DI sebuah rumah sakit bawah tanah yang gelap di Rafah, seorang ayah menggenggam tangan anaknya yang tak bernyawa, tubuh mungil itu berselimut debu dan serpihan puing. Ia tak menangis, matanya kosong. Di luar, langit masih bergemuruh oleh dentuman bom. Ia bukan satu-satunya. Puluhan ribu orangtua Palestina kini memakamkan anak-anak mereka dengan tangan sendiri, di tengah dunia yang terus berdiplomasi, berdiskusi, dan -terlalu sering- diam.
Di sisi lain dunia, ribuan kilometer dari Gaza yang hangus, para pemimpin parlemen dari 54 negara Islam berkumpul di Jakarta. Mereka menyampaikan seruan dalam bahasa solidaritas: mengutuk penjajahan, mendukung kemerdekaan Palestina, dan menuntut diakhirinya agresi brutal Israel. Deklarasi Jakarta pun diumumkan kepada dunia.
Tapi pertanyaannya menggantung di udara seperti asap dari puing-puing rumah yang dibom: Apakah kata-kata ini akan cukup untuk menyelamatkan satu nyawa saja di Gaza? Apakah dunia Islam, setelah puluhan tahun janji dan retorika, akan bergerak lebih dari sekadar mengutuk?
Meski tak terbayangkan jika sebuah kota di mana setiap jamnya suara sirene bersahut-sahutan, bukan karena upacara atau bencana alam, tetapi karena serangan udara yang tanpa henti merenggut nyawa. Sungguh tak terbayang jika rumah sakit yang berubah menjadi kuburan massal, anak-anak yang tidak pernah sempat mengenal sekolah, dan keluarga yang tak sempat berpisah sebelum lenyap tertimbun reruntuhan. Namun itulah Gaza hari ini. Di tengah genosida yang terus berlangsung sejak Oktober 2023, sebuah cahaya solidaritas menyala dari Timur: Deklarasi Jakarta, hasil Konferensi Parlemen OKI (PUIC) ke-19, menyerukan bahwa dunia Islam tidak akan tinggal diam.
Baca Juga: Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, Dua Cahaya dalam Satu Ayat
Dunia Islam Mengangkat Suara di Jakarta
Konferensi Parlemen Konferensi Parlemen Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-19 yang diselenggarakan di Jakarta pada 12–15 Mei 2025 menjadi saksi komitmen kolektif dunia Islam dalam menghadapi berbagai ketidakadilan global.
Delegasi dari 38 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyuarakan kepedulian mendalam terhadap tragedi kemanusiaan yang melanda Gaza. Deklarasi Jakarta yang dibacakan Ketua BKSAP DPR RI, Mardani Ali Sera, bukan sekadar pernyataan politik, tetapi teriakan nurani kolektif dunia Muslim.
Deklarasi tersebut menegaskan bahwa isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif merupakan jantung perjuangan umat Islam. Penolakan terhadap aneksasi wilayah, seruan penghentian agresi Israel, serta dukungan terhadap keanggotaan penuh Palestina di forum internasional menjadi inti seruan PUIC.
Baca Juga: Zionisme: Ideologi Setan Berkedok Tanah Terjanji
Dari Tragedi ke Genosida Sistematis
Per 18 Mei 2025, data terbaru dari otoritas kesehatan Palestina di Gaza mencatat sedikitnya 53.339 warga Palestina tewas, mayoritas perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 121.000 lainnya luka-luka.
Sejak penjajah Zionis Israel melanjutkan agresi pasca-gencatan senjata pada 18 Maret lalu, lebih dari 3.193 nyawa kembali melayang, dan hampir 9.000 lainnya terluka. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah wajah-wajah manusia yang dilenyapkan.
Menurut Dewan Nasional Palestina (PNC), serangan militer tersebut telah melampaui batas operasi militer biasa. Ini adalah genosida dan pembersihan etnis yang sistematis.
Baca Juga: Masjidil Aqsa, Lambang Kehormatan Umat Islam yang Terluka
Serangan udara menghantam rumah sakit seperti Rumah Sakit Kuwait dan Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara. Serangan ini tidak hanya melumpuhkan layanan medis, tetapi juga membunuh pasien dan staf medis.
