Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demokrasi dalam Perspektif Al-Quran (Oleh: Dr. L. Sholehuddin)

Rana Setiawan - Senin, 5 November 2018 - 13:29 WIB

Senin, 5 November 2018 - 13:29 WIB

24 Views

Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd.; Dosen pada Sekolah Tinggi Shuffah al-Quran Abdullah bin Masud Online

Term demokrasi nampaknya sudah begitu akrab (familier) tidak asing lagi di benak kita. Hampir setiap hari kita mendengar atau membaca istilah demokrasi baik melalui media masa atau media elektronik yang disampaikan para politisi, birokrat, pengamat bahkan tukang becak sekalipun. Isu demokrasi ini begitu aktual dan menarik untuk diperbincangkan, apalagi di tahun-tahun politik 2018 ini.

Dalam konteks inilah, mencoba menelusuri makna tersirat dari kata demokrasi yang dikorelasikan dengan fakta empiris historis dan dianalisis melalui pendekatan ayat-ayat al-Quran.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demokratia” yang terdiri dari dua kata yaitu “demos” yang artinya rakyat dan “kratos/kratein” yang artinya kekuatan atau pemerintahan. Secara harfiah demokrasi berarti kekuatan berada di tangan rakyat atau suatu bentuk pemerintahan negara di mana rakyat memegang penuh atas kedaulatan itu.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Melalui konteks budaya demokrasi, nilai-nilai, dan norma-norma yang menjadi panutan dapat diterapkan dalam praktek kehidupan demokratis yang tidak hanya dalam pengertian politik saja tetapi juga dalam berbagai bidang kehidupan. Mohammad Hatta sebagi wakil presiden pertama di Indonesia, menyebut demokrasi sebagi sebuah pergantian atau pergeseran kedaulatan raja menjadi kedaulatan rakyat.

Dalam tinjauan historis, sebenarnya term demokrasi ini lahir sebagai respons atas kekuasaan Monarki absolut, di mana raja berkuasa penuh atas kedaulatan rakyat yang kemudian melahirkan gerakan yang terkenal dengan sebutan revolusi Perancis, 1789–1799. Monarki absolut memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun.

Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan. Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).

Secara empiris, kehadiran istilah demokrasi sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi logis atas situasi dan kondisi sosial masyarakat yang mengalami ketidakpuasan terhadap hak-hak kemanusiaannya yang terpasung, terampas dan terpenjarakan oleh kebijakan pemerintah yang otoriter. Padahal hakikat semua manusia memiliki hak yang sama di mata hukum untuk berpendapat, berserikat, beraktivitas, berjuang dan berkarya sebebas-bebasnya, tanpa ada pembatasan apalagi perampasan hak oleh dan dari siapa pun, termasuk negara.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Dalam konteks demokrasi, kemerdekaan adalah hak asasi bagi segala bangsa yang dijamin undang-undang kemanusiaan (human right) yang tidak boleh terjadi adanya pembatasan, pemasungan dan perampasan hak antar satu individu dengan lainnya, antar etnis, suku, bangsa dan negara di muka bumi ini. Ide dasar demokrasi ini memiliki kesesuaian dengan doktrin al-Quran yang membenci kelaliman dan eksploitasi dan menyenangi kebersamaan dalam keragaman dan keadilan.

Nilai-nilai demokrasi yang memiliki persesuaian dengan  prinsip-prinsip al-Quran setidaknya dapat dilihat dari beberapa unsur, salah satunya: konsep musyawarah mufakat seperti diungkapkan al-Quran surat Ali Imran: 3/159 dan surat as-Syura: 42/38. Penerapan perilaku demokratis dari dua ayat ini dapat disarikan bahwa tidak boleh berkeras hati dan bertindak kasar, tetapi harus dengan hati yang lemah lembut, berperilaku sopan, pemaaf, dan menyelesaikan setiap persoalan melalui musyawarah untuk mufakat dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: Lapang Dada, yang dapat dibuktikan dengan mau menerima terhadap perbedaan pendapat dan ikhlas jika pendapatnya ditolak.

