Ankara, 23 Rajab 1438/20 April 2017 (MINA) – Otoritas pemilihan umum tertinggi Turki menolak upaya oposisi yang mengajukan permohonan untuk membatalkan referendum mengenai perluasan kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada hari Rabu (19/4).
Dengan mengabaikan dugaan adanya kecurangan suara, sepuluh anggota Dewan Pemilu Tertinggi (YSK) memutuskan untuk tidak membatalkan pemilihan. Hanya satu suara yang setuju. Demikian The New Arab memberitakan yang dikutip MINA.
Pada hari Selasa, Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai Demokrat Rakyat Kurdistan (DPP) meminta agar hasil referendum dibatalkan karena adanya dugaan pelanggaran, termasuk kecurangan suara.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi CNN-Turki, Wakil Ketua CHP Bulent Tezcan mengatakan bahwa keputusan pengadilan tersebut memicu “krisis legitimasi yang serius”.
Baca Juga: Pasukan Israel Maju Lebih Jauh ke Suriah Selatan
“Kami akan mengaktifkan semua jalur hukum,” katanya. Ia menambahkan bahwa partainya akan memetakan kebijakannya setelah bertemu dengan ahli hukum pada hari Kamis.
Pada pemilihan umum untuk referendum hari Ahad (9/4), kubu pemilih ‘Ya’ menang 51,41 persen.
Hal itu juga memicu protes dari individu-individu yang menentang perubahan konstitusional yang akan memberi Erdogan kekuatan eksekutif.
Perubahan konstitusi sebagian besar akan mulai berlaku setelah November 2019.
Baca Juga: Warga Palestina Bebas setelah 42 Tahun Mendekam di Penjara Suriah
Referendum itu adalah salah satu perubahan yang paling luas di negara itu sejak Mustafa Kemal Ataturk mendirikan negara modern di masa-masa akhir Kekaisaran Ottoman pada tahun 1923.
Sementara itu, Erdogan dengan marah menolak kritik-kritik tersebut. (T/RI-1/RS3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Faksi-Faksi Palestina di Suriah Bentuk Badan Aksi Nasional Bersama