WHO menyebutkan lebih dari 10.000 pasien di Gaza, termasuk 4.500 anak-anak, membutuhkan evakuasi medis darurat.
Sementara sebanyak 219 jurnalis telah terbunuh sejak agresi dimulai. Ini bukan kebetulan. Ini adalah upaya sistematis membungkam suara Palestina dan menghapus narasi mereka dari kesadaran dunia. Israel tidak hanya menghancurkan fisik Gaza, tetapi juga mencoba membunuh ingatan kolektif dan harapan rakyatnya.
Pidato Prabowo dan Diplomasi Global Indonesia
Baca Juga: Membela Palestina pun Bisa Melalui Pameran Foto
Presiden Prabowo Subianto membuka langsung konferensi tersebut di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, pada Rabu, 14 Mei 2025, dengan nada tegas. Ia tidak berbicara dengan basa-basi diplomatik seperti lazimnya forum internasional.
Dalam sambutannya, Prabowo langsung menyasar substansi: genosida di Gaza tidak bisa lagi dihadapi hanya dengan diskusi dan pernyataan sikap. Palestina membutuhkan tindakan konkret.
“Jangan kita sekadar berdiskusi, jangan menyusun resolusi-resolusi lagi. Rakyat Palestina terlalu lama menjadi korban. Mereka membutuhkan keberpihakan, tindakan nyata,” kata Prabowo di hadapan perwakilan parlemen dari 54 negara anggota OKI.
Nada suara Prabowo meninggi ketika berbicara tentang penderitaan rakyat Palestina. Bagi Presiden ke-8 RI itu, isu Palestina bukan sekadar diplomasi, melainkan soal kemanusiaan yang menuntut keberanian moral dan politik.
Baca Juga: Kunjungan Transaksional Trump ke Timteng di Tengah Kelaparan Gaza
Dalam forum yang selama ini dikenal penuh formalitas dan retorika, pidato Prabowo terasa seperti tamparan. Ia menyerukan agar dunia Islam bersatu. Rivalitas dan perbedaan internal, kata dia, justru menjadi celah bagi ketidakadilan dan kekerasan terus berlangsung tanpa perlawanan berarti.
“Perjuangan ini akan makin kuat bila kita, dunia Islam, bisa bersatu. Marilah kita atasi perbedaan dan rivalitas di antara kita. Mari kita lihat hal yang penting: keselamatan umat Islam dan masa depan peradaban Islam,” ujar mantan Menteri Pertahanan itu.
Pidato Prabowo bukan berdiri sendiri. Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia di bawah kepemimpinannya mulai menapaki jalur diplomasi yang lebih tegas. Selain tetap aktif di berbagai forum internasional, termasuk Majelis Umum PBB dan KTT ASEAN, Indonesia juga memperkuat posisi moralnya dalam isu Palestina.
Selama enam bulan terakhir, Indonesia secara aktif menyerukan gencatan senjata permanen di Gaza, mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan, dan mendorong penyelidikan atas dugaan kejahatan perang oleh Israel. Namun, Prabowo tampaknya menyadari bahwa suara Indonesia hanya akan menggema jika ditopang oleh kekuatan domestik yang solid.
Baca Juga: Langkah-Langkah Sederhana Menuju Surga
“Kalau kita tidak bisa mengurus bangsa kita sendiri, bagaimana kita mau membantu umat yang sedang dalam kesusahan? Kalau kita lemah, tidak mungkin kita bisa bantu Palestina. Bahkan suara kita pun tidak akan didengar,” katanya.
Di forum yang sama, Prabowo menyinggung pentingnya reformasi internal. Tata kelola yang baik, lembaga yang kuat, pemimpin yang jujur, semua itu, menurutnya, adalah syarat mutlak agar dunia Islam bisa berbicara dengan otoritas di panggung global.
“Tanpa kekuatan bersama, niat baik kita hanya akan dianggap angin lalu,” ujar Prabowo.
