SETIAP Jumat, warga di Jakarta menyaksikan di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, suara takbir, doa, dan seruan kemanusiaan menggema.
Aksi tersebut bukan sekadar kerumunan, melainkan napas solidaritas yang tak henti-hantinya disuarakan oleh Lembaga Kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG), yang kini telah memasuki pekan ke-12.
Ketua Presidium AWG, M. Anshorullah menegaskan, aksi rutin itu masih perlu terus dilakukan secara kontinyu.
“Bangsa Indonesia akan terus menunjukkan solidaritas dan keberpihakannya terhadap bangsa Palestina untuk melawan penjajahan dan genosida yang saat ini terjadi,” ujarnya.
Baca Juga: Ketika Umat Islam Mayoritas dalam Kuantitas Tapi Minoritas dalam Kualitas
Dengan tertib dan damai, peserta menyuarakan satu pesan tegas, seperti, “Bebaskan Palestina,” “Hentikan Genosida,” “Boikot Produk Zionis,”“Free Free Palestine,” dan “Al-Aqsa Haqquna”.
Aksi rutin turun ke jalan itu secara politik, dapat mendorong perubahan kebijakan atau peninjauan ulang keputusan politik tertentu, serta menunjukkan kekuatan suara masyarakat dalam memengaruhi arah kebijakan.
Aksi rutin turun ke jalan itu menjadi penyalur emosional bagi masyarakat yang merasa pilu, marah, dan sedih atas penderitaan rakyat Palestina. Mereka menemukan pelampiasan damai dalam kebersamaan.
Secara psikologis, ini memperkuat rasa empati, membangun kesadaran sosial, dan mencegah apatisme di tengah derasnya disinformasi.
Baca Juga: Miris Fantasi Sedarah, Pelanggaran Agama, Sosial, dan Undang-Undang
Dari sisi sosial, aksi unjuk rasa memiliki beberapa manfaat dampak, antara lain: meningkatkan kesadaran public, mendorong masyarakat memahami isu-isu penting, menguatkan rasa kebersamaan di antara kelompok dengan tujuan sama, serta dapat menekan pihak berwenang atau tertentu agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya ata kekuatannya.
Unjuk rasa semacam itu bukan hanya pernyataan politik, tapi juga ikatan sosial yang kuat. Berbagai kalangan, mulai dari pelajar, pemuda, pemudi, aktivis, ulama, guru, hingga ibu rumah tangga, bersatu dalam satu barisan.
Aksi ini memperlihatkan bahwa Palestina bukan isu asing, melainkan isu umat yang melampaui batas negara dan golongan.
Demikian pula, pekan demi pekan, aksi solidaritas Palestina itu tak hanya terdengar di jalan, tapi juga bergema di ruang diplomasi.
Baca Juga: Deklarasi Jakarta dan Luka Gaza
Hingga akhirnya, beredar kabar bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengundurkan diri, menandakan bahwa tekanan moral demo itu tak bisa diabaikan.
Informasi dari Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency) menyebutkan, Dubes AS untuk Indonesia, Kamala Shirin Lakhdhir, telah mengajukan pengunduran dirinya pada April 2025 lalu.
Pengunduran diri tersebut terjadi di tengah transisi pemerintahan di Washington dan meningkatnya ketegangan geopolitik, termasuk eskalasi konflik di Gaza dan rivalitas strategis di kawasan Indo-Pasifik.
Presiden AS Donald Trump pun diberitakan telah menerima pengunduran diri Kamala Shirin Lakhdhir.
Baca Juga: Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, Dua Cahaya dalam Satu Ayat
Padahal masa tugas Kamala belum genap satu tahun. Ia mulai bertugas sebagai Dubes pada 8 Agustus 2024. Saat itu Kamala ditunjuk oleh Presiden Joe Biden, menggantikan Sung Y. Kim.
Kembali ke aksi damai di depan Kedubes tersebut, menjadi simbol konsistensi dan keberanian diplomasi rakyat, memberi pesan tegas bahwa dukungan terhadap kezaliman tidak akan diterima di negeri ini.
Ya, sebuah aksi demo yang dikomandoi Aqsa Working Group (AWG) tersebut adalah nyala perlawanan damai, kekuatan dari rakyat untuk keadilan. Tertib, aman, dan penuh semangat.
Dari Jakarta, suara ini mengingatkan dunia, “Palestina tidak sendiri”. Dan setiap langkah kaki menuju Kedubes adalah langkah menuju nurani kemanusiaan yang tak pernah padam. []
Baca Juga: Zionisme: Ideologi Setan Berkedok Tanah Terjanji
Mi’raj News Agency (MINA)