SETIAP manusia berharap masuk surga, tetapi tidak semua menyadari bahwa amal mereka bisa mengalami defisit yang fatal. Seperti seorang pedagang yang merugi karena utang lebih besar dari modalnya, banyak orang mengira telah berbuat baik, padahal amal mereka habis terkikis dosa, kezaliman, riya, dan kelalaian.
Betapa mengerikan saat tiba di hari perhitungan, timbangan amal kosong, sementara neraka menanti dengan kobaran api yang tak terpadamkan. Maka, sebelum terlambat, sudahkah kita memastikan bahwa amal kita cukup untuk menyelamatkan kita di akhirat?
Defisit amal dapat dipahami sebagai kondisi di mana seseorang mengalami kekurangan dalam perbuatan baik yang akan menyelamatkannya di akhirat. Ini bisa terjadi karena dosa, kelalaian, atau sikap meremehkan kewajiban agama. Dalam Islam, amal saleh menjadi bekal utama menuju kebahagiaan abadi, sementara defisit amal bisa berakibat fatal bagi kehidupan akhirat seseorang. Berikut ini ada beberapa hal penting terkait defisit amal yang perlu diketahui oleh setiap muslim.
Pertama, Amal Sebagai Timbangan di Akhirat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qari’ah: 6-11,
Baca Juga: Kebiadaban Zionis Israel di Bulan Ramadhan
فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُۥ فَهُوَ فِى عِيشَةٍۢ رَّاضِيَةٍۢ . وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُۥ فَأُمُّهُۥ هَاوِيَةٌۭ . وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا هِيَهْ . نَارٌ حَامِيَةٌۭ
- Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, 7. Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (bahagia). 8. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, 9. Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. 10. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? 11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Ayat ini menjelaskan bahwa pada hari kiamat, amal perbuatan manusia akan ditimbang. Mereka yang timbangan kebaikannya berat akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di surga. Sebaliknya, mereka yang timbangan kebaikannya ringan karena amalnya banyak berkurang atau hilang akibat dosa dan kezaliman, akan berakhir di neraka yang apinya sangat panas.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa keberuntungan seseorang di akhirat ditentukan oleh beratnya amal baik yang ia lakukan. Jika amalnya ringan atau defisit, maka tempatnya adalah neraka. Ini menunjukkan pentingnya menambah amal dan menghindari perbuatan sia-sia.
Kedua, Penyesalan di Akhirat Akibat Kurang Amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Qur’an surat Ali ‘Imran: 107,
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱبْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِى رَحْمَتِ ٱللَّهِ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri, maka mereka berada dalam rahmat Allah; mereka kekal di dalamnya.”
Baca Juga: Qia, Balita Tasikmalaya, Kirimkan Cinta untuk Anak-Anak Palestina Lewat Celengan
Ayat ini menggambarkan perbedaan nasib manusia di akhirat. Pada hari kiamat, wajah orang-orang beriman akan bercahaya putih berseri, sebagai tanda kemuliaan, kebahagiaan, dan keselamatan mereka di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang istiqamah dalam keimanan, ikhlas dalam beramal, dan tidak mengotori pahala mereka dengan dosa atau kezaliman.
Sebaliknya, dalam ayat sebelumnya (Ali ‘Imran: 106), disebutkan bahwa wajah orang-orang yang kufur akan menghitam sebagai tanda kehinaan dan azab yang menanti mereka. Ini menegaskan bahwa di akhirat, tidak ada lagi kepalsuan. Keimanan dan amal yang benar akan tampak jelas dalam bentuk kenikmatan abadi di surga, sementara dosa dan kemunafikan akan membawa kehinaan di neraka.
Ayat ini menjadi pengingat agar kita selalu menjaga keikhlasan, menghindari dosa yang bisa menghapus amal, dan memastikan bahwa timbangan kebaikan kita cukup untuk membawa kita ke dalam rahmat Allah yang kekal.
Ketiga, Orang yang Merugi di Hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Baca Juga: 9 Kiat Mudik Aman
إِنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتِي يَومَ القِيَامَةِ بصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah seseorang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, dan zakat. Namun, dia juga datang dengan (dosa) mencaci si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu, dan memukul yang lain. Maka, kebaikan-kebaikannya diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika kebaikannya habis sebelum hutang kezaliman lunas, maka dosa-dosa mereka diambil dan dibebankan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581)
Hadis ini memberi peringatan keras bahwa keberuntungan di akhirat bukan hanya diukur dari banyaknya ibadah pribadi seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi juga dari bagaimana kita menjaga hak-hak orang lain.
