Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pada Ahad (31/10/2021), menetapkan Dekrit yang memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang pada 2 November setiap tahun, menandai peringatan Deklarasi Balfour.
Kantor Berita Wafa melaporkan, Dekrit yang dikeluarkan Presiden Abbas memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di semua kementerian dan departemen pemerintah, dan di semua kedutaan dan kantor perwakilan Palestina di luar negeri.
Dekrit tersebut bertujuan untuk mengingatkan dunia pada umumnya dan Inggris pada khususnya tentang penderitaan rakyat Palestina dan hak-hak mereka untuk mencapai kemerdekaan, kenegaraan dan penentuan nasib sendiri.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Deklarasi Balfour seperti disinggung Presiden Abbas, mengacu pada Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris), saat menulis secarik kertas tertanggal 2 November 1917, 104 tahun lalu.
Surat kontroversial itulah yang kemudian dijadikan dalih bagi Yahudi-diaspora untuk berbondong-bondong menyerbu, menjajah dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (The World Zionist Organization). Agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi-Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas yang ada di sana.
Isi surat yang berupa surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour, sebagai berikut dari sumber Wikipedia.
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.Salam,
Arthur James Balfour.
Pendudukan Palestina
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Inggris di bawah pimpinan Jenderal Allenby kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina pada Desember 1917.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Ironisnya, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Pada tahun 1947, PBB pun menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab (Palestina).
Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, merasa mendapatkan angin, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan Israel secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Bukan Hak Israel
Pada tahun 1920, Kongres Palestina Ketiga di Haifa mengecam pemerintah Inggris yang selalu mendukung proyek Zionis dan menolak pernyataan Balfour tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak penduduk asli.
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Namun, sumber penting lainnya untuk mengetahui pendapat Palestina mengenai Deklarasi Balfour tersebut ditutup, seiring dibreidelnya media-media lokal atau di bawah penyensoran militer Inggris.
Tentu, bukan hanya Inggris memang. Sebab Deklarasi Balfour tersebut tidak akan dibuat tanpa persetujuan terlebih dahulu dari kekuatan Sekutu lainnya selama Perang Dunia I.
Mandat Inggris itu telah menciptakan kondisi bagi minoritas Yahudi untuk mendapatkan superioritas di Palestina dan untuk membangun sebuah negara illegal untuk diri mereka sendiri.
Seratus tahun lebih berlalu, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Deklarasi Balfour telah memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.
Inilah penipuan politik terbesar di dunia, di mana mereka yang tidak memiliki hak yang layak, merampas dari pemilik sah sebenarnya, di hadapan mata dunia.
Menurut Robert Fisk, penulis asal Inggris yang dikenal atas dukungannya pada perjuangan Palestina, mengulas tentang Deklarasi Balfour Inggris yang menyebabkan perampasan tanah Palestina.
Fisk menulis, bahwa apa yang telah dilakukan otoritas Inggris terhadap Palestina adalah “memalukan,” mengingat janji “berbahaya”.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Fisk memusatkan perhatian pada penderitaan rakyat Palestina sebagai akibat dari Deklarasi Balfour, dan ia pun menolak perayaan Inggris pada hari jadi ini, yang jatuh pada tanggal 2 November setiap tahun.
Penolakan Deklarasi Balfour sebenarnya telah digulirkan oleh warga Palestina dengan menggunakan pengadilan mereka. Seperti diumumkan Pengadilan Tingkat Pertama Nablus, di Tepi Barat utara, Februari 2021, yang memutuskan pembatalan “Deklarasi Balfour.”
Putusan menegaskan bahwa itu melanggar aturan-aturan hukum internasional.
Keputusan itu dikeluarkan dalam sidang hukuman, dalam kasus yang diajukan oleh beberapa pihak terhadap Inggris, mengenai dampak dari “Deklarasi Balfour” dan pelanggaran yang dilakukan oleh Inggris selama pendudukan dan mandat Palestina.
Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan
Pengacara Palestina mengajukan gugatan di Pengadilan Tingkat Pertama di Nablus, atas nama Majelis Nasional Independen, Yayasan Internasional untuk Tindak Lanjut Hak-Hak Rakyat Palestina, dan Sindikat Jurnalis Palestina, terhadap pemerintah Inggris, yang mereka anggap bertanggung jawab atas “Deklarasi Balfour.”
Betapa Deklarasi Balfour telah memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.
Namun terlepas dari semua itu, perjuangan orang-orang Palestina akan tetap teguh dan membara. Sokongan dunia timur dan barat, utara hingga ke selatan, pun semakin tampak.
Wabil khusus tentu dari bumi tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Doa, support dan dukungan itu terus mengalir bak gelombang yang silih berganti tak akan pernah berhenti.
Baca Juga: Palestina Tolak Rencana Israel Bangun Zona Penyangga di Gaza Utara
Bukan hanya karena di bumi penuh berkah itu ada saudara-saudara Muslim yang teraniaya, juga manusia lainnya yang tertindas. Lebih khusus lagi karena ada Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama Muslim dan tanah Isra Mi’raj Nabi Muhammad.
Penulis dalam buku Membaca Kebangkitan Khilafah dalam Pembebasan Palestina (Penerbit Desanta Muliavisitama, Oktober 2019) menekankan bahwa pembebasan Palestina dan Al-Aqsa itu merupakan janji Allah yang pasti terlaksana.
Tinggal bagaimana konsistensi, keistiqamahan, kesungguhan dan daya juang yang terus-menerus dari segala lini dan segala penjuru. Serta yang paling pokok adalah terwujudnya persatuan dan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah Muslimin beserta Imaamnya untuk pembebasan Al-Aqsa.
Insya-Allah. “Al-Aqsha haqquna!!!”. (A/RS2/P1 )
Mi’raj News Agency (MNA)