Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Aksi protes pun pecah di Ankara, Istanbul, dan kota-kota Turki lainnya pada Rabu (9/3/2022) menentang kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke negara itu.
Herzog menjadi pemimpin Israel pertama yang mengunjungi Turki dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, setelah lama ketegangan antara kedua negara.
Para pemprotes di luar Kedutaan Israel di Ankara, memegang foto para aktivis yang terbunuh di Mavi Marmara dan meneriakkan slogan-slogan menentang Israel.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Salah satu pengunjuk rasa membacakan pernyataan yang mengatakan, “Kami tidak akan melupakan puluhan ribu syuhada Palestina. Atas nama kesucian Al-Quds dan Masjidil Aqsa kita harus melawan kunjungan ini, yang merupakan langkah menuju normalisasi hubungan dengan Israel.”
Pasang Surut Hubungan
Kunjungan pejabat Israel ke Turki tentu tak lepas dari hubungan diplomatic selama ini. Jika ditinjau, hubungan diplomatik Turki dan Israel sudah berlangsung cukup lama, dengan berbagai pasang surutnya.
Turki merupakan salah satu negara pertama yang memberikan pengakuan kedaulatan terhadap Negara Israel. Turki memberikan pengakuan terhadap Israel di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1949. Setahun setelah Israel memproklamirkan negaranya di atas tanah jajahan Palestina, tahun 1948.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Saat itu Presiden Turki adalah Mustafa İsmet İnönü, presiden kedua Turki setelah Mustafa Kemal Pasha (meninggal 1938). İnönü sebelumnya adalah Ketua Staf Kepresiden Kemal Pasha.
Sebelumnya juga, İnönü menjabat sebagai Perdana Menteri awal berdirinya Turki Modern, periode 1923-1924. Ia kembali terpilih sebagai Perdana Menteri periode 1925-1937. Kemudian menjabat sebagai Presiden tahun 1938.
Selanjutnya, untuk menindaklanjuti hubungan tersebut, Turki dan Israel menyepakati Pakta Periferal pada tahun 1958, yang bertujuan mengikat perjanjian kerjasama kedua negara. Pakta ini berisi antara lain yaitu kedua negara sepakat untuk saling bertukar informasi intelijen dan kampanye ke dalam komunitas dan rakyat masing-masing.
Negosiasi saat itu dilakukan oleh Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion dan mitranya dari Turki PM Ali Adnan Artekin Menderes (menjabat 1950-1960).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sejak itu, menurut Wikipedia, Israel menjadi pemasok utama senjata ke Turki. Kerja sama militer, strategis, dan diplomatik antara Turki dan Israel pun menjadi prioritas utama pemerintah kedua negara, yang turut berbagi pandangan terhadap ketidakstabilan regional di Timur Tengah.
Hubungan mulai merenggang ketika Turki memberikan dukungan kepada negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari (5-10 Jun 1967) dan Perang Yom Kippur (6-26 Oktober 1973).
Situasi mulai membaik setelah Konferensi Madrid 1991 dan duta besar Turki kembali ke Israel. Sebuah konferensi yang mengupayakan proses perdamaian Israel-Palestina, yang disponsori AS dan Uni Soviet, dengan melibatkan Yordanian, Lebanon dan Suriah, dengan tuan rumah Spanyol.
Masa berikutnya membawa pemulihan hubungan yang signifikan, ditandai dengan kunjungan kepala staf Turki ke Israel pada tahun 1997. Sebuah perjanjian perdagangan bebas antar kedua negara pun mulai berlaku, tahun 1997.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Naiknya Recep Tayyip Erdogan ke tampuk kekuasaan, sebagai perdana menteri tahun 2003 dan kemudian sebagai presiden sejak 2014, menandai kebijakan baru Turki.
Peluncuran Operasi Cast Lead pada tahun 2008 oleh pendudukan Israel, berupa serangan militer ke Jalur Gaza menyebabkan kecaman pedas dari pemimpin Turki. Pemimpin Turki menyebutnya itu adalah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dan menuntut Israel dikeluarkan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ketegangan memuncak ketika tahun 2010 saat insiden Mavi Marmara. Ketika itu, kapal patroli Israel menghentikan apa yang disebut Armada Kebebasan Gaza dengan serangan bersenjata. Serangan itu mengakibatkan 10 aktivis kemanusiaan tewas terbunuh. Dari mereka, 9 di antaranya adalah aktivis asal Turki yang tergabung dalam lembaga bantuan kemanusiaan IHH.
