Jakarta, 23 Jumadil Akhir 1437/2 April 2016 (MINA) – Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Mohamad Siddik,MA, mengecam kunjungan para wartawan senior Indonesia ke Israel atas undangan pemerintah negara itu.
‘’Kami tidak menyalahkan kunjungan dan wawancara wartawan ke pemerintahan Israel. Yang kami sesalkan adalah terjebaknya para wartawan Indonesia ke dalam politisasi Israel,’’ tutur Siddik dalam rilisnya, Selasa (29/3) lalu, sehari setelah kejadian itu.
Menurut Siddik, mestinya para wartawan bukan sekadar menjadi ‘juru bicara’ pemerintah Israel yang sangat ingin membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.
‘’Para wartawan, apalagi mereka yang dikatakan sebagai wartawan senior, mestinya dapat mengkritisi pemerintahan Israel terutama dalam soal Palestina,’’ tegasnya.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Ketua Umum DDII juga mengingatkan, sikap Indonesia terhadap Israel sejak era Presiden Soekarno hingga kini, sudah jelas.
Salah satu contohnya adalah rencana Israel memberi pengakuan kedaulatan penuh kepada Indonesia pada 1950. Saat itu, Bung Hatta menjawab telegram dari Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett, hanya dengan ucapan terimakasih. Bung Hatta tidak menerima pengakuan kedaulatan dari Israel.
Bahkan, rencana Israel untuk mengirim misi perdamaian ke Indonesia ditolak mentah-mentah oleh proklamator kemerdekaan RI itu. Penolakan itu disampaikan Hatta dalam sebuah surat balasan yang dikirimkannya kepada Sharett pada Mei 1950, ujarnya.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Sikap keras juga ditunjukan oleh Bung Karno terhadap Israel. Bung Karno dengan tegas menyebut Israel sebagai penjajah. Bung Karno dengan tegas mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merebut tanah airnya dari penguasaan Israel.
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Bung Karno dalam pidatonya pada 1962.
‘Dosa Besar’ bila buka hubungan diplomatik
Selanjutnya Mohamad Siddik menegaskan, setidaknya ada empat ‘dosa besar’ bila pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Pertama, mengkhianati amanat Pembukaan UUD ’45, yang menegaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kedua, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.
Ketiga, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan OKI, di mana Indonesia salah satu anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya, komunike sidang menegaskan, ”Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan”. (P4/P2)
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)