Oleh Fajri Matahati Muhammadin, Dosen Departemen Hukum Internasional, Universitas Gadjah Mada
‘KEJAHATAN’ paling besar Hamas adalah melawan entitas yang menjajah tanah airnya. Setelah sekian lama bangsa Palestina mengalami kekerasan sistematis dari berbagai penjuru oleh Israel, ia ‘dipaksa’ tidak boleh melawan.
Ketika ia meluncurkan roket yang kurang akurat ke wilayah yang dijajah Israel, katanya ‘melanggar’ Hukum Humaniter Internasional (HHI) karena indiscriminate attack (serangan tidak membedakan obyek sipil dan militer).
Hukum internasional tidak peduli bahwa Hamas tidak punya akses ke senjata yang lebih akurat, hanya bisa dapatkan sedikit “remah-remah” yang diselundupkan lewat gorong-gorong. Tidak peduli kalau israel mendapatkan aliran senjata, dana, teknologi, pasukan, yang nyaris tidak terbatas. Pokoknya tidak boleh melawan.
Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan
‘Kejahatan’ paling besar Hamas adalah melawan entitas yang menjajah tanah airnya. Ketika mereka menyerbu ke “wilayah israel,” mereka dikecam dan israel pun dikatakan punya hak mempertahankan diri.
Biasanya sih, hak mempertahankan diri dalam hukum internasional baru muncul ketika wilayah kedaulatan sebuah negara diserang secara tidak sah oleh pihak lain. Kok bisa, ya, “wilayah jajahan” jadi “wilayah kedaulatan” dan serangan pemilik asli tanahnya dikatakan “tidak sah,” sampai dikatakan memicu hak israel untuk mempertahankan diri? Entahlah. Pokoknya tidak boleh melawan.
“Kejahatan” paling besar Hamas adalah melawan entitas yang menjajah tanah airnya. Ya, mengambil sandera adalah pelanggaran HHI. Tapi hukum internasional tidak peduli bahwa entah berapa ribu warga Palestina membusuk dan tersiksa di penjara-penjara israel dan entah berapa dekade seluruh tanah dan bangsa Palestina dirampas dan diusir.
Hukum internasional tidak peduli kalau Hamas tidak melihat adanya jalan lain, mungkin maunya Hamas berbicara baik-baik minta tolong israel berhenti menjajah dan lepaskan para tawanan. Pokoknya harusnya tidak melawan.
Baca Juga: Jebakan Pemikiran Kolonial Rencana 20 Poin Trump tentang Gaza
‘Kejahatan’ paling besar Hamas adalah melawan entitas yang menjajah tanah airnya. Katanya, Tawfan al-Aqsa adalah operasi militer gegabah dan salah, sehingga israel sampai melakukan serangan balik memporak-porandakan Gaza.
Banyak yang tahu bahwa Israel sangat brutal, tapi mungkin banyak tidak mengira kalau kebrutalan israel sebrutal ini. Hamas yang salah, mengira bahwa Irael akan peduli dengan rakyatnya yang disandera sebagaimana preseden-preseden sebelumnya. Pokoknya harusnya tidak melawan.
Prestasi terbesar israel adalah genosida. dengan menunggangi simpati genosida Yahudi saat Perang Dunia II. Mereka mendirikan sebuah “negara” dengan cara genosida juga. Data terbaru menunjukkan bahwa awal 2025 saja sudah ada sekitar delapan puluh ribu rakyat yang dibantai dengan senjata maupun dengan kelaparan.
Sebagian pakar bahkan berspekulasi bahwa angka korban sebenarnya bisa mencapai ratusan ribu. Sedangkan angka ini sekarang pastinya sudah jauh bertambah dan akan terus bertambah, padahal genosida tidak dimulai pada Oktober 2023. Sejak awal pendiriannya, israel secara sistematis telah melakukan genosida kepada bangsa Palestina. Tapi suka-suka israel saja.
Baca Juga: Janji Gizi Murah, Kenyataan Pahit: Kasus Keracunan MBG Meningkat Drastis
Prestasi terbesar israel adalah genosida. Dalam hampir 20 tahun sejak mendeklarasikan pendiriannya, 20.000 km2 lebih tanah Palestina dirampas dan hampir satu juta bangsa Palestina diusir dari rumah dan tanahnya sendiri.
Sampai sekarang, israel sudah merampas sampai sisa sedikit saja tanah yang diduduki oleh Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Itupun Tepi Barat terus digerus oleh pemukim liar illegal yang didukung oleh tentara israel, dan Gaza sedang habis-habisan dihancurkan. Teorinya, ini tidak sah menurut hukum internasional. Tapi suka-suka Israel saja.