Saat itu Presiden Erdogan segera menarik duta besarnya dari Israel.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan, Turki mencoba untuk ikut campur dalam masalah sosial dan politik Israel. Turki berusaha untuk melemahkan pemerintahan Israel di Yerusalem.
Belum lagi pemerintah Turki memberikan tempat dan ruang gerak yang leluasa terhadap pejuang gerakan perlawanan Hamas di Turki. Israel dibuat marah oleh Erdogan, karena Israel menganggap Hamas sebagai ‘kelompok teroris.’
Setahun kemudian, tahun 2011, Turki mengusir Duta Besar Israel setelah Israel menolak untuk meminta maaf atas pembunuhan sembilan aktivis Turki di atas kapal Mavi Marmara, yang berusaha memberikan bantuan ke Jalur Gaza yang diblokade, tahun sebelumnya.
Erdogan juga telah menjadi pengkritik yang blak-blakan atas pendudukan Israel pada forum-forum internasional, termasuk di forum PBB.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Periode berikutnya, 23 Maret 2013, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, akhirnya memenuhi permintaan Turki, yakni meminta maaf kepada Turki atas “kesalahan yang menyebabkan kehilangan nyawa” dalam insiden serbuan pasukan komando Israel atas kapal berisi bantuan untuk warga Gaza, Palestina, Mavi Marmara pada tahun 2010.
Selain itu pemerintah Israel juga bersedia memberikan ganti rugi bagi keluarga dari sembilan aktivis yang tewas dalam serangan itu, sesuai dengan permintaan Erdogan.
Dalam pembicaraan Netanyahu dengan Erdogan via telepon, Netanyahu menyesalkan rusaknya hubungan bilateral antara dua negara atas insiden tersebut.
Wartawan BBC di Yerusalem, Kevin Connolly mengatakan Netanyahu menelpon Erdogan dari dalam sebuah trailer di bandara Tel Aviv. Di tempat yang sama, pesawat Air Force One sedang menunggu sebelum membawa Presiden AS Barack Obama terbang ke Yordania.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Hubungan kedua negara merenggang lagi pada tahun 2018, ketika Turki marah karena Amerika Serikat memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Hubungan diplomatik antar kedua negara masih belum terhubung kembali. Tidak ada saling kunjungan lagi sejak kecaman Turki atas serangan militer Israel ke Jalur Gaza tahun 2008.
Namun demikian, perdagangan antara Israel dan Turki tetap berjalan. Turki memahami nilai kartu Israel untuk menunjukkan kemandirian dan karakter uniknya dan menyadari kegunaannya untuk mempromosikan hubungan dengan AS, pemimpin NATO.
NATO (North Atlantic Treaty Organization), adalah Pakta Pertahanan Atlantik Utara, sebuah organisasi aliansi militer antar banyak negara, termasuk Turki. Turki bergabung menjadi anggota NATO tanggal 18 Februari 1952. NATO bertujuan menekan pengaruh ideologi komunis dari Uni Soviet dan aliansinya yaitu Pakta Warsawa.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Namun walaupun Turki menjadi bagian dari NATO, negara itu berani membeli sistem pertahanan rudal Rusia S-400, akhir tahun 2020. Sebuah langkah yangmembuat AS marah dan mengancam memberikan sanksi pada Turki.
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo saat itu mengatakan, pembelian sistem S-400 akan membahayakan keamanan teknologi dan personel militer AS. Langkah itu itu dikhawatirkan memberikan akses Rusia ke angkatan bersenjata Turki dan industri pertahanan.
Adapun sektor perdagangan antara kedua negara, Turki-Israel, tetap berlangsung intensif di tengah menegangnya hubungan diplomatik.
Terkini angka perdagangan mencapai $6 miliar lebih (sekitar Rp 85,9 trilun) pada tahun 2021. Ekspor Turki menyumbang dua kali lipat impor Israel. Angka tersebut belum termasuk pariwisata. Turki tetap menjadi tujuan populer wisata bagi warga Israel.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Nilai perdagangan Turki dan Israel itu telah meningkat dari $5 miliar pada 2019 dan 2020.
Perang Rusia-Ukraina dan Migas
Sampailah pada kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog menemui Presiden Turki Erdogan, pada Rabu, 9 Maret 2022.
