Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ ٱلْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُفْتَرِينَ (الاعراف [٧]: ١٥٢)
Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan
“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” (QS Al-A’raf [7]: 152).
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, bahwa ayat di atas merujuk kepada perbuatan kaum Yahudi dari kalangan Bani Israil yang menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri, ketika Nabi Musa Alaihi Salam sedang menerima wahyu di Bukit Thur.
Perbuatan itu menyebabkan kemurkaan Allah Ta’ala dan Dia menjatuhkan kehinaan atas mereka. Kehinaan itu tidak hanya dialami secara individu, tetapi menjadi bagian dari nasib kolektif mereka dalam sejarah.
Keturunan mereka yang mengikuti jejak kedurhakaan kepada Allah Ta’ala juga mengalami penderitaan dan penindasan karena memiliki kesamaan sifat dengan pendahulunya, yakni menyekutukan Allah Ta’ala, membangkang perintah-perintah-Nya, bersikap sombong, menolak risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul utusan-Nya dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas
Kalimat وَذِلَّةٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا (kehinaan dalam kehidupan dunia) berarti mereka akan terus mengalami penindasan, pengusiran, dan penghinaan di berbagai tempat dan zaman. Ini adalah konsekuensi dari dosa-dosa yang mereka lakukan.
Kehinaan dan penderitaan kaum Yahudi sebenarnya juga berlaku bagi siapa saja yang memiliki sifat dan perilaku sama dengan mereka. Siapa pun yang berbuat sombong, menolak syariat Allah dan berbuat kerusakan di muka bumi, pasti akan ditimpa kehinaan dan kesengsaraan. Sebaliknya, siapa saja yang menaati Allah dan rasul-Nya akan mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan dunia dan akhirat.
Penderitaan Kaum Yahudi, Sejarah Panjang Penuh Luka
Sejarah panjang umat manusia mencatat banyak kisah tentang kaum yang menderita. Kaum Yahudi dari keturunan Bani Israel mengalami penindasan, penjajahan, dan perbudakan dalam berbagai periode sejarah, dari zaman para nabi hingga era modern.
Baca Juga: 58 Tahun Naksa: Al-Aqsa dan Gaza, Ujian Kemanusiaan Tak Kunjung Usai
Cerita kaum Bani Israel dimulai dari Nabi Ya’kub Alaihi Salam. Beliau memiliki 12 putra yang kelak menjadi cikal bakal dua belas suku Bani Israil. Salah satu putranya bernama Yahuda. Beberapa literatur menyebut, kaum Yahudi saat ini menisbatkan nama tersebut kepada Yahuda. Mereka semua pada awalnya tinggal di wilayah Kana’an (saat ini wilayah Palestina).
Suatu ketika, negeri Kanaan dilanda paceklik dan kelaparan yang sangat parah. Kekeringan melanda, panen gagal, kelaparan terjadi di negeri itu. Kehidupan menjadi sangat sulit, termasuk keluarga Nabi Ya’kub Alaihi Salam merasakannya.
Seluruh keluarga Nabi Ya’kub Alaihi Salam kemudian pindah ke Mesir karena di sana ada Nabi Yusuf, salah satu putranya yang menjadi bendahara kerajaan. Namun, setelah Nabi Yusuf Alaihi Salam wafat, Bani Israel kehilangan kedudukan mereka dan kemudian menjadi budak.
Bani Israel mengalami penderitaan dan penindasan di bawah pemerintahan Fir’aun di Mesir. Anak lelaki mereka dibunuh, sementara anak perempuannya dijadikan budak. Penindasan ini berlangsung selama ratusan tahun (400 th) tahun hingga Allah Ta’ala mengutus Nabi Musa Alaihi Salam untuk membebaskan mereka.
Baca Juga: Haji untuk Palestina
Dengan mukjizat yang diberikan, Nabi Musa Alaihi Salam memimpin Bani Israel keluar dari Mesir. Namun, setelah terbebas dari penindasan dan perbudakan, mereka justru mengkhianati Nabi Musa Alaihi Salam dengan melakukan berbagai penyimpangan. Puncaknya mereka menyembah patung anak sapi. Allah Ta’ala menghukum mereka dengan penderitaan dan tersesat di padang Tih selama 40 tahun.