Sebagai tuan rumah, Indonesia dipandang punya tanggung jawab lebih. Presiden Prabowo dalam berbagai forum telah menggaungkan diplomasi kemanusiaan yang lebih keras, termasuk dukungan terhadap ICC untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang di Gaza. Namun tekanan geopolitik terhadap ICC sangat besar, terutama dari negara-negara besar yang menjadi sekutu Israel.
Baca Juga: Perjalanan Trump ke Timteng Tak Banyak Bantu Warga Palestina
Indonesia juga belum memiliki instrumen nyata seperti sanksi ekonomi atau pemutusan hubungan dagang terhadap perusahaan yang terafiliasi dengan proyek pendudukan Israel. Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa boikot produk pro-Israel, pelaksanaannya masih bergantung pada kesadaran sukarela, bukan kebijakan negara.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan strategis di ranah global: anggota G20, pemimpin dunia Islam moderat, dan mitra penting dalam kerja sama Selatan-Selatan. Tapi kekuatan itu harus diartikulasikan dalam kebijakan luar negeri yang lebih eksplisit: mendorong embargo senjata terhadap Israel, membatasi aktivitas diplomatiknya, dan mendesak mitra-mitra ASEAN untuk ikut bersuara.
Jika Indonesia tidak menggunakan posisi strategisnya untuk memobilisasi tekanan global, maka Deklarasi Jakarta bisa saja nasibnya seperti ratusan deklarasi sebelumnya: dilupakan sebelum tinta kering
Presiden Prabowo tidak hanya bicara soal tragedi di Gaza. Ia juga mengajak negara-negara Islam menengok kembali sejarah kejayaan Islam melalui tokoh-tokoh seperti Salahuddin Al-Ayyubi, Umar bin Khattab, dan Muhammad Al-Fatih. Baginya, teladan masa lalu adalah panduan untuk masa depan: Islam harus kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan, teknologi, dan keadilan global.
Baca Juga: Hijrah Bukan Tren, Tapi Jalan Pulang yang Hakiki
“Islam pernah memimpin dunia dalam peradaban dan sains. Kita harus kembali meraihnya, agar bisa mengangkat kesejahteraan umat,” kata Prabowo.
Namun, kritik terhadap forum-forum Islam internasional juga tersirat. Banyak resolusi dilahirkan, tapi minim implementasi. Banyak janji solidaritas, namun tak tampak di medan nyata. Dalam konteks inilah, Prabowo mendorong agar Konferensi PUIC ke-19 menghasilkan langkah konkret, tidak hanya menambah daftar deklarasi.
Deklarasi Jakarta: Lebih dari Kata-kata?
Enam butir utama Deklarasi Jakarta memuat tuntutan-tuntutan tegas terhadap komunitas internasional dan terutama kepada Israel: Pertama, penghentian total agresi Israel di Gaza. Kedua, pembebasan semua tahanan Palestina, khususnya perempuan dan anak-anak. Ketiga, penolakan pemindahan paksa dan klaim sepihak Israel atas tanah Palestina.
Baca Juga: Haji Berkali-kali, Tapi Tetap Sombong dan Kikir?
Keempat, dukungan penuh terhadap solusi dua negara dan penyelenggaraan konferensi perdamaian internasional di bawah naungan PBB. Kelima, penerapan sanksi internasional terhadap Israel atas pelanggaran hukum internasional. Keenam, investigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang di wilayah Palestina.
Butir-butir ini, di atas kertas, menggambarkan sebuah sikap politik yang tajam dan proaktif. Namun publik global yang telah terbiasa dengan parade deklarasi dari berbagai forum Islam internasional bertanya: apakah ini akan benar-benar diikuti oleh tindakan nyata?
Di Mana Keadilan Dunia Internasional?
PBB telah mengeluarkan resolusi gencatan senjata. Mahkamah Internasional (ICJ) telah menyerukan langkah-langkah pencegahan genosida. Tapi bom masih jatuh, ambulans masih diserang, rumah sakit masih dibombardir. Dunia tampak kehilangan keberanian untuk menegakkan hukum internasional ketika pelanggarnya adalah sekutu ekonomi dan militer.
