﷽
Diskursus tentang demokrasi menjadi topik menarik di kalangan umat Islam Indonesia, terutama menjelang pelaksanaan pemilu dan pilkada. Sebagian ulama menyetujui penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat Muslim, sedangkan sebagian lain menolaknya.
Ditinjau dari sejarahnya, demokrasi pertama kali dikenal pada masa Yunani Kuno, sekitar 500 SM. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan. Jika diartikan secara harfiah, demokrasi adalah pemerintahan/kekuasaan rakyat.
Filusuf Amerika, Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang keputusan-keputusan pemerintahan berdasarkan pada kesepakatan mayoritas rakyatnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sementara Pakar ilmu politik Turki, Roy C. Macridis, dalam bukunya Contemporary Political Ideologies menerangkan bahwa pada awalnya, demokrasi berjalan secara alamiah, yakni sekelompok masyarakat yang membentuk sebuah paguyuban (Gemeinschaft). Masyarakat memilih dan menetapkan kepemimpinan di antara mereka, menetapkan hukum yang harus dipatuhi dengan melibatkan partisipasi semua anggota masyarakat tersebut.
Namun, implementasi demokrasi Yunani itu hilang dari dunia Barat ketika Eropa memasuki Abad Pertengahan (6-15 Masehi). Pada saat itu, di Eropa terjadi praktik feodalisme, kehidupan sosial spiritual dikuasai gereja dan kehidupan politik dikuasai bangsawan (aristokrat).
Kemunculan kembali demokrasi terjadi pada abad ke-16 M, ketika para aktifis dan tokoh Barat bersatu melawan feodalisme para aristokrat dan kekuasaan absolut gereja, hingga lahirlah gerakan Protestanisme atau Kristen Protestan.
Di dunia Islam, sejatinya demokrasi tidak dibicarakan di kalangan ulama-ulama salaf. Demokrasi dan politik baru dikenal di dunia Islam ketika masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (abad ke-9 M) yang menerjemahkan buku-buku Yunani untuk perpustakaan Baitul Hikmah. Di antara para penerjemah, salah satunya adalah Hunain bin Ishak yang menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ulama yang masyhur menulis tentang pemerintahan adalah Abu Hasan ‘Ali Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri (dikenal dengan Al-Mawardi, abad ke-11 M) dengan karyanya berjudul “Al-Ahkamul Sulthaniyah” dan Abul Abbas Taqiyuddin bin Taimiyah Al-Harrani ( dikenal dengan Ibnu Taimiyah, abad ke-14 M) dengan karyanya “As-Syiyasah As-Syar’iyah.” Namun, keduanya tidak menyinggung masalah demokrasi.
Setelah runtuhnya Turki Utsmani (1924 M), praktik negara demokrasi “dipaksakan” untuk diterapkan di bekas-bekas wilayah jajahan Inggris dan Prancis yang mayoritas penduduknya kaum Muslimin. Wilayah-wilayah itu kemudian terpecah menjadi banyak negara-negara bangsa.
Ketika negara-negara wilayah kaum Muslimin tersebut mengusung konsep demokrasi (tidak lagi menganut konsep kekhilafahan sebagaimana pada masa Turki Utsmani), para ulama kontemporer kemudian banyak membicarakan tentang konsep demokrasi tersebut.
Adapun pandangan ulama kontemporer tentang demokrasi, secara umum pandangan mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pertama, kelompok konservatif yang mengharamkan demokrasi. Mereka menganggap demokrasi adalah produk Barat yang lahir dari sistem yang tidak mengenal syariat Islam. Maka demokrasi dan segala turunannya otomatis bertentangan dengan syariat Islam.
Para ulama kelompok ini berpedoman bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Syariat-syariatnya sudah mengatur segala sesuatu, termasuk dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di antara ulama yang menyuarakan penentangan terhadap demokrasi adalah Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Ia pernah menjabat sebagai mufti di Mesir pada 1899 M.
Syaikh Muhammad Abduh banyak terinspirasi dari pemikiran Syaikh Jamaluudin Al-Afghani. Ia dikenal sebagai tokoh reformis di Mesir dalam menentang kolonialisme Inggris. Bahkan, ia pernah menganjurkan doa ta’awwudz: “Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tokoh lain yang semasa dan sependapat dengan Abduh adalah Muhammad Iqbal (1877-1938 M). Ia berpendapat, demokrasi modern kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi, dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal, Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual.
Tokoh lain yang menolak demokrasi adalah Sayyid Abul A’la Al-Maududi (1903-1976 M). Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasan besar kepada rakyat.
Demokrasi merupakan produk dari Barat yang sekuler, sebagai bentuk pertentangan terhadap agama. Ia menganggap demokrasi merupakan suatu hal yang syirik. Sementara Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Di antara kelompok ini, sebagian kecil tokoh kemudian memunculkan gerakan revolusioner yang ingin mengganti sistem pemerintahan yang dianggap kufur itu kepada sistem negara Islam yang menerapkan hukum-hukum syariat.
Di antara mereka, muncul nama Taqiyuddin An-Nabhani. Ia menginisiasi gerakan Hizbut-Tahrir, menulis banyak buku yang kemudian menjadi rujukan para aktifis di berbagai negara. Namun gerakan itu kemudian mendapat pertentangan, khususnya di banyak negara-negara Muslim.