Bani Israel sempat merasakan kejayaan di bawah kepemimpinan Raja Daud dan putranya, Sulaiman Alaihimas Salam di tanah Palestina. Menurut Al-Kitab, masa kejayaan mereka 80 tahun (40 tahun pada masa Nabi Daud dan 40 tahun pada masa Nabi Sulaiman). Setelah itu, kerajaan terpecah menjadi Yehuda dan Israel, mereka mengalami berbagai kemunduran, baik dalam segi politik maupun moral.
Pada tahun 586 SM, Raja Nebukadnezar dari Babilonia menghancurkan Yerusalem dan membawa ribuan orang Yahudi ke Babilonia sebagai budak. Di Babilonia, mereka hidup sebagai kaum minoritas yang tertindas.
Pada abad pertama Masehi, bangsa Yahudi kembali mengalami penindasan di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pemberontakan Yahudi melawan Roma pada tahun 66-73 M berakhir dengan kehancuran Yahudi. Ratusan ribu orang Yahudi tewas, sementara sisanya diusir dari tanah air mereka.
Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dalam Cahaya Idul Adha
Peristiwa ini menandai dimulainya diaspora Yahudi dari bumi Palestina yang dulu pernah mereka tempati. Mereka tersebar ke berbagai penjuru dunia tanpa tanah air yang tetap.
Pada masa Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam, beberapa komunitas Yahudi yang tinggal di Yatsrib (Madinah) antara lain: Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Awalnya mereka bersepakat untuk saling bekerja sama dengan umat Islam di Madinah. Namun mereka berkhianat dan berkonspirasi hendak membunuh Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam. Akhirnya, mereka terusir dari Madinah.
Pada abad 20, tragedi yang menjadi babak paling kelam dalam sejarah bangsa Yahudi adalah peristiwa Holocaust pada Perang Dunia II. Bebebrapa sumber menyebut, sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh melalui pembantaian massal yang kemudian dikenal dengan Holocaust.
Terlepas dari kontroversi tentang siapa otak dibalik Holocaust dan berapa jumlah korbannya, yang pasti banyak Yahudi terbunuh dalam tragedi tersebut.
Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka
Hingga saat ini, meskipun telah memprokramirkan negara sejak 1948, penderitaan bangsa Yahudi belum sepenuhnya berakhir. Konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina, sering kali menjadi pemicu ketegangan global.
Kehancuran Negara Zionis Israel
Berdirinya negara ilegal Zionis Israel di tanah Palestina jelas merupakan kejahatan kemanusiaan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena mereka menduduki wilayah itu dengan merampas, mengusir, bahkan membunuh puluhan ribu rakyat Palestina.
Mereka bisa menjajah tanah Palestina dengan bantuan dari Amerika Serikat dan negara lain yang menjadi sekutu mereka. Setelah tragedi Nakbah yang terjadi pada 15 Mei 1948, Hegemoni Zionis dilanjutkan dengan kemenangan mereka pada perang tahun 1948 dan 1967 melawan negara-negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah).
Baca Juga: 58 Tahun Hari Naksah Palestina, Perlawanan Tak Pernah Padam
Menurut Syaikh Bayuth At-Tamimi, Imam Besar Masjidil Aqsa, tahun 1960-an, dalam bukunya “Israil wal Quran” (1975) mengatakan, yang akan mampu mengalahkan Zionis Israel adalah “Ibadalana uliy ba’sin syadid. “Hamba-hamba Kami (Allah Subhanahu wa Ta’ala), yang memiliki fisik kuat, mental sehat, dan intelektual hebat (QS Al-Isra [17]: 5).
Sementara itu, dalam pandangan para sejarawan, pengamat politik global, maupun para petinggi Zionis Israel sendiri, negaranya saat ini berada di gerbang kehancuran total.