Baca Juga: Topeng Demokrasi Amerika Roboh di Tepi Gaza
Uni Eropa belum membekukan kerja sama dagang. Amerika Serikat masih menyuplai senjata. Negara-negara yang mengaku membela hak asasi manusia memilih diam ketika yang mati adalah anak-anak Palestina.
Deklarasi Jakarta tak boleh berakhir sebagai simbol seremonial belaka. Ini saatnya dokumen itu menjadi cetak biru baru bagi diplomasi kolektif umat Islam di abad ke-21, diplomasi yang tidak hanya mengutuk, tapi mengguncang.
Negara-negara anggota PUIC, yang mewakili seperempat umat manusia, mesti mengubah deklarasi menjadi aksi nyata. Bukan lagi pernyataan belasungkawa, tapi rangkaian langkah strategis yang terukur dan terkoordinasi:
Pertama, embargo ekonomi terhadap Israel harus menjadi prioritas. Pemutusan hubungan dagang, pembekuan aset, dan pelarangan transaksi keuangan dengan entitas yang terlibat dalam proyek permukiman ilegal wajib dilaksanakan secara kolektif. Jika satu negara kecil melakukannya sendiri, itu bisa diabaikan. Tapi jika dilakukan bersama, dunia tak bisa menutup mata.
Kedua, penarikan duta besar dari Tel Aviv secara massal akan menjadi sinyal diplomatik paling kuat sejak boikot minyak Arab 1973. Ini bukan hanya tekanan, melainkan bahasa diplomasi yang menunjukkan bahwa dunia Islam tidak bersedia lagi menoleransi genosida yang dibiarkan tanpa sanksi.
Ketiga, penggalangan dukungan luas di Majelis Umum PBB untuk pengakuan penuh Negara Palestina sebagai anggota tetap harus segera dimobilisasi. Jika dunia barat memveto Palestina di Dewan Keamanan, maka Majelis Umum menjadi panggung kedaulatan moral umat manusia.
Keempat, dukungan aktif terhadap proses hukum di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) wajib dilipatgandakan. Negara-negara anggota PUIC mesti menyediakan tim hukum, data, dan pendanaan untuk memastikan para pelaku kejahatan perang, baik dari militer Israel maupun pejabat tinggi pemerintahnya, dihadirkan ke muka hukum internasional.
Kelima, komitmen pendanaan jangka panjang untuk rekonstruksi Gaza menjadi ujian terakhir. UNRWA dan organisasi kemanusiaan kredibel harus dibiayai penuh. Tidak cukup dengan janji konferensi bantuan. Yang dibutuhkan Gaza adalah rumah sakit, sekolah, air bersih, dan masa depan.
Deklarasi Jakarta, jika dijalankan dengan langkah-langkah strategis ini, bisa menjadi titik balik. Bukan hanya bagi Palestina, tapi bagi harga diri diplomasi Islam yang selama ini kerap tersandera kepentingan geopolitik dan fragmentasi internal.
Saatnya dunia Islam berdiplomasi dengan keberanian. Karena seperti kata penyair Mesir, Amal Dunqul, “Jangan percaya pada dunia yang diam terhadap pembantaian. Diam mereka adalah racun, dan darahmu harga yang mereka tawar-menawar.”
Deklarasi Jakarta adalah seruan moral. Tapi Gaza butuh lebih dari kata-kata. Ia butuh aksi, tekanan, dan keberanian politik. Dunia Islam sudah bersuara, kini dunia internasional tak bisa lagi mengaku tak tahu. Diam adalah keberpihakan. Dan dalam sejarah, mereka yang diam di hadapan genosida akan dikenang sebagai bagian dari kejahatan itu.
Tapi tantangan ke depan justru berada di luar forum. Apakah negara-negara anggota OKI akan benar-benar menerjemahkan deklarasi itu menjadi langkah politik, ekonomi, dan diplomasi yang efektif?
Waktu akan menjawab. Tapi Gaza tak punya banyak waktu lagi. Palestina bukan sekadar isu politik. Ia adalah ukuran nurani dunia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)