Seorang muslim bisa terlihat saleh secara lahiriah, namun jika ia gemar menzalimi orang lain—dengan lisan (mencaci, menuduh), harta (merampas, menipu), atau perbuatan fisik (memukul, membunuh)—maka amalnya bisa lenyap karena harus membayar “utang kezaliman” di akhirat. Yang lebih mengerikan, jika pahala sudah habis, ia justru menanggung dosa orang-orang yang pernah ia zalimi, hingga akhirnya masuk neraka.
Hadis ini mengajarkan kita agar berhati-hati dalam pergaulan, menjaga lisan dan perbuatan, serta segera meminta maaf dan bertaubat jika pernah menzalimi orang lain. Jangan sampai kita rajin beribadah, tetapi malah “bangkrut” di akhirat!
Baca Juga: Akhlak Rasulullah sebagai Teladan Kehidupan
Keempat, Amal Bisa Habis Karena Dosa Sosial. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Hindarilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 2578)
Hadis ini adalah peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kezaliman bukan hanya membawa keburukan di dunia, tetapi juga mendatangkan kegelapan di akhirat. Kezaliman di sini mencakup semua bentuk ketidakadilan—baik terhadap Allah (syirik), terhadap sesama manusia (menipu, menindas, merampas hak), maupun terhadap diri sendiri (bermaksiat, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk beramal).
Pada hari kiamat, orang yang berbuat zalim akan tenggelam dalam kegelapan, kehilangan arah, dan dihantui oleh akibat perbuatannya. Keberadaan “kegelapan” ini menunjukkan betapa sulit dan mengerikannya keadaan mereka yang pernah menzalimi orang lain. Mereka tidak hanya kehilangan cahaya petunjuk, tetapi juga harus mempertanggungjawabkan setiap bentuk kezaliman yang telah mereka lakukan.
Baca Juga: Mengenal Sejarah Budaya Mudik
Oleh karena itu, hadis ini menegaskan agar kita selalu menjauhi kezaliman dalam bentuk apa pun dan memastikan setiap langkah hidup kita penuh dengan keadilan, amanah, dan kebaikan. Jangan sampai kita menyesal di akhirat karena tersesat dalam kegelapan akibat kezaliman yang pernah kita lakukan di dunia.
Kelima, Rugi Karena Tidak Mengamalkan Ilmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ، كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْتَرِقُ نَفْسُهُ
“Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia tetapi melupakan dirinya sendiri, adalah seperti pelita yang menerangi orang lain tetapi membakar dirinya sendiri.” (HR. At-Tabarani dalam Al-Kabir 11/118)
Hadis ini adalah peringatan bagi para ulama, pendakwah, dan siapa pun yang mengajarkan kebaikan, agar mereka tidak hanya menyampaikan ilmu kepada orang lain tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan pribadi.
Baca Juga: Agar Mudik Bernilai Ibadah
Seorang guru atau dai yang hanya pandai berbicara tanpa menjalankan apa yang dia ajarkan, bagaikan lilin yang menerangi orang lain tetapi hancur dalam kobaran apinya sendiri. Ilmunya bermanfaat bagi orang lain, tetapi dirinya sendiri merugi karena tidak mengamalkan apa yang ia sampaikan.
Dalam Islam, ilmu harus diiringi dengan amal. Allah mencela orang-orang yang hanya memerintahkan kebaikan kepada orang lain tetapi melalaikan diri sendiri, sebagaimana firman-Nya, “Apakah kamu memerintahkan manusia (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Qs. Al-Baqarah: 44)
Oleh karena itu, hadis ini mengajarkan kita untuk selalu berusaha menjadi teladan dalam kebaikan. Jika kita mengajak orang lain untuk bertakwa, maka kita pun harus bertakwa. Jika kita menyeru orang lain untuk menjauhi maksiat, maka kita harus lebih dulu meninggalkannya. Dengan begitu, ilmu yang kita ajarkan tidak hanya menyinari orang lain, tetapi juga menjadi cahaya keselamatan bagi diri kita sendiri di dunia dan akhirat.
