Darurat Air Ancam Warga Gaza

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Air menjadi komoditi yang sangat dihargai di seluruh dunia, terlebih di kamp pengungsi Al-Shati di utara City, air menjadi senilai emas.

Pipa kecil dari pantai Mediterania yang selalu diharapkan bisa berfungsi saat warga menyalakan keran, terkadang tidak mengeluarkan air sama sekali, atau justeru mengeluarkan air yang asin, kadang-kadang keruh.

Nahed Radwan, warga Gaza yang tinggal bersama delapan anaknya dan keluarganya di rumah yang dicat warna pastel, menggambarkan bahwa keluarganya biasanya mendapat air seminggu sekali selama dua hari.

“Air yang kami miliki, ketika itu ada, tidak bersih. Itu tidak layak diminum. Membuat mata sakit karena kadar garam yang tinggi,” kata Radwan (34) kepada Al Jazeera.

Hanya sekitar tiga persen air Gaza yang layak dikonsumsi untuk minum. Hampir seluruh warga Gaza bergantung pada air akuifer bawah tanah. Hanya sedikit sekali yang diimpor dari wilayah kolonial Israel.

Otoritas Air Palestina dan PBB telah memperingatkan bahwa air akuifer bawah tanah kemungkinan benar-benar akan terkontaminasi pada akhir tahun ini. Air di Gaza mengandung konsentrasi besar klorida, sedangkan infiltrasi limbah yang tidak didaur ulang telah meningkatkan tingkat nitrat menjadi 2-8 kali lebih tinggi dari ukuran standar yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Gaza juga dicengkeram oleh krisis listrik yang kadang-kadang menyala hanya beberapa jam bagi rumah tangga.

DESALINASI
Fasilitas desalinasi di Gaza. (Foto: Ylenia Gostoli/Al Jazeera)

“Orang-orang menggunakan generator untuk mendapatkan air, tapi kami tidak mampu membelinya,” kata Radwan. “Terutama gadis-gadis saya, mereka tidak maul mandi dengan air asin, rambut mereka mulai rontok. Saya memasak dan melakukan segala sesuatu dengan air minum.”

Banyak warga Palestina di Gaza yang membeli air dari pabrik desalinasi skala kecil, yang filternya telah terkontaminasi air akuifer.

Vendor swasta mendistribusikan air ke warga menggunakan truk. Namun, saat air mencapai tanki rumah tangga, harganya menjadi sangat mahal, sampai lima kali harga air dari jaringan kota, dan sering tidak aman untuk diminum. Kualitasnya kurang dari setengah hasil air fasilitas desalinasi Gaza yang dilisensikan.

LSM internasional yang bekerja di sektor air di Gaza telah menemukan bahwa 68 persen air yang mencapai rumah tangga sudah terkontaminasi unsur biologis tanaman selama penyimpanan atau mengalirnya. Namun, 85 persen warga Gaza bergantung pada air ini untuk minum dan memasak.

EWASH, koalisi organisasi Palestina dan internasional yang bekerja di sektor air dan sanitasi, mengatakan, kalangan rumah tangga berpendapatan rendah di Gaza. Mereka menghabiskan biaya setidaknya enam kali lebih besar untuk mendapatkan air di bandingkan kalangan rumah tangga di Inggris.

Baru-baru ini, kesepakatan pemerintah Turki-Israel diharapkan dapat memberikan beberapa bantuan. Kesepakatan itu memungkinkan Turki untuk mengerjakan sejumlah proyek infrastruktur di Gaza, termasuk pembangkit listrik dan pabrik desalinasi (proses membuat air asin menjadi tawar).

Namun, Ribhi Al-Sheikh, Wakil Kepala Air Otoritas Palestina, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia belum memiliki rincian proyek tersebut.

Menurut EWASH, setidaknya 70 persen dari bahan yang dibutuhkan untuk membangun dan mempertahankan jaringan air dan sanitasi di Gaza, termasuk pompa dan bahan kimia untuk pemurnian air, tunduk pada pembatasan impor di tengah parahnya pengepungan kolonial Israel di Gaza.

Kurangnya infrastruktur yang tepat telah memberikan kontribusi terhadap polusi limbah. EWASH menemukan, setiap 38 menit, limbah mentah atau sebagian, dibuang ke laut Gaza yang banyaknya setara dengan satu kolam renang Olimpiade.