Sejarawan Yahudi Illan Pappe, dalam tulisannya mengatakan, “Dan, jika diagnosis saya benar, maka kita sedang memasuki situasi yang sangat berbahaya. Israel seperti halnya rezim apartheid di Afrika Selatan pada hari-hari terakhirnya.”
Penulis pernah bertemu dengan Illan Pappe di sebuah acara konferensi internasional di London, Inggris pada 2019 silam. Menurut Pappe, ada enam indikator keruntuhan rezim Zionis Israel, antara lain:
Baca Juga: Siapa Putra Nabi Ibrahim yang Disembelih?
Pertama, perpecahan internal antara orang-orang Yahudi sekuler dan religius di Israel sebelum serangan 7 Oktober 2023 lalu.
Masyarakat sekuler yang sebagian besar adalah orang Yahudi Eropa, berkeinginan terus menindas Palestina dengan cara apa pun, demi mengejar kehidupan yang liberal dan bebas. Sementara komunitas yang beraliran teologis ingin mengubah Israel menjadi rezim yang religius, berdasarkan ajaran Yudaisme, dan eksklusif.
Masing-masing kelompok itu memiliki basis massa yang besar dan saat ini terpolarisasi menjadi dua kutub yang berseberangan. Potensi gesekan di antara kedua massa sangat besar karena perbedaan pandangan dan garis kebijakan.
Kedua, dukungan dari seluruh dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap isu Palestina. Mereka terilhami dari perjuangan melawan apartheid di Afrika Selatan, yang membuat gerakan boikot, divestasi dan sanksi terhadap Israel dan para pendukungnya.
Baca Juga: Keutamaan Puasa Arafah Dapat Menghapus Dosa Dua Tahun
Aksi demonstrasi di berbagai universitas ternama terus mengguncang Amerika Serikat dan Eropa. Banyak warga ikut turun ke jalan demi untuk menyuarakan pembelaan terhadap Palestina yang terjajah.
Ketiga, dalam bidang perekonomian, ada kesenjangan kelas yang tajam di dalam negeri Israel. Setiap tahun, angka kesenjangan terus meningkat sehingga sangat berisiko mengalami kemiskinan ekstrem.
Hal itu ditambah dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk perang setelah tanggal 7 Oktober 2023 lalu, sementara bantuan AS tidak menjamin akan terus dapat dikucurkan.
Keempat, ketidakmampuan tentara Israel mempertahankan wilayah selatan dan utara. Lebih dari 2 juta orang telah melarikan diri dari wilayah pendudukan bagian utara dan selatan, yang semuanya adalah orang Yahudi dari Galilea.
Baca Juga: Hikmah Wukuf di Arafah, Semua Sama Yang Membedakan Hanyalah Takwa
Sementara itu, semakin banyak remaja Israel yang menjadi korban tewas dan tersandera dalam perang di Gaza. Keluarga mereka menuntut gencatan senjata permanen dengan Palestina, tetapi kabinet Netanyahu bersikeras melanjutkan peperangan.
Kelima, semakin banyaknya generasi baru Yahudi, khususnya yang tinggal di AS, mereka tidak setuju dengan gagasan generasi tua yang menganggap bahwa negara Israel akan dapat melindungi mereka dari gelombang anti-Yahudi.
Saat ini, sejumlah besar generasi baru Yahudi bahkan telah bergabung dengan gerakan solidaritas terhadap Palestina.
Keenam, makin banyak orang Yahudi yang dikucilkan oleh masyarakat internasional. Bahkan beberapa negara, masyarakatnya menolak kunjungan mereka, meski hanya berwisata. Masyarakat Brazil, Argentina, termasuk negara-negara yang banyak terdapat komunitas Muslim, seperti Malaysia, Indonesia, Maladewa dan lainnya, mereka mengusir orang Yahudi Israel yang kedapatan berada di negaranya.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah penderitaan kaum Yahudi adalah, siapa pun yang menolak syariat Allah Ta’ala, berbuat kerusakan dan berlaku sombong akan mengalami kehinaan. Sementara ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah jalan menuju keberuntungan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
والله أعلمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)