Jakarta, MINA – Dompet Dhuafa (DD) Jumat (28/2) menggelar diskusi terbuka tentang “Kerawanan Pangan dan Tantangan Stunting Anak Negeri”.
Acara itu menghadirkan pembicara Fajri Azhari, Peneliti IDEAS, Dr. Hera Nurlita, Kasi Mutu Gizi Masyarakat Kemenkes RI, Sri Wahyuni Suktojo dari UNICEF, Serta drg. Martina Tirta, Direktur LKC NTT DD.
Fajri Azhari menjelaskan, IDEAS pada Februari ini telah melakukan penelitian terkait dengan ketimpangan masyarakat miskin dengan konsumsi pangan.
Menurutnya, saat ini masyarakat miskin menghadapi harga pangan yang mahal dan strategi yang mereka tempuh yaitu beralih mengkonsumsi pangan yang murah dan bisa diawetkan.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Berdasarkan penelitian yang dilakukan IDEAS Kelompok 1% termiskin rata-rata mengkonsumsi 74,4 kg beras per kapita pertahun.
“Tingkat konsumsi yang sangat rendah dan kemiskinan pangan dapat membawa pada penyakit kronis dan kematian dini. Penyakit kronis memberi beban ekonomi yang berat akibat biaya pengobatan dan hilangnya waktu produktif, sehingga mendorong si miskin lebih dalam ke lembah kemiskinan,” ujar Fajri
Hera Nurlita Kasi Mutu Gizi Masyarakat Kemenkes RI mengatakan, Stunting merupakan masalah multidimensial, terdiri dari penyebab langsung seperti konsumsi makanan tidak beragam, penyakit infeksi, dan tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Adapun penyebab tidak langsung berupa kerawanan pangan, pemantauan tumbuh kembang balita yg belum optimal serta akses sanitasi yang tidak layak. Sehingga hal itu membutuhkan peran aktif banyak pihak.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Ia mengatakan, pemerintah sendiri sudah berkomitmen dan menetapkan arah perbaikan gizi nasional untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat.
Sedangkan menurut Sri Wahyuni Sukotjo dari UNICEF, balita yang mengalami gizi buruk beresiko menjadi stunting, anak gizi buruk akan mengalami pertumbuhan tinggi badan dan perkembangan otak yang tidak maksimal .
Selain itu faktor budaya yang kurang berperan terhadap pengetahuan seputar gizi bisa menjadi sebab utama pemicu tumbuhnya gizi buruk dalam wilayah tersebut.
Permasalahan stunting juga terdapat di Posyandu, di mana pengetahuan kader-kadernya masih belum merata dan pendampingan ke warga masih kurang. Ini karena faktor usia serta jumlah kader posyandu yang minim sehingga belum dapat menyisir secara luas dalam cakupan wilayahnya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40 persen, tertinggi adalah Kab. Nias (61,3 persen), Kab. Dogiyai (57,5 persen), Kab. Timor Tengah Utara (56,8 persen), Kab. Timor Tengah Selatan (56,0 persen), Kab. Waropen (52,6 persen) dan Kab. Pangkajene dan Kepulauan (50,5 persen).
Pada saat yang sama, 206 kabupaten-kota memiliki prevalensi stunting antara 30-40 persen. Dengan kata lain, 58 persen kabupaten-kota di seluruh Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang serius, lebih dari 30 persen. Hanya 34 kabupaten-kota yang pada 2018 tercatat memiliki prevalensi stunting dibawah 20 persen. (L/R7/RS1)
Mi’raj News Agency (MINA)