Keenam, Kehilangan Amal Karena Riya’. Allah berfirman dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 264
Baca Juga: Tadabur Surah Muhammad: Kebatilan Tidak Punya Akar Hanya akan Punah dan Binasa
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Ayat ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menjaga keikhlasan dalam bersedekah. Allah memperingatkan bahwa sedekah yang disertai al-mann (menyebut-nyebut kebaikan) dan al-adza (menyakiti penerima) akan menghapus pahala yang seharusnya diperoleh.
Ada tiga bentuk amalan yang sia-sia menurut ayat ini antara lain sebagai berikut. Pertama, sedekah yang disertai ungkitan dan celaan – Orang yang memberi tetapi kemudian mengungkit-ungkit bantuannya atau merendahkan penerima, seakan-akan sedekah itu bukanlah anugerah dari Allah, melainkan jasa pribadinya.
Kedua, sedekah karena riya’ – Berinfak hanya untuk dipuji manusia, bukan karena mencari ridha Allah. Ini menjadikan amalnya tidak bernilai di sisi Allah.
Baca Juga: Panduan Zakat Fitrah, Niat dan Pelaksanaannya
Ketiga, tidak beriman kepada Allah dan hari akhir – Orang yang sedekahnya hanya bertujuan duniawi, tanpa keyakinan akan pahala di akhirat, amalnya menjadi kosong tanpa ruh keikhlasan.
Sedekah yang benar adalah yang dilakukan dengan ikhlas, tanpa berharap pujian atau balasan dari manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: المَنَّانُ، وَالمُسْبِلُ، وَالمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak dilihat, tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih: orang yang menyebut-nyebut pemberian, orang yang menjulurkan kainnya (karena sombong), dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, no. 106)
Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan bahwa sedekah yang benar harus dilakukan dengan hati yang tulus, tanpa menyakiti atau mengharapkan balasan dari manusia. Dengan demikian, pahala akan tetap terjaga dan menjadi bekal di akhirat.
Baca Juga: Pelajaran dari Surah Al-Ahqaf dan Relevansinya untuk Generasi Saat Ini
Ketujuh, Amal Bisa Hancur Karena Hasad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah hasad (dengki), karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud no. 4903). Hadis ini adalah peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita menjauhi sifat hasad, yaitu iri hati terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain dan menginginkan agar nikmat itu hilang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengibaratkan hasad seperti api yang melahap kayu bakar hingga habis. Artinya, seseorang yang memiliki hasad, meskipun banyak amal shalihnya seperti shalat, sedekah, dan puasa, amalnya bisa lenyap karena penyakit hati ini.
Hasad adalah penyakit hati yang pertama kali terjadi dalam sejarah manusia. Iblis dengki kepada Nabi Adam AS, sehingga ia menolak perintah Allah untuk sujud sebagai bentuk penghormatan (Qs. Al-A’raf: 12). Begitu juga dengan orang-orang Yahudi yang hasad kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena Allah menurunkan wahyu kepadanya (Qs. Al-Baqarah: 109).
Baca Juga: Membongkar Rencana Busuk Zionis Yahudi untuk Palestina dan Dunia Islam
Dampak hasad di dunia dan akhirat antara lain seperti: pertama, membuat hati gelisah. Orang yang hasad akan terus merasa tidak puas dan sakit hati saat melihat orang lain mendapat nikmat. Kedua, merusak persaudaraan. Hasad bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan di antara sesama Muslim. Ketiga, mendatangkan murka Allah. Allah tidak menyukai hamba yang iri terhadap takdir-Nya dan tidak ridha dengan ketetapan-Nya.
Karena itu seorang muslim harus mengetahu cara menghindari hasad. Ini di antara caranya; pertama, ridha dengan takdir Allah. Yakini bahwa setiap nikmat datang dari Allah dan sudah diatur dengan keadilan-Nya. Kedua, banyak bersyukur – Dengan bersyukur, kita lebih fokus pada nikmat yang kita miliki daripada melihat milik orang lain. Ketiga, doakan kebaikan untuk orang lain – Jika melihat orang lain mendapat nikmat, doakan agar Allah memberkahinya. Ini akan melatih hati untuk ikhlas dan jauh dari iri.
