Jakarta, MINA – Gerakan Nasional Anti Islamophobia (GNAI) dideklarasikan oleh sejumlah tokoh, ulama, habaib dan aktivis di Aula Buya Hamka Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, pada Jumat 15 Juli 2022.
Dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Senin (18/7), gerakan ini untuk melawan isu Islamophobia di dunia yang oleh media barat digambarkan sebagai kaum teroris dan radikalis.
Gerakan ini merupakan respon positif dan konstruktif dari Resolusi PBB yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia atau “International Day to Combat Islamophobia”.
Deklarasi GNAI ini dihadiri sejumlah tokoh yakni Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Wakil Ketua Partai Ummat Buni Yani, Ketua Umum Partai Masyumi Reborn Ahmad Yani, Habib Mukhsin, Mustofa Nara, Refly Harun, Alfian Tandjung, Habib Umar Husain dan sejumlah tokoh dan aktivis lainnya.
Termasuk mantan anggota DPR RI Hatta Taliwang, mantan anggota DPR Ariadi Ahmad, Rizal Fadilah, Anton, aktivis era 98 Andrianto. Sementara di jajaran inisiator dan pendiri GNAI ada nama Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Wahab Hasbullah yakni Gus Aam, Ahmad Dhani Prasetyo, Habib Mukhsin, Ustadz Umar Husein, Ustaz Alfian Tandjung.
Agenda pertempuran melawan Islamophobia
Selain itu, sejumlah tokoh juga memberikan testimoni lewat video yang di tayangkan di lokasi acara antara lain Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Ketua Umum PP Syarikat Islam Hamdan Zoelva.
Deklarasi dan pernyataan sikap Gerakan Nasional Anti Islamphobia (GNAI) dibacakan oleh Presidium GNAI Ferry Juliantono.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Ferry mengatakan, pascaera perang dingin, dunia Barat mengalihkan sumber ancaman dan bahaya dari komunisme ke Islam yang termanifestasi dalam bentuk radikalisme, fundamentalisme dan terorisme, yang mengakibatkan munculnya stigma terhadap ajaran Islam sebagai ajaran yang berbahaya dan menakutkan atau dikenal sebagai Islamofobia.
Sejarah menunjukkan stigma itu akhirnya menimbulkan kebencian kepada Islam sangat dalam di berbagai belahan dunia.
Perbedaan teologis yang diperburuk oleh perbedaan politik, ekonomi, dan budaya seringkali menyebabkan terjadinya ketegangan dan konflik antar negara. Namun setelah puluhan tahun berlangsung tanpa bukti-bukti ilmiah, akhirnya muncul kesadaran baru bahwa sumber ancaman dunia berasal dari ajaran Islam tidaklah benar, tidak produktif, bahkan deskruktif bagi pergaulan internasional.
Lima sikap sekaligus tuntutan GNAI sebagai bagian dari Deklarasi, yaitu pertama, agar tanggal 15 Maret setiap tahun diperingati sebagai hari perlawanan terhadap Islamophobia. Kedua, Agar Pemerintah tidak menjadikan Islam dan umat Islam sebagai masalah atau lawan tetapi potensi dan mitra bagi pengembangan bangsa dan negara.
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Ketiga, stop stigma radikal, intoleran dan anti kebhinekaan yang ditujukan pada umat Islam. Keempat, jangan mengarahkan moderasi beragama pada makna sekularisasi, liberalisasi atau pengambangan nilai (plotisma). Kelima, mendesak Pemerintah dan DPR menerbitkan UU Anti Islamophobia dengan sanksi pelanggaran yang tegas dan keras.
Deklarasi GNAI untuk menindaklanjuti Resolusi PBB dinilai tepat, apalagi Indonesia adalah negara mayoritas muslim. Ironi jika di negara mayoritas muslim justru Islamophobia itu marak. Pemerintah yang membiarkan bahkan ikut aktif menciptakan iklim Islamophobia tentu tidaklah sehat.
Islamophobia memiliki berbagai bentuk seperti penistaan atau penodaan agama, tuduhan fitnah umat Islam radikal dan intoleran, program deradikalisasi yang hakekatnya de-Islamisasi bahkan de-Qur’anisasi, kriminalisasi ulama dan aktivis Islam, serta pengembangan faham-faham sesat termasuk nativisme dengan membenturkan agama dengan adat/budaya.
Anti Islamophobia mulai bergerak. Mengingatkan bangsa khususnya Pemerintah agar dapat meluruskan kembali arah politik keagamaan di Indonesia. Agama adalah potensi dan kekuatan bukan penghambat pembangunan atau kemajuan. Silaturahmi dengan berbagai kelompok keumatan menjadi agenda penting dari gerakan.
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.
Dalam Deklarasi tersebut, UU Anti Islamophobia mendesak untuk segera diterbitkan agar umat Islam lebih terjamin dalam menjalankan kegiatan keagamaannya serta terlindungi dari serangan dan gangguan berbagai pihak yang ingin merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umat Islam adalah umat yang taat hukum, oleh karena itu aspirasi keumatan harus terwadahi dalam peraturan perundang-undangan.
Gerakan Anti Islamophobia berbasis Resolusi PBB karenanya bernuansa global. Aliansi dengan gerakan serupa di berbagai negara patut dibangun. Tujuannya agar umat Islam dapat lebih berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia. Saatnya umat bergerak lebih cepat.
Gerakan Anti Islamophobia adalah gerakan untuk mempersatukan umat sekaligus menangkal perpecahan akibat adu domba dan fitnah dari kelompok yang benci atau takut berlebihan kepada Islam.
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan
Gerakan Nasional Anti Islamophobia (GNAI) telah dideklarasikan di Masjid Agung Al Azhar bertempat di Ruang Buya Hamka. Mengingatkan spirit Buya Hamka yang gigih menegakkan kebenaran dan keadilan. Membela agama Islam melalui dakwah.(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: AWG Gelar Dauroh Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid Terbesar Lampung