga sensitivitas budaya dan keagamaan. Namun di balik riuhnya pro dan kontra, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah polemik ini sekadar persoalan emosi publik, atau cermin dari krisis etika media yang lebih dalam?
Dalam ekosistem media yang semakin kompetitif, rating dan engagement sering kali menjadi “tuhan baru” yang menentukan arah produksi konten. Di bawah tekanan industri dan algoritma, banyak media tergoda untuk menunggangi isu-isu sensasional — termasuk yang bersinggungan dengan ranah keagamaan — demi mengejar atensi publik sesaat.
Baca Juga: Trans7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren
Kasus Trans7 menjadi contoh nyata bagaimana logika rating bisa bertabrakan dengan etika dan empati sosial. Tayangan yang menyinggung tradisi pesantren seperti sowan, ta’dzim, atau kedekatan santri dengan kiai, dipersepsikan seolah-olah sebagai fenomena transaksional atau komersial. Padahal dalam tradisi Islam Nusantara, hubungan murid dan guru, santri dan kiai, adalah relasi spiritual yang dilandasi penghormatan, bukan kalkulasi ekonomi.
Kegagalan memahami konteks ini menjadikan tayangan tersebut terasa merendahkan, bahkan melukai nurani banyak kalangan. Lebih dari sekadar ketersinggungan emosional, hal ini menunjukkan betapa lemahnya pemahaman sebagian insan media terhadap kekayaan budaya spiritual bangsa sendiri.
Sebagai bentuk tanggung jawab, Trans7 secara terbuka menyampaikan permohonan maaf melalui Production Director mereka, Andi Chairil, atas tayangan Xpose Uncensored yang dinilai menyinggung kalangan pesantren dan kiai di Lirboyo, Kediri. Mereka menegaskan tidak ada niat untuk merendahkan lembaga pesantren atau tokoh agama manapun, serta berkomitmen melakukan evaluasi internal.
Namun permintaan maaf tersebut belum sepenuhnya meredakan gelombang reaksi. PBNU, melalui KH Yahya Cholil Staquf, menyampaikan protes keras terhadap tayangan tersebut. Ia menilai program itu melecehkan marwah pesantren dan tokoh yang sangat dihormati, dan PBNU telah menginstruksikan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) untuk mengambil langkah hukum atas kasus ini.
Baca Juga: Dari Gencatan Senjata Menuju Kemenangan Hakiki
Sementara itu, Fatayat NU, melalui ketua umumnya Margaret Aliyatul Maimunah, juga menyuarakan keprihatinan mendalam serta menyerukan evaluasi etik penyiaran secara menyeluruh. Ia menegaskan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi pusat moral dan keteladanan bangsa.
Tak ketinggalan, RMI PBNU (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) menyampaikan tujuh poin tuntutan, termasuk permintaan maaf terbuka, penghentian sementara program terkait, dan tindakan hukum bila perlu. RMI menilai tayangan tersebut mengandung unsur fitnah, ujaran kebencian, serta framing narasi yang tidak sesuai realitas pesantren.
Kebebasan berekspresi memang pilar penting demokrasi, dan media berhak mengangkat isu sosial serta keagamaan. Namun kebebasan itu selalu datang bersama tanggung jawab etik — memastikan bahwa konten tidak menyinggung keyakinan atau merendahkan komunitas tertentu. Dari sisi masyarakat, kemarahan yang muncul juga wajar, terutama bagi kalangan yang merasa diserang secara simbolik. Tetapi langkah seperti boikot massal atau hujatan di media sosial tidak seharusnya menjadi satu-satunya respons. Dialog yang sehat antara media dan komunitas pesantren justru akan melahirkan pemahaman timbal balik yang lebih produktif.
Trans7 sebagai lembaga penyiaran nasional perlu menindaklanjuti permintaan maaf dengan evaluasi internal menyeluruh, termasuk memperkuat mekanisme fact-checking, riset budaya, serta konsultasi etik dengan tokoh agama sebelum tayangan semacam ini disiarkan. Polemik ini sejatinya membuka tabir relasi timpang antara industri media dan nilai-nilai moral masyarakat. Selama ini, sebagian besar media arus utama masih menilai kesuksesan dari jumlah penonton, bukan dari mutu informasi dan dampaknya terhadap publik.
Baca Juga: AS–Israel: Koalisi Setan Pembantai Rakyat Tak Berdosa
Ketika konten agama atau pesantren dijadikan bahan sensasi, yang dikorbankan bukan hanya reputasi lembaga, tetapi juga nilai-nilai adab dan ilmu. Namun demikian, harus diakui bahwa fenomena penyalahgunaan wewenang atau oknum di pesantren memang ada — sebagaimana di setiap institusi manusiawi. Tetapi penyerangan harus diarahkan kepada individu atau oknum tersebut, bukan terhadap institusi dan tradisinya secara pukul rata. Di sinilah media dituntut untuk membedakan kritik objektif dari generalisasi destruktif.
Sebagai bangsa dengan tradisi Islam yang berakar dalam kebudayaan, Indonesia membutuhkan media yang paham konteks, menghargai simbol, dan mampu mendidik tanpa menista. Bukan berarti media tak boleh kritis, tetapi kritik harus diiringi dengan keadaban dan kecerdasan narasi.
Polemik ini seharusnya tidak berhenti pada kemarahan publik. Ia harus menjadi momentum perbaikan bagi industri media nasional. Setiap tayangan yang menyentuh isu keagamaan atau budaya lokal wajib melalui telaah etik dan konsultasi publik, melibatkan tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan. Media juga seharusnya berani berinvestasi pada program yang memperkaya wawasan, seperti dokumenter tentang peran kiai dalam sosial, sejarah pesantren, dan nilai-nilai Islam di Nusantara.
Di sisi lain, masyarakat perlu memperkuat literasi media agar reaksi publik tidak sekadar berupa kecaman, tetapi juga dorongan terhadap media agar kembali kepada fungsinya sebagai agent of education. Dunia penyiaran perlu sadar bahwa konten bukan hanya komoditas, melainkan cermin moral dan peradaban bangsa.
Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan
Polemik Trans7 bukan hanya tentang satu acara yang menyinggung perasaan umat. Ini adalah cermin arah moral media Indonesia ke depan. Rating tinggi mungkin mendatangkan keuntungan sesaat, tetapi kepercayaan publik adalah modal yang jauh lebih berharga dan berjangka panjang.
Media yang baik tidak sekadar mengejar penonton, tetapi turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab pada akhirnya, peradaban tidak tumbuh dari sensasi, melainkan dari penghormatan terhadap ilmu, kebijaksanaan, dan kemanusiaan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Deklarasi New York, Hukuman bagi Pejuang dan Hadiah bagi Penjajah