Hasad adalah penyakit hati yang bisa menghanguskan pahala. Sebaliknya, seorang Muslim sejati harus selalu bersyukur, ridha dengan takdir Allah, dan mencintai saudara Muslimnya dengan ikhlas tanpa dengki.
Kedelapan, Defisit Amal Akibat Ghibah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًۭا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ
“Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kalian merasa jijik kepadanya.”
Ayat ini merupakan larangan tegas dari Allah Ta’ala terhadap ghibah (menggunjing), yaitu membicarakan keburukan seseorang di belakangnya yang jika ia mendengarnya, ia akan merasa sakit hati, meskipun apa yang dikatakan itu benar.
Ghibah adalah dosa besar yang diibaratkan sebagai memakan bangkai. Allah Ta’ala memberikan perumpamaan yang sangat mengerikan bagi orang yang suka menggunjing. Ia disamakan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Perumpamaan ini menunjukkan betapa kejinya perbuatan ghibah, karena;
Pertama, bangkai itu haram dan menjijikkan. Begitu pula ghibah, haram dan buruk dalam pandangan Islam. Kedua, orang mati tidak bisa membela diri. Demikian pula orang yang digunjingkan, ia tidak bisa menolak atau membela kehormatannya. Ketiga, merusak persaudaraan. Ghibah menghancurkan hubungan persaudaraan sesama Muslim, menimbulkan permusuhan, dan merusak ukhuwah Islamiyah.
Ghibah mempunyai dampak sangat buruk antara lain; pertama, menghilangkan pahala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada seseorang yang datang pada hari kiamat dengan membawa banyak pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia pernah mencaci seseorang, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Maka kebaikan-kebaikannya diberikan kepada orang-orang yang dizaliminya, hingga jika amal kebaikannya habis sebelum urusan selesai, diambil dosa-dosa mereka dan ditimpakan kepadanya, lalu ia dilempar ke neraka.” (HR. Muslim, no. 2581)
Kedua, mendapat murka Allah. Allah membenci orang yang merusak kehormatan saudara Muslimnya dengan perkataan buruk. Ketiga, menjadikan hati gelap dan penuh kebencian. Orang yang suka ghibah akan semakin terbiasa mencari kesalahan orang lain daripada memperbaiki diri sendiri.
Adapun cara menghindari ghibah antara lain lakukan hal di bawah ini. Pertama, ingat bahwa setiap kata akan dipertanggungjawabkan di akhirat (Qs. Qaf: 18). Kedua, Gunakan lisan untuk kebaikan, seperti mendoakan saudara kita daripada menggunjingnya.
Ketiga, Jika mendengar orang lain bergunjing, hentikan atau tinggalkan majelis itu agar tidak ikut terlibat dalam dosa. Keempat, sibukkan diri dengan introspeksi dan memperbaiki diri sendiri daripada mencari-cari keburukan orang lain. Kelima, memaafkan orang yang berbuat salah dan menasehati dengan cara yang baik daripada membicarakannya di belakang.
Ghibah adalah dosa besar yang diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri, menunjukkan betapa kejinya perbuatan ini di sisi Allah Ta’ala. Seorang Muslim sejati harus menjaga lisannya, menghindari perkataan buruk, dan membiasakan diri berkata yang baik atau diam sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
Kesembilan, Lalai dalam Shalat Mengurangi Amal. Allah Ta’ala berfirman,
فَوَيْلٌۭ لِّلْمُصَلِّينَ . ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.”
Ayat ini adalah peringatan keras bagi orang yang mengerjakan shalat tetapi tidak dengan benar. Mereka shalat hanya sebagai rutinitas, tanpa khusyuk, sering menunda-nunda, atau bahkan meninggalkan shalat dengan sengaja.
Makna “Lalai dalam Shalat” itu antara lain: Pertama, menunda shalat tanpa uzur. Shalat dikerjakan di luar waktunya atau di akhir waktu tanpa alasan syar’i. Kedua, tidak khusyuk dalam shalat – Pikirannya melayang ke mana-mana dan hatinya tidak hadir dalam ibadah. Ketiga, hanya shalat karena riya’ – Melakukan shalat agar dilihat manusia, bukan karena ikhlas kepada Allah.
Akibat dari melalaikan shalat maka Allah mengancam mereka dengan “ويل” (wail), yang menurut sebagian ulama berarti azab yang berat atau nama lembah di neraka. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Intinya, seorang Muslim harus menjaga shalatnya dengan penuh perhatian, tepat waktu, khusyuk, dan dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban atau pamer di hadapan manusia.