Herzog menjadi pemimpin Israel pertama yang mengunjungi Turki dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, setelah lama ketegangan antara kedua negara.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Menurut Peneliti keamanan energi dan politik regional Mediterania Timur, Gabriel Mitchell, penerimaan Turki atas kunjungan Israel terkait dengan serangan militer Rusia ke negara Ukraina.
“Impor gas dari Rusia menyumbang 45% dari pasokan gas alamnya. Selain itu, Turki juga tergantung pada pariwisata dan perdagangan dari Rusia,” ujar Mitchell, yang juga Direktur Studi Sarjana di Universitas Notre Dame di Tanur, Yerusalem.
Ketergantungan Turki pada gas impor dari Rusia selama ini, memerlukan alternatif penggantinya dalam situasi tak menentu saat ini dan antisipasi ke depan.
Menurutnya, kerjasama Turki dalam gas alam dengan Israel akan menjadi relevan. Bahkan sebelum perang di Ukraina, pembicaraan itu pun sebenarnya sudah dimulai.
Seperti Pada bulan Januari lalu, Erdogan mengatakan pembicaraan sedang berlangsung dengan para pemimpin Israel untuk membangun pipa gas alam bawah laut antara Israel dan Turki. Itu adalah proyek yang mendapat dorongan baru-baru ini dari AS, yang akan mengubah hubungan keamanan di kawasan dan krisis energi di Eropa sebagai peluang bagus bagi Turki dan Israel.
Pada konferensi pers bersama dengan Herzog saat kunjungan itu, Erdogan mengatakan, Ankara siap untuk bekerja sama dalam proyek-proyek energi.
“Perkembangan terakhir yang terjadi di wilayah kami menunjukkan sekali lagi pentingnya keamanan energi,” kata Erdogan.
Presiden Turki menambahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Fatih Dönmez akan mengunjungi Israel dalam waktu dekat untuk melakukan pembicaraan untuk meningkatkan perdagangan bilateral.
Mitchell mengatakan, prospek Israel dan Turki bekerja sama dalam jaringan pipa gas menjadi lebih masuk akal saat situasi perang Rusia-Ukraina. Namun masih ada beberapa hambatan di lapangan.
Salah satu rintangan terbesar adalah meyakinkan Siprus untuk menerima jaringan pipa di dekat wilayahnya di mana Turki, saingan lamanya, terlibat, imbuhnya.
Padas bagian lain, Kristian Brakel, kepala kantor Turki untuk Yayasan Heinrich Böll, mengatakan, kerjasama gas alam Israel dan Turki akan menjadi cara paling logis bagi negara-negara kawasan untuk bekerja sama.
Brakel mengatakan, tanda-tanda kedua negara sedang mengerjakan topik gas “akan menunjukkan bahwa hal-hal di antara mereka meningkat secara substansial.”
Apalagi Uni Eropa mengumumkan berencana untuk mengurangi impor migas tahun ini dari Rusia. Jerman juga menangguhkan persiapan untuk memulai layanan pada pipa Nord Stream 2 yang akan menyediakan gas Rusia ke ekonomi terbesar Eropa.
Sementara di Laut Hitam, Rusia dapat menimbulkan ancaman bagi Turki, di mana kedua negara memiliki garis pantai yang panjang.
Dalam langkah pertama menuju rekonsiliasi, Erdogan menelepon Herzog setelah kepala negara Israel itu mulai menjabat tahun lalu. Keduanya juga telah mengadakan beberapa percakapan telepon sejak itu.
Erdogan juga telah berbicara dengan Perdana Menteri Naftali Bennett menyusul pembebasan pasangan Israel yang ditangkap di Istanbul tahun 2021 lalu. Pasangan itu dicurigai sebagai mata-mata.
Presiden Turki Erdogan beberapa tahun belakangan juga dikenal aktif dalam menjalin komunikasi dengan negara-negara kawasan Teluk, yang selama ini cenderung menegang, Turki sudah mendekat ke Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Namun Turki memastikan pada bagiannya bahwa langkah kerjasama dengan Israel itu tidak akan ada perubahan pada sikap pemerintahnya terhadap dukungan utama Palestina.
Hal itu diyakinkan oleh Menteri Luar Negeri Mevlüt Cavuşoğlu yang mengatakan, Turki akan terus memberikan dukungan untuk perjuangan sah Palestina.
Dia menekankan, dukungannya kepada Palestina akan terus berlanjut pada saat negaranya melakukan upaya untuk menormalkan hubungan dengan Israel. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)