Brussel, MINA – Dewan Uni Eropa pada Senin (30/4) mengatakan, telah memperpanjang embargo senjata dan sanksi lainnya terhadap Myanmar selama satu tahun ke depan.
“Sanksi mencakup embargo senjata dan peralatan yang dapat digunakan untuk represi internal, larangan ekspor barang-barang yang digunakan dua kali lipat oleh militer dan polisi penjaga perbatasan, serta pembatasan ekspor peralatan untuk memantau komunikasi yang mungkin digunakan,” kata dewan dalam sebuah pernyataan, Anadolu Agency melaporkan.
Mereka juga melarang pemberian pelatihan militer dan kerjasama militer dengan tentara Myanmar.
Dewan juga mencatat, perpanjangan itu mencakup beberapa tindakan pembatasan terhadap 14 pejabat tinggi dan polisi penjaga perbatasan “untuk pelanggaran serius hak asasi manusia atau hubungan dengan pelanggaran semacam itu” yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya yang tertindas di negara bagian Rakhine, Kachin dan Shan.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Mereka juga mengingatkan, pihaknya telah mengambil kesimpulan tentang Myanmar pada bulan Desember 2018 dan meminta pemerintah Myanmar untuk mengambil “tindakan yang kongkrit” tanpa penundaan lebih lanjut dan untuk membuat kemajuan di semua bidang yang dikemukakan dalam rekomendasi sebelumnya, pada Februari 2018.
Rohingya digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi ketakutan yang meningkat terhadap serangan militer sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan Myanmar, menurut sebuah laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA).
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu merupakan kejahatan kemanusiaan dan genosida. (T/Ast/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas