Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Bawah Langit yang Terkoyak: Kisah Pengkhianatan Terhadap Kemanusiaan di Tanah Palestina

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 7 detik yang lalu

7 detik yang lalu

0 Views

Seorang anak Palestina di Jalur Gaza membersih genangan lumpur akibat hujan lebat yang melanda, Sabtu, 15 November 2025. (Foto: Quds News)

DI SEBUAH sudut dunia, ada tanah yang pernah dipenuhi doa, kedamaian, dan harapan. Tanah para nabi. Tanah para syuhada. Tanah yang setiap butir pasirnya menyimpan sejarah panjang manusia beribadah kepada Tuhan. Namun hari ini, tanah itu berubah menjadi halaman duka yang tak pernah kering, tempat jeritan anak-anak memecah malam dan suara dentuman bom menjadi pengganti azan damai yang dulu pernah mengisi udara.

Pengkhianatan terhadap kemanusiaan terjadi hari demi hari, tanpa jeda, tanpa malu, tanpa nurani. Dunia menonton, sebagian bungkam, sebagian pura-pura tuli. Dan Palestina terus berdarah.

Bayangkan seorang ayah yang pulang dari masjid, membawa roti untuk anak-anaknya. Senyumnya baru saja tumbuh ketika dari kejauhan ia melihat rumahnya hilang—lenyap, rata dengan tanah. Batu-batu yang dulu menjadi dinding hangat itu sekarang menjadi debu, terbang ringan seperti sesuatu yang tak pernah berharga.

Di antara sisa reruntuhan, ia menemukan sesuatu: sandal kecil putrinya. Setengah hangus. Masih utuh bentuknya, tetapi sudah tak ada kaki mungil yang memakainya lagi.

Baca Juga: Pemuda dan Jihad Digital: Membela Baitul Maqdis di Dunia Maya

Apa kata dunia pada ayah itu? Sabar?
Apa kata hukum pada ayah itu? Nanti?
Apa kata kemanusiaan pada ayah itu? Di mana?

Tidak ada kata yang mampu menjahit luka sebesar itu.

Anak-anak yang Tumbuh dengan Bahasa Luka

Di tanah lain, anak-anak tumbuh dengan mainan dan sekolah. Tetapi di Gaza, anak-anak tumbuh dengan dua hal: ketakutan dan kehilangan. Mereka mengenal suara roket lebih cepat daripada mengenal suara hujan. Mereka hafal kata “syahid” sebelum mereka hafal nama-nama hewan.

Baca Juga: Jejak Kesadisan Zionis Israel Ada pada Jenazah-Jenazah Palestina yang Dipulangkan

Ketika dunia bertanya,
“Apa cita-citamu?”,
mereka menjawab dengan polos:
“Untuk hidup sampai besok.”

Betapa hancurnya sebuah dunia hingga cita-cita paling sederhana pun menjadi kemewahan yang hampir mustahil.

Tak ada duka yang lebih dalam daripada duka seorang ibu. Di Palestina, duka itu bukan tamu—dia tinggal di sana. Dia tidur bersamanya, makan bersamanya, bernapas dalam dada yang sama.

Seorang ibu duduk memeluk jasad anaknya. Tubuh kecil itu dingin, tertutup debu. Si ibu mengusap wajahnya, seakan-akan sentuhan lembut seorang ibu bisa membawa kembali kehidupan. Air matanya bukan lagi bening, tapi seperti aliran yang tak punya tujuan.

Baca Juga: Membaca Teori Lingkaran Keberkahan Baitul Maqdis

Seorang tentara mendekat dan mengusirnya. Ia menjerit, tak mau melepaskan tubuh yang pernah ia lahirkan dengan sakit yang sama. Tapi dunia hari ini kejam: bahkan hak seorang ibu untuk menangis pun direbut darinya.

Pengkhianatan macam apa ini, jika bukan pengkhianatan terhadap nurani paling dasar manusia?

Dunia modern sering berbicara tentang HAM—Hak Asasi Manusia. Mereka mengadakan konferensi, membuat slogan, mengatur kamera, menulis panjang lebar tentang cinta damai dan dunia bebas kekerasan. Tapi ketika tanah Palestina dibelah, tubuh-tubuh tak berdosa berserakan, dan air mata mengalir tanpa henti, suara dunia tiba-tiba serak.

Ada yang lebih memilih karpet merah politik daripada merahnya darah anak-anak. Ada yang lebih sibuk mengurus rating berita daripada nyawa manusia. Ada yang menutup mata karena kebenaran terasa terlalu berat untuk dilihat.

Baca Juga: Dua Tahun Serangan Israel di Gaza: Genosida Layanan Kesehatan

Beginilah wajah pengkhianatan itu: bukan hanya dilakukan oleh tangan yang menekan tombol rudal, tetapi juga oleh mereka yang membiarkan ketidakadilan tetap hidup.

Keteguhan yang Tidak Pernah Padam

Namun, di tengah kehancuran itu, ada sesuatu yang tak bisa dihancurkan: iman dan keberanian. Orang-orang Palestina, dengan tubuh penuh luka dan hati yang koyak, tetap berdiri. Mereka tahu dunia mungkin mengabaikan mereka, tetapi Tuhan tidak. Mereka tahu banyak pintu tertutup, tetapi pintu langit selalu terbuka.

Mereka kehilangan rumah, tetapi tidak kehilangan kehormatan.
Mereka kehilangan keluarga, tetapi tidak kehilangan keyakinan.
Mereka kehilangan masa depan di dunia, tetapi mereka percaya pada masa depan yang lebih kekal. Itulah sebabnya Palestina tidak pernah benar-benar kalah.

Baca Juga: Mundur Bukan Strategi — Ini Pengakuan Kalah Telak Israel

Kisah ini belum selesai. Debu masih jatuh. Darah masih mengalir. Doa masih terpanjat. Harapan masih hidup meski tipis, meski rapuh, meski sering tenggelam oleh ledakan yang mengguncang bumi.

Tetapi satu hal pasti: sejarah tidak akan selamanya memihak kepada mereka yang menindas. Kebenaran mungkin tertunda, tetapi tidak akan hilang. Dan setiap air mata yang jatuh, setiap jeritan yang tak terdengar, setiap doa yang terucap dalam gelap, semuanya dicatat oleh Tuhan yang Maha Adil.

Dan pada akhirnya, kezaliman—betapapun kuatnya—pasti akan runtuh.

Palestina akan bangkit. Bukan hanya sebagai tanah, tetapi sebagai simbol bahwa ketidakadilan tidak bisa berkuasa selamanya.[]

Baca Juga: Menanti Sikap Indonesia terhadap Rencana Kehadiran Atlet Israel

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Rahasia Doa Rizki Halal dan Berkah, Mendapatkan Rezeki Tanpa Beban Berat

Rekomendasi untuk Anda