Kualitas air tanah Gaza telah menurun karena terinfiltrasi oleh air laut akibat penyalahgunaan air yang berlebihan dari akuifer Gaza yang dua kali lipat dan dilakukan terus menerus.

Penggalian sumur yang tidak teratur oleh warga Gaza untuk keperluan pertanian dan rumah tangga  telah memperparah masalah penyalahgunaan air.

“Kelangkaan air (di Gaza) adalah masalah atau krisis waktu,” kata Najma Fares, seorang peneliti di Institut Air dan Lingkungan Universitas Al-Azhar. “Karena penyalahgunaan atau ekstraksi air ini, di tahun-tahun berikutnya Gaza akan menghadapi masalah besar yang bisa membahayakan kehidupan warga Gaza. Ini akan menjadi bencana lingkungan.”

Fares, orang yang bekerja di sebuah proyek percontohan untuk mengobati air limbah dari sebuah pabrik di Gaza pusat agar bisa digunakan kembali di bidang pertanian, mengatakan bahwa pelaksanaan skema tersebut membutuhkan dana yang cukup besar.

Sebagian dana untuk sektor ini berasal dari donor internasional, termasuk Uni Eropa yang menginvestasikan $ 11 juta di pabrik desalinasi air laut baru di Gaza, yang diresmikan pada Juni 2016. Selama tiga tahun ke depan, fase kedua proyek ini bertujuan untuk menggandakan kapasitas, yang memungkinkan instalasi itu memenuhi kebutuhan sekitar 150.000 orang di Gaza selatan.

Namun bagaimanapun, kritik mengatakan bahwa upaya itu tidak akan berhasil cukup baik.

“Masalahnya bukan dalam mengamankan dana atau hibah untuk melaksanakan proyek-proyek desalinasi ini. Masalahnya muncul setelah siapa yang akan mengoperasikannya, siapa yang akan membayar tagihan untuk ini,” kata Mahmoud Shatat, manajer Oxfam untuk Program Air, Sanitasi dan Promosi Kebersihan. “Bagaimana kita bisa membayar listrik dan bahan bakar? Energi surya hanya mencakup sejumlah kecil apa yang dibutuhkan untuk menjalankan pabrik desalinasi.”

Fasilitas desalinasi air laut skala kecil membutuhkan biaya operasi yang tinggi dan hanya bertujuan sebagai solusi jangka menengah.

Otoritas Air Palestina mengatakan, pabrik skala besar yang mampu melayani semua penduduk Gaza harus beroperasi pada tahun 2020, tapi sementara negara-negara Teluk dan Perancis telah menjanjikan pendanaan yang diperlukan sebesar AS $ 330 juta, lebih besar dari yang diperlukan.

Marwan Albardawil, kepala otoritas untuk proyek air dan air limbah, mengatakan bahwa berbagai pilihan untuk mengatasi di Gaza sudah dipelajari selama bertahun-tahun.

“Di antaranya, ada (pilihan solusi) mengimpor air dari Mesir, Turki dan Israel yang memberikan air dari Tepi Barat ke Jalur Gaza, dan desalinasi air laut. Pilihan yang tepat adalah desalinasi,” kata Albardawil kepada Al Jazeera.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2011 sebagai bagian dari Program Bantuan Tekhnik Darurat Gaza, merekomendasikan transfer air jumlah tinggi dari Israel, untuk memberikan Gaza bagian yang adil sumber daya air regional.

Clemens Messerschmid, seorang ahli geologi yang telah bekerja di sektor air Palestina selama 20 tahun, mengatakan bahwa sumber masalah air Gaza adalah populasi yang besar, yang telah meroket jumlahnya menjadi lebih dari 1,8 juta jiwa. Menurutnya, solusi sederhana untuk Gaza adalah membeli air dari Israel yang memiliki surplus di wilayah selatan.

“Seluruh Jalur memiliki kepadatan seperti kota. Gaza adalah kota, tetapi kota khusus yang tertutup. Tidak ada kota di planet ini yang dapat bertahan hidup dari dalam parameter sendiri,” kata Messerschmid dan mencatat bahwa ia tidak yakin desalinasi air laut adalah solusi yang baik dari perspektif lingkungan. (P001/P2)

Sumber: tulisan Ylenia Gostoli di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.