Kesepuluh, Amal Hancur Karena Menyakiti Orang Tua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ لِوَالِدَيْهِ
“Tidak akan masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.” (HR. Ahmad, No. 22618). Dalam Islam, durhaka kepada orang tua (‘uquq al-walidayn) termasuk dalam dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar? Kami menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.’” (HR. Bukhari No. 2654, Muslim No. 87). Hadis ini menunjukkan bahwa durhaka kepada orang tua sejajar dengan dosa syirik, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam.
Bentuk-Bentuk Kedurhakaan
Kedurhakaan kepada orang tua bisa dalam berbagai bentuk, baik dalam ucapan maupun perbuatan, di antaranya; pertama, bersikap kasar dan berkata buruk kepada mereka, seperti membentak atau menghardik. Allah berfirman,
وَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah engkau membentak mereka, serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Isra’: 23)
Kedua, Tidak menaati mereka dalam hal yang baik, selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat. Ketiga, membiarkan mereka dalam kesulitan, tidak menafkahi atau merawat mereka ketika mereka membutuhkan. Keempat, tidak mendoakan mereka, padahal doa anak saleh sangat berarti bagi orang tua, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
Kedurhakaan kepada orang tua bukan hanya mendatangkan siksaan di akhirat, tetapi juga di dunia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ الذُّنُوبِ يُؤَخِّرُ اللَّهُ مِنْهَا مَا شَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَّا عُقُوقَ الْوَالِدَيْنِ، فَإِنَّهُ يُعَجِّلُ لِصَاحِبِهِ فِي الْحَيَاةِ قَبْلَ الْمَمَاتِ
“Semua dosa akan ditangguhkan oleh Allah (hukuman-Nya) hingga hari kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya Allah akan menyegerakan hukumannya di dunia sebelum kematian.” (HR. Al-Hakim No. 7258)
Banyak kasus menunjukkan bahwa orang yang durhaka kepada orang tua akan mengalami kesulitan dalam hidupnya, seperti rezeki yang seret, hidup yang penuh penderitaan, atau bahkan mengalami kematian yang buruk (su’ul khatimah).
Sebaliknya, berbakti kepada orang tua (birrul walidain) adalah salah satu amalan yang paling dicintai Allah dan menjadi jalan menuju surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi No. 1899)
Bagi yang pernah durhaka kepada orang tua, Islam membuka pintu taubat. Caranya: pertama, meminta maaf kepada orang tua dengan sungguh-sungguh. Kedua, berusaha mengganti keburukan dengan kebaikan, seperti membantu mereka secara materi maupun non-materi.
Ketiga, mendoakan mereka, sebagaimana dalam Al-Qur’an,
رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’: 24)
Keempat, jika orang tua sudah wafat, seseorang bisa berbakti dengan cara bersedekah atas nama mereka, memohonkan ampunan, dan menjaga silaturahmi dengan teman-teman mereka.
Hadis ini menegaskan betapa besar dosa durhaka kepada orang tua hingga dapat menjadi penghalang seseorang masuk surga. Oleh karena itu, kita wajib selalu berbuat baik kepada mereka, menghormati, dan mendoakan mereka agar mendapatkan ridha Allah. Semoga Allah menjadikan kita anak-anak yang berbakti kepada orang tua dan menghindarkan kita dari kedurhakaan yang bisa mendatangkan murka-Nya.
Kesebelas, Defisit Amal Karena Meninggalkan Kewajiban. Allah berfirman:
فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّۭا
“Maka datanglah setelah mereka pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Qs. Maryam: 59)
Ayat ini mengingatkan bahwa setelah generasi yang saleh, muncul generasi yang lalai dalam menjaga shalat dan lebih memilih mengikuti hawa nafsu. Akibatnya, mereka akan mendapatkan “ghayyan” (kesesatan dan azab yang berat di akhirat).
Untuk menghindari defisit amal, seorang Muslim harus memperbanyak ibadah, menjauhi dosa, bertaubat, serta ikhlas dalam beramal agar diterima oleh Allah Ta’ala. Semoga Allah menjauhkan kita dari defisit amal dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di akhirat, aamiin.[]
Mi’raj News Agency (MINA)