Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Viral ke Vital, Menata Ekonomi Kreatif dan Gig Economy 2025

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - Kamis, 23 Oktober 2025 - 21:35 WIB

Kamis, 23 Oktober 2025 - 21:35 WIB

44 Views

Siti Maisaroh, ME (foto: pribadi)

Oleh Siti Maisaroh, Dosen Prodi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah Al-Qur’an Abdullah Bin Mas’ud Online

EKONOMI Kreatif dan Gig Economy bukan lagi “pendamping” perekonomian, keduanya sudah jadi arus utama, terutama sejak kebiasaan digital pascapandemi mengakar. Pada 2024, pemerintah melaporkan ekspor ekonomi kreatif menembus kisaran US$25 miliar, menyerap ±26,5 juta tenaga kerja, basis besar yang sebagian besar anak muda dan perempuan. Ini artinya kebijakan untuk sektor ini bukan soal niche, melainkan hulu-hilir daya saing nasional.

Fenomena paling terasa setahun terakhir adalah social-commerce. Setelah pelarangan transaksi di media sosial pada 2023, integrasi TikTok Shop ke Shop Tokopedia dinyatakan memenuhi Permendag 31/2023 per April 2024. Lalu pada Juni 2025, KPPU memberi “lampu hijau bersyarat” akuisisi mayoritas TikTok atas Tokopedia.

Artinya, roda sosial-commerce berputar lagi, tetapi kini di bawah pagar regulasi persaingan dan kepatuhan yang lebih jelas. Dampaknya? UMKM dan kreator mendapat etalase dan traffic, tetapi konsentrasinya juga menuntut pengawasan harga, interoperabilitas logistik, dan keterbukaan algoritma agar pasar tetap adil.

Baca Juga: Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?

Di sisi subsektor, pendorong pertumbuhan masih relatif klasik: kuliner, fesyen, kriya. Kuliner saja diperkirakan menyumbang sekitar 30% omzet ekraf hal ini menandakan bahwa kreativitas kita tetap bertumpu pada “produk nyata” yang dibungkus narasi digital dan distribusi daring.

Tantangannya kini bukan sekadar produksi, melainkan bagaimana konten dan komunitas memperbesar nilai tambah dari live-commerce, lisensi IP lokal, hingga franchise brand mikro.

Namun euforia kreatif tidak menutup problem struktural gig economy. Beragam studi dan laporan (ILO, Bank Dunia) konsisten menunjukkan celah besar perlindungan sosial bagi pekerja platform: status hubungan kerja kabur, asuransi dan jaminan pensiun minim, pengambilan keputusan yang sangat dipengaruhi algoritma.

Banyak yang tertarik karena fleksibilitas dan akses pasar, tetapi tanpa “jaring pengaman” risiko pendapatan dan kecelakaan kerja ditanggung sendiri.

Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara

Eropa memberi sinyal arah pada 2024 Uni Eropa mengesahkan Platform Work Directive yang mewajibkan klasifikasi status kerja yang lebih tepat, menata transparansi penggunaan algoritma, dan memberi hak untuk menggugat keputusan otomatis. Ini bukan template yang tinggal salin dan tempel ke Indonesia, tetapi semangatnya flexibility with security patut jadi rujukan saat kita merapikan aturan nasional.

Indonesia sendiri progresnya masih tambal-sulam. Contoh, aturan tarif ojol (KP 667/2022) melindungi dari perang tarif, tetapi belum menyentuh transparansi algoritma, fairness sistem rating, atau hak berorganisasi pekerja platform.

Kajian kebijakan legislatif juga menyorot rapuhnya perlindungan pekerja transportasi berbasis platform. Kita memerlukan kerangka yang memadukan perlindungan minimum, kemitraan yang adil, dan ruang inovasi usaha.

Satu isu baru yang mengguncang ekosistem kreatif adalah generative AI. Di satu sisi, AI mempercepat produksi konten (dari storyboard, aransemen musik, sampai desain produk); di sisi lain, ia memicu perdebatan hak cipta dan bagi hasil.

Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Indonesia mulai membahas aturan AI dan kaitannya dengan HKI, namun kepastian mengenai apa yang layak hak cipta ketika karya dibantu AI masih berkembang. Ini mendesak, sebab tanpa kepastian, kreator independen dan startup IP akan gamang berinvestasi.

Jadi, apa agenda kebijakannya? Paling tidak ada empat langkah realistis yang dapat dilakukan:

  1. Transparansi algoritma & data akses: platform wajib menyediakan explainability (penjelasan sederhana) atas keputusan yang memengaruhi penghasilan/eksposur pekerja dan kreator, termasuk kanal banding manusia sejalan roh regulasi Eropa.
  2. Jaminan sosial portabel: rancangan iuran fleksibel berbasis jam/pendapatan yang bisa “dibawa” antar platform, negara bisa memberi top-up insentif awal untuk kelompok berpendapatan rendah. Bukti lintas negara menunjukkan kemauan membayar ada, tetapi desain dan saluran pembayarannya perlu disederhanakan.
  3. Kompetisi & interoperabilitas: lanjutkan pengawasan merger/kemitraan raksasa platform agar rantai pembayaran, logistik, dan data merchant tidak terkunci; dorong standardisasi API untuk memudahkan multi-homing UMKM.
  4. HKI untuk era AI: perjelas porsi “kreativitas manusia” dalam karya berbantuan AI, tata lisensi dataset, dan siapkan skema kolektif bagi hasil agar musisi, ilustrator, dan penulis tidak “tenggelam” oleh otomatisasi.

Sebagai perkembangan terbaru, KPPU pada 29 September 2025 mendenda TikTok Rp15 miliar karena terlambat melaporkan akuisisi Tokopedia pertanda pengawasan pascamerger berjalan tegas.

Di sisi perlindungan, Kemnaker mendorong perluasan jaminan sosial pekerja informal melalui BPJS Ketenagakerjaan, memprioritaskan kemudahan pendaftaran dan pembayaran iuran agar lebih portabel dan terjangkau bagi mitra platform. Kedua langkah ini menutup celah, sambil menjaga ruang inovasi tetap sehat berdaya.

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Pada akhirnya, 2025 menuntut keseimbangan baru yaitu menjaga kebebasan berkreasi dan berusaha sembari memastikan keamanan penghidupan. Ekonomi kreatif dan gig economy bisa jadi mesin pertumbuhan, ekspor, dan pemerataan kesempatan asal kita berani merumuskan aturan main yang membuat kreativitas naik kelas, bukan sekadar viral sesaat. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Ekonomi
Ekonomi
Indonesia
Feature