Jakarta, MINA – Serentetan serangan teror menghantui sejumlah wilayah Indonesia hanya dalam beberapa hari saja. Sejak serangan di tiga gereja Surabaya, teror tak kunjung usai. Terakhir Mapolda Riau menjadi sasaran para teroris.
Ketua Dewan Pers Josep Adi Prasetyo menyebut, keberanian para teroris tampil di muka umum salah satunya adalah peran media. Media adalah oksigen bagi para pengantin teroris. Sebab, aksi teror ini dianggap berhasil kalau pemberitaannya besar.
“Kita tau bahwa teroris itu kalau tidak mendapatkan publikasi dari media, biasanya juga akan dianggap bahwa ini tidak sukses, orang juga tidak takut dan seterusnya,” ujar Josep usai diskusi dalam Forum Merdeka Barat (FMB 9) di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta, Rabu (16/5).
Josep mengutip pendapat seorang Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Ia pernah mengatakan bahwa media is oxygen for terrorism, media adalah oksigen bagi terorisme.
Menurut Josep, aksi teroris tak akan berdampak kalau media tidak memberitakan secara over.
“Bagian dari terorisme dengan media itu adalah efek kejut, efek dadakan, sama efek gentar. Kalau media memberitakan itu dan itu bisa memberikan efek gentar yang luar biasa, efek kejut, efek ketajutan, maka pesan terorisme itu sampai sebetulnya, meskipun terorisnya sudah meninggal dunia dalam kasus suciede boombing, bom bunuh diri,” katanya.
Josep memperkuat argumennya dengan memberikan beberapa contoh penelitian aksi teror yang pernah terjadi di Belfast termasuk di London. Ketika itu, kata dia, ditemukan ada kaitan aksi teror awal yang diberitakan secara besar dan masif oleh media. Aksi teror itu kemudian diikuti dengan tindakan-tindakan teror lanjutan.
“Karena itulah kita harus hati-hati. Kami mengingatkan temen-temen media, jangan terlalu over dosis di dalam pemberitaan. tidak maksud meminimalisir, tapi meningkatkan profesionalitas dan ketaatan pada kode etik jurnalistik,” katanya.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Ia menjelaskan bahwa profesionalisme dalam memberitakan berita teror adalah dengan tidak terlalu over. Ia mencontohkan berita over seperti misalnya ditemukan sebuah kardus di tempat tertentu, kemudian yang muncul di berita adalah gambar-gambar anggota TNI mengepung, juga pemblokiran oleh polantas supaya tidak boleh lewat dan seterusnya.
“Padahal di sana kardus itu isinya mungkin Indomie. Sering kali orang memberitakan amuknya, kepanikan masyarakat, tapi tidak tau apakah kepanikan itu bersumber kepada persoalan yang jelas atau tidak. Kalau yang tidak jelas, masyarakat sudah panik. Jangan seperti ini lah,” katanya.
Ia berharap, wartawan media manapun tetap mengedepankan profesionalisme kerja dengan melakukan cek terlebih dulu datanya. Kalau perlu, kata dia, didelay untuk lima atau 10 menit tapi mendapatkan kepastian.
“Kalau memberitakan sesuatu yang sensitif seperti ditemukan sebuah kardus, tapi belum jelas apakah di dalamnya ada bom atau tidak itu kan konyol, bisa jadi Cuma kerjaan orang iseng aja,” katanya. (L/R06/P1)
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Mi’raj News Agency (MINA)