GAZA, wilayah yang setiap pagi disambut dentuman, bukan kicau burung riang. Gaza daerah terblokade yang penuh dengan tank dan drone berkeliaran. Gaza kantong sempit yang dijejali ratusan ribu pengungsi akibat pendudukan.
Namun demikian, di Jalur Gaza pula, para jurnalis berdiri tegak, membawa lensa kamera, handphone dan laptop sebagai senjata.
Mereka bukan hanya pencatat sejarah, tetapi juga menjadi saksi bisu dari puluhan ribu syuhada dan korban yang terluka parah.
Salah satu jurnalis itu adalah Wael al-Dahdouh (53 tahun), Kepala Biro Al Jazeera di Gaza.
Baca Juga: Senjakala Negara Zionis Israel
Pada pertengahan Oktober 2023, sebuah serangan udara Israel merenggut nyawa istri dan dua anaknya. Sementara ia sendiri terluka parah.
Dengan luka yang masih menganga, ia tetap melaporkan dari garis depan, menyampaikan kisah rakyatnya kepada dunia.
Tragisnya, pada Januari 2024, putra sulungnya, Hamzah, juga tewas dalam serangan serupa. Namun meski duka menyesakkan dada, Wael terus berdiri, menjadikan pekerjaannya sebagai bentuk perlawanan dan pengabdian.
Ada juga kisah perjuangan jurnalis di Jalur Gaza yang diceritakan langsung oleh Youmna el-Sayed, seorang Muslimah jurnalis Al Jazeera English.
Baca Juga: Amanah Itu Tak Pernah Salah Pundak
Youmna bercerita pada peringatan 77 Tahun Nakba bertema “From the Shadows of Nakba: Breaking the Silence, End the Ongoing Genocide” (Dari Bayang-Bayang Nakba: Mematahkan Keheningan, Mengakhiri Genosida yang Sedang Berlangsung), di Ruang Nusantara V, Kompleks MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Pada acara yang diselenggarakan oleh Adara Relief Internasional ibu empat anak itu mengatakan bahwa tidak ada area yang aman di manapun di Gaza, baik siang maupun malam.
“Benar-benar ini genosida paling brutal dalam sejarah manusia, dan mengapa dunia diam?” ujarnya.
Dia menceritakan bagaimana malapetaka yang pernah ia dengar dari cerita kakek neneknya 77 tahun lalu.
Baca Juga: Fatamorgana Kekuasaan: Ketika Zionis Menang di Dunia, Namun Binasa di Akhirat
“Kini sejak blokade Israel atas Gaza, akses makanan, air, listrik dan medis terhambat. Jika dunia sudah tidak lagi percaya pada laporan juralis, silakan melihat langsung ke Gaza,” ujarnya.
Ia merasakan saat bekerja sebagai jurnalis dengan sedikit peralatan dan akses internet yang sangat terbatas. Tak ada lagi kantor redaksi, karens sudah dibombardir oleh militer Israel.
Bahkan ketika ia mengenakan helm dan rompi anti peluru, dan bertuliskan “Press”. Jika terintai drone, malah jadi target sasaran peluru. Banyak jurnalis diserang saat pulang dari tugas liputan.
“Kalau kita bergerak liputan, anak kita gak aman, begitu ancaman yang ada,” ujarnya.
Baca Juga: Cahaya Kebenaran yang Selalu Menyala
Youmna menceritakan juga, ketika ada nomor tak dikenal menelepon handphone suaminya, dengan nada acaman. Dan begitu telepon itu diterima, sasaran rudal pun segera meluncur.
Suatu ketika, anaknya yang berusia 12 tahun, menanyakan, “Apakah keluarganya diserang karena ibunya seorang jurnalis?”
Sebagai seorang ibu dan seorang jurnalis, hatinya merasa terhujam. Namun ia tetap bertekad ancaman itu memang harga mahal yang harus dibayar.
Liputan Harus Terus Berlanjut
Baca Juga: Jalan Jama’ah: Jalan Para Nabi dan Siddiqin
Kisah lain diungkapkan Maher Abuquta, kameramen Al Jazeera, yang mengatakan bahwa pekerjaan liputan jurnalis di Jalur Gaza membuat Zionis berang. Sehingga para jurnalis memang menjadi sasaran tembak.
Cara-cara yang digunakan pihak Zionis antara lain dengan menyerang kantor media, melarang jurnalis asing masuk, dan penargetan keluarga jurnalis.
“Ini benar-benar kekejaman kolektif. Zionis tahu di rumah itu ada anak-anak dari jurnalis. Akan tetapi bagaimanapun, liputan harus tetap berlanjut,” tegasnya.
Ia paham bahwa Zionis mengangap liputan jurnalis itu lebih kuat dari senjata apapun.
Baca Juga: Menyoal Yayasan Kemanusiaan Gaza yang Dikelola AS dan Israel
Menurutnya, penargetan jurnalis karena Zionis ingin memisahkan Palestina dari dunia internasional. Karenanya tidak boleh ada berita. Agar kondisi Palestina tidak terdengar lagi di media.
“Padahal apa yang diberitakan media itu, tidak lebih dari 10 persen dari yang terjadi di lapangan,” imbuh ya.
Maher menambahkan, menyerang jurnalis dalam pekerjaan liputan adalah kejahatan intelektual sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Jenewa.
Selanjutnya, jaringan internet juga telah membatasi akun media sosial para jurnalis. “Inilah memang terjadi perang di medan narasi, perang kesadaran”.
Baca Juga: Haji, dari Ibadah Ritual menuju Transformasi Kehidupan
“Bagi kami, pekerjaan jurnalis di lapangan adalah perjuangan menyelamatkan nyawa manusia tak berdosa lewat gambr dan kata-kata. Termasuk pekerjaan jurnalis di Tepi Barat jauh lebih sulit,” lanjutnya.
Dalam hitungannya, menurut Maher ada sejumlah 220 jurnalis yang telah syahid di Gaza. []
Mi’raj News Agency (MINA)