Prestasi terbesar israel adalah genosida. Nasib baik bagi mereka, sejak 1948 ada total sekitar 3.3 juta imigran yang kini telah beranak pinak sampai lebih 7 juta orang. Di sisi lain, terima kasih kepada Israel, sepertinya lebih banyak bangsa Palestina yang terusir daripada yang tidak.
Selain yang terusir dari dunia secara total, hampir 6 juta bangsa Palestina tercatat sebagai pengungsi. Di antaranya, sekitar 2,5 juta-nya terusir ke Tepi Barat atau Gaza, dan sekitar 3,5 juta terusir ke negara lain. Yang tidak terusir, mengalami diskriminasi dan kekerasan sistematik. Pengusiran terus berlanjut, diskriminasi terus berlanjut, dan ‘impor’ imigran israel terus berlanjut. Tapi suka-suka Israel saja.
Baca Juga: Proposal Trump untuk Gaza, Harapan Baru bagi Palestina atau Strategi Geopolitik Semata?
Prestasi israel adalah genosida. Terlepas runtutan veto terhadap draf resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang tegas pada israel selama berpuluh tahun, ternyata tetap banyak sekali resolusi dan keputusan beraneka organ PBB yang tetap lahir dan tegas.
Mulai dari perintah menghargai garis-garis batas, perintah gencatan senjata, perintah menghentikan genosida, perintah membongkar pemukiman illegal, dan lain-lain.
Konkretnya, selain omon-omon selama sekian dekade ini, nyaris tidak terjadi apa-apa dan israel tetap melenggang dengan segala kelakuannya. Tentu ini melanggar hukum internasional. Tapi suka-suka israel saja.
Maka tibalah Deklarasi New York di awal Agustus 2025 berisi langkah-langkah strategis untuk mengakhiri konflik yang disepakati oleh banyak sekali negara. Proposal Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini juga memiliki sebagian unsur yang serupa dengan Deklarasi New York tersebut.
Baca Juga: Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?
Tentu saja bangsa-bangsa dunia yang menyertai Deklarasi New York harus ‘fair’ dalam menilai. Karenanya, Deklarasi New York tentulah mengecam kedua belah pihak.
Jangan terkejut jika menemukan bahwa Deklarasi New York sekilas seperti mensejajarkan kecaman, tapi jika diamati ia memilih lebih dulu mengecam Hamas sebelum kemudian “…juga mengecam israel.”
Memang kerugian yang ditimbulkan oleh israel pada bangsa Palestina sekilas nampak berkali lipat ganda lebih banyak daripada kerugian yang ditimbulkan oleh Hamas. Tapi, nyawa dan harta ‘bangsa yang terpilih’ harganya lebih mahal daripada nyawa dan harta bangsa Palestina.
Maka di sana pun hukuman untuk kejahatan haruslah jelas. Hamas diminta untuk melucuti senjatanya dan dilarang untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Palestina untuk kedepannya. Turut terhukum adalah bangsa Palestina secara keseluruhan.
Baca Juga: Bagaimana Hamas Putuskan Posisinya terhadap Rencana Trump?
Deklarasi New York mengamanatkan sebuah “misi stabilisasi internasional” yang bertugas menjamin keamanan internal Palestina sementara melatih armada keamanan internal Palestina yang akan dibentuk.
Tentu, selama ini ancaman terbesar Palestina selama berdekade sampai ter-genosida seperti ini adalah faktor internal. Untuk ancaman keamanan eksternal, tidak disinggung sedikitpun. Karena kejahatan haruslah mendapatkan hukuman.
Karena hadiah untuk prestasi haruslah istimewa. Mayoritas negara di dunia lebih tegas meng-afirmasi hadiah 20.000 km2 tanah rampasan, membujuk israel agar mau menerimanya dan tidak meminta lebih dari itu.
Negara-negara menawarkan hadiah sebagai satu-satunya jalan perdamaian. Mengembalikan tanah rampasan kepada pemiliknya adalah opsi yang tidak mungkin karena negara-negara dunia inilah yang memilih membuatnya tidak mungkin. Karena prestasi haruslah mendapatkan hadiah.
Baca Juga: Relevansi Surat Al-Ahzab 35 di Akhir Zaman
Ternyata Deklarasi New York maupun proposal Donald Trump pun ditolak oleh kedua belah pihak. Bagi Hamas, ini balasan yang tidak pantas bagi perlawanan mereka untuk Palestina. Bagi israel, ini hadiah yang kurang atas prestasi genosida mereka di Palestina. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Zionis Israel, Wajah Busuk Peradaban Modern