Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior MINA
Kepala Departemen Urusan Pengungsi pada Komite Eksekutif PLO, Ahmed Abu Houli, mengatakan bahwa Deklarasi Balfour 2 November 1917, adalah awal kejahatan terus-menerus Israel hingga saat ini.
“Balfour menciptakan keluhan sejarah terbesar yang terus ada melalui pendudukan Israel di tanah Palestina kami, dan para pengungsi Palestina yang mengungsi dan tersebar di luar rumah mereka di kamp-kamp pengungsi,” ujarnya kepada Al-Quds Al-Araby, menandai 103 tahun Balfour, Senin (2/11/2020).
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Ia menambahkan, hingga kini Palestina masih menunggu dukungan komunitas internasional untuk mereka, dan pencabutan ketidakadilan sejarah pada mereka yang diusir pada tahun 1948.
Dia menuntut Inggris untuk “meminta maaf” kepada rakyat Palestina atas janji, untuk mengakui negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem sebagai ibukotanya, serta untuk memikul tanggung jawabnya terhadap rakyat Palestina, dan untuk mendukung tujuan mereka yang adil.
“Sebagai negara pertama yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, harus membuat kompensasi atas kejahatannya, yang dampaknya masih ada,” lanjutnya.
Menurutnya, termasuk saat ini, dunia tidak boleh mengizinkan berlangsungnya kesepakatan abad ini dengan tujuan aneksasi Israel lebih luas dan Yahudisasi. “Semua itu hanya untuk meloloskan rencananya mengakhiri kehadiran Palestina,” lanjutnya.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Dia menegaskan, rakyat Palestina akan melanjutkan perjuangan mereka yang sah dan perlawanan rakyat di semua bidang melawan kesepakatan abad ini.
“Rakyat kami akan mempertahankan keputusan nasional independen mereka, berapa pun harganya,” ujarnya.
Deklarasi Balfour seperti disinggung Komite Eksekutif PLO, Ahmed Abu Houli, mengacu pada Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris), saat menulis secarik kertas tertanggal 2 November 1917, 103 tahun lalu.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Surat kontroversial itulah yang kemudian dijadikan dalih bagi Yahudi-Diaspora untuk berbondong-bondong menyerbu, menjajah dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (The World Zionist Organization). Agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi-Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Pendudukan Palestina
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Inggris di bawah pimpinan Jenderal Allenby kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina pada Desember 1917.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Ironisnya, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Pada tahun 1947, PBB pun menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab (Palestina).
Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, merasa mendapatkan angin, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan Israel secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Bukan Hak Israel
Dalam pandangan Awni Abd al-Hadi, seorang tokoh politik dan nasionalis Palestina, ia mengecam Deklarasi Balfour dalam memoarnya. Ia mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh orang asing yaitu Inggris yang tidak memiliki hak di Palestina, kepada seorang Yahudi asing yang juga tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Pada tahun 1920, Kongres Palestina Ketiga di Haifa mengecam pemerintah Inggris yang selalu mendukung proyek Zionis dan menolak pernyataan Balfour tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak penduduk asli.
Namun, sumber penting lainnya untuk mengetahui pendapat Palestina mengenai Deklarasi Balfour tersebut ditutup, seiring dibreidelnya media-media lokal atau di bawah penyensoran militer Inggris.
Tentu, bukan hanya Inggris memang. Sebab Deklarasi Balfour tersebut tidak akan dibuat tanpa persetujuan terlebih dahulu dari kekuatan Sekutu lainnya selama Perang Dunia I.
Mandat Inggris itu telah menciptakan kondisi bagi minoritas Yahudi untuk mendapatkan superioritas di Palestina dan untuk membangun sebuah negara illegal untuk diri mereka sendiri.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Seratus tahun lebih berlalu, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.
Deklarasi Balfour telah memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.
Inilah penipuan politik terbesar di dunia, di mana mereka yang tidak memiliki hak yang layak, merampas dari pemilik sah sebenarnya, di hadapan mata dunia.
Pada saat Deklarasi Balfour yang memberikan tanah air kepada orang-orang Yahudi, jumlah mereka di Palestina sekitar 5% saja dari populasi asli, jumlah mereka hanya sekitar 50 ribu, dari 12 juta yang tersebar di negara-negara di dunia.
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Sedangkan penduduk Palestina adalah orang-orang Arab pada waktu itu hampir 650.000 warga negara.
Selanjutnya pada tahun 1967, pasukan pendudukan Israel menyelesaikan pendudukan sisa wilayah Palestina, selama perang yang mereka lakukan melawan beberapa negara Arab.
Robert Fisk, penulis asal Inggris yang dikenal atas dukungannya pada perjuangan Palestina, membahas Deklarasi Balfour Inggris yang menyebabkan perampasan tanah Palestina.
Fisk menulis, bahwa apa yang telah dilakukan otoritas Inggris negaranya terhadap Palestina adalah “memalukan,” mengingat janji “berbahaya”.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Fisk memusatkan perhatian pada penderitaan rakyat Palestina sebagai akibat dari Deklarasi Balfour, dan ia pun menolak perayaan Inggris pada hari jadi ini, yang jatuh pada tanggal dua November setiap tahun
Normalisasi
Dampak Balfour pun berlanjut, orang-orang Palestina kini sedang menghadapi tekanan politik yang besar, yang diwakili oleh rezim-rezim Arab yang menormalisasi hubungan mereka dengan Israel, mengklaim untuk melayani perjuangan Palestina.
Deklarasi Balfour sebagai kolonialesme modern pun dihadirkan oleh pemerintah AS melalui rencana politiknya yang dikenal sebagai Kesepakatan Abad Ini.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Para pejuang Palestina menggambarkannya sebagai mewakili “Deklarasi Balfour 2”, karena memungkinkan pendudukan untuk mengontrol wilayah yang luas dari tanah negara Palestina yang diinginkan, yang direncanakan oleh Palestina untuk didirikan di tanah yang mereka tempati pada tahun 1967.
Untuk memperkuat itu, sebagai kelanjutannya, AS menekan negara-negara Arab untuk menjalin normalisasi diplomatik dengan Israel.
Sebuah langkah yang dituruti Eni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, lalu Sudan dikabarkan akan menyusul. Semuanya, menurut pimpinan Palestina dan faksi-faksi perjuangan, disebut sebagai tikaman dari belakang dan bentuk pengkhianatan Arab.
Namun yang jelas, justru itu semua menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina akan sangat tegantung pada rekonsiliasi, kesatuan dan persatuan bangsa Palestina itu sendiri. Dan Palestina tidak usah kecewa dan putus asa atas langkah tetangga-tetangga super kayanya itu. Sebab, masih ada umat Islam di seluruh dunia yang berdiri mendukung dan membela kalian. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)