 Saling Memaafkan, perbedaan pendapat terkadang menimbulkan perselisihan tetapi, perselisihan tidak harus menyebabkan perpecahan.  Bersikap Terbuka, jika pendapat yang disampaikan ternyata keliru, merugikan, kurang efektif, atau bahkan berbahaya, maka hendaknya menerima pendapat lain yang terbaik.

 Melengkapinya dengan Bertawakal, jika keputusan musyawarah telah ditetapkan, hendaklah bertawakal kepada Allah dengan berkomitmen bersama untuk melaksanakan keputusan itu secara konsisten.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Itulah gambaran singkat pandangan al-Quran dan relevansinya dengan makna demokrasi yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur, bila seorang individu yang memiliki posisi penting di ruang publik,  seorang pejabat, pegawai, politisi,  pemimpin dan atau lainnya agar memperhatikan dan memiliki sifat-sifat demokratis terebut, sehingga pantaslah ia menyandang gelar sebagai seorang demokrat sejati.

Seiring perjalanan waktu dan perubahan zaman oleh adanya transformasi informasi dan komunikasi sebagai efek era globalisasi telah melahirkan perubahan mindset dan pergeseran sudut pandang sebagian besar masyarakat, khususnya para publik figur termasuk  sebagian para pemangku jabatan pemerintah dan swasta tentang makna sesungguhnya dari demokrasi ini.

Demokrasi tidak lagi menjadi alat perekat bangsa untuk membangun keadilan dan kesejahteraan seluas-luasnya bagi kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat secara merata.

Malah justru, dijadikan instrumen pelampiasan syahwat insani oleh, bahkan menjadi perjuangan untuk mewujudkan kehendaknya dengan cara-cara radikal, anarkis dan inkonstitusional, maka akibatnya muncullah paham-paham radikalisme, terorisme yang mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa. Dan, apa yang menjadi tujuan demokrasi jauh panggang dari api.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Dengan demikian, faktor sumber daya manusia menjadi sangat penting dalam hal ini. Suatu kebijakan atau aturan sebaik apapun itu, akan dapat terlaksana dengan baik dan mencapai target sesuai tujuan, manakala para pelaksananya memiliki sifat amanah, jujur, disiplin, tanggung jawab, berintegritas, berorientasi kebangsaan tidak lokal dan parsial, di samping profesionalitas, kreatif dan inovatif.

Beragam krisis multidimensional  tumbuh subur di bumi pertiwi saat ini, diyakini karena adanya segelintir masyarakat, para pemimpin yang bermental bobrok, jahat, dan korup. Eksesnya, ketimpangan, kesenjangan, ketidakadilan merajalela di tengah-tengah masyarakat. Maka perlunya revitalisasi dan reorientasi nilai-nilai al-Quran dalam membangun bangsa dan negara yang demokratis menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi sebagai solusi efektif.

Oleh karena itu, di tahun politik 2019 dengan adanya pilpres sebagai ekspresi pesta demokrasi, hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan aspek moral berbasis al-Quran: jujur, damai dan bermartabat terbebas dari manipulasi, intimidasi dan teror. Dan kepada para kontestan yang ditakdirkan Allah terpilih menjadi pemimpin nefara Indonesia lima tahun ke depan, hendaklah bersikap dan bertindak demokratis mengikuti petunjuk dan arahan al-Quran surat 3/169 dan surat 42/38 sebagai pemimpin terbaik pilihan rakyat.

Semoga para pemimpin dapat memahami dan menerapkan demokratisasi dalam kepemimpinannya berdasarkan al-Quran, insya Allah masyarakat damai, makmur dan tenteram raharja dapat terbangun di bumi Indonesia ini. Wallahu ‘alam. (AK/R01/B05)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Palestina
MINA Health
Khadijah
Indonesia