Hizbut Tahrir (dalam bahasa Indonesia: Partai Pembebasan) adalah organisasi politik yang mengusung ideologi Islam, bertujuan membebaskan umat dari sistem hidup dan pengaruh Barat dan mengembalikan sistem dan hukum negara kepada khilafah.
Sebagian lainnya memunculkan gerakan yang lebih ekstrem, antara lain ISIS di Suriah dan Iraq, Al-Qaeda di Afghanistan, As-Syabab di Somalia dan lainnya. Mereka melakukan pemberontakan terhadap negara yang mereka anggap sebagai darul kufur.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Namun, sebagian besar tokoh penganut kelompok ini tidak melakukan gerakan revolusioner, tetapi hanya menunjukkan ketidaksetujuan pemikirannya terhadap sistem demokrasi dan tidak melakukan pemberontakan.
Kedua, kelompok modernis yang berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (kemasyarakatan) secara dasar-dasarnya saja. Adapun secara teknis, hal itu diserahkan kepada umat Islam dan masyarakat dalam mengatur dan mengelolanya.
Kelompok ini beralasan, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam ketika mendakwahkan Islam tidak merubah tatanan pemerintahan yang sudah ada dalam masyarakat tersebut. Adapun peraturan-peraturan yang bertentangan dengan syariat, cukup dirubah saja, namun tidak mengganti sistem pemerintahan yang sudah ada.
Di antara tokoh kelompok ini adalah Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Ia berpendapat, substasi demokrasi sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagai berikut:
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
- Dalam demokrasi, proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang pemimpin. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma’mum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan, syariat amar ma’ruf dan nahi munkar yang utama adalah memberikan nasihat kepada pemimpin yang dzalim.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya, mayoritas anggota majelis syura menunjuk Umarbin Khattab sebagai khalifah dan sekaligus memilih khalifah setelah Umar berdasarkan suara terbanyak dari majelis tersebut.
Pemikiran Syaikh Yusuf Al-Qrdhawi tentang demokrasi tersebut telah diusung oleh para pemikir dan politikus di Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya.
Ketiga, kelompok sekuler, yaitu mereka yang ingin memisahkan antara Islam dan negara. Menurut mereka, Islam seperti agama lain yang tidak mengatur masalah keduniaan, sebagaimana dilakukan di negara-negara Barat.
Hal itu seperti dilakukan Mustafa Kamal Pasha yang mengganti sistem pemerintahan model kekhilafahan Turki Utsmani dengan demokrasi sekuler ala Barat. Hingga saat ini, Turki masih memberlakukan sistem sekuler sebagaimana yang telah ditanamkan oleh Kamal Pasya tersebut.
Akan tetapi, ketika Turki dipimpin oleh Rejep Thayib Erdogan, ada perbedaan kebijakan yang diterapkan pemerintah Turki. Meskipun Erdogan sendiri tetap setuju dengan konsep negara sekuler, namun negara memberi perhatian lebih kepada praktik-praktik keagamaan.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Di negara itu ada lembaga negara yang langsung di bawah pemimpin tertinggi bernama Diyanet İşleri Başkanlığı. Lembaga itu bertanggung jawab mengurus masjid-masjid dan kegiatan jamaahnya di seluruh wilayah kedaulatan Turki. Dalam istilah Indonesia kita sebut sebagai Kementerian Agama.
Sementara itu, ada beberapa tokoh ulama lain yang memiliki pandangan selain dari ketiga kelompok di atas, salah satunya Syaikh Salim Ali Al-Bahasnawi. Menurutnya, demokrasi mengandung sisi-sisi yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, tetapi juga di dalamnya terdapat sisi-sisi negatif yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sisi positif demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif yang begitu bebas sehingga bisa mengarah kepada sikap menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dari fakta di atas, Al-Bahasnawi memberikan rumusan dasar dalam menjalankan demokrasi, antara lain:
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
- Menetapkan tanggung-jawab setiap individu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Wakil-wakil rakyat harus berlandaskan akhlak Islam dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
- Suara mayoritas tidak menjadi ukuran mutlak dalam menetapkan hukum, tetapi harus berkesusaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Orang-orang yang duduk di parlemen harus berkomitmen terhadap Islam sehingga mereka akan bermoral baik dalam membuat peraturan perndang-undangan.
Sementara tokoh lainnya, Muhammad Imarah berpendapat bahwa Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak, juga tidak menolaknya secara mutlak. Ia menekankan, kekuasaan tertinggi dalam menetapkan hukum bukanlah rakyat, tetapi hal itu adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pandangan penulis, dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang tidak ditemukan nashnya secara tekstual dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka sebaiknya umat Islam mengedepankan sikap husnudzan (berbaik sangka) dan menghargai pendapat yang berbeda.
Sesama umat Islam tidak perlu saling memaksakan pendapatnya untuk diikuti orang lain, atau mengharuskan orang lain mengikuti pandangan dan argumennya, apalagi saling menghujat dan menganggap sesat pihak-pihak yang berbeda dengan pemikirannya.
Mari kita senantiasa merawat ikatan ukhuwah (persaudaraan) antar sesama umat Islam, dan antar anggota masyarakat, meskipun berbeda pandangan, pemikiran dan pilihan jalan perjuangan.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Umat Islam bisa bersinergi dan bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati, dan saling menghormati, menghargai atas hal-hal yang belum dan tidak disepakati. Mari kita ciptakan suasana yang aman, tenteram damai dan kondusif dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, terutama menjelang pesta demokrasi saat ini.
وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِالصَّواب
(A/P2/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)