Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Istanbul, Minim Bahasa Sesat di Jalan

Nur Hadis - Jumat, 26 April 2024 - 00:58 WIB

Jumat, 26 April 2024 - 00:58 WIB

20 Views

Oleh: Rijal Abdul Latif, Relawan Aqsa Working Group (AWG) dan Maemuna Center (Mae-C) Indonesia 

Saya sempat bengong beberapa detik sebelum tersadar seisi ruangan kompak bertepuk tangan. Saya pun akhirnya ikut bertepuk tangan bersama puluhan orang yang hadir dalam pertemuan rutin peserta Freedom Flotilla Coalition (FFC) di Hotel Tugra, kawasan Fatih, Istanbul, Turkiye, Jumat (19/4/2024).

Bukan karena kagum dengan apa yang disampaikan oleh Panitia Pengarah FFC, Ann wright yang berbicara menggunakan bahasa Inggris fasih dengan logat Amerika dan artikulasinya yang jelas, tapi karena saya tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang dikatakan wanita berusia 77 tahun itu.

Saya bergumam di dalam hati,”Kenapa dulu tidak serius belajar bahasa di pondok pesantren.” Tiba-tiba terbayang wajah Allahuyarham Ustaz Ibnu Hajar yang dengan tekun mengajarkan kami bahasa Inggris di Ponpes Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah Al-Muhajirun, Negararatu, Natar, Lampung Selatan.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Hari ini di Istanbul, saya merasakan penyesalan mendalam. Saat itu tidak terfikir bagi saya, anak kampung ini akan berangkat keluar negeri, duduk bersama dengan aktivis dari 40 negara membahas isu kemanusiaan Palestina.

Sebenarnya kekhawatiran ini sudah terbayang saat saya dihubungi oleh Bang Nurhadis yang mengatakan kalau saya terpilih untuk berangkat mengikuti misi kemanusiaan Freedom Flotilla Coalition 2024 menggunakan kapal laut, membelah laut Mediterania, menembus blokade berkepanjangan terhadap Gaza Palestina oleh Zionis Israel.

Belum lagi kalau nanti diizinkan oleh Allah untuk masuk ke Gaza Palestina, tentu warga Gaza tidak faham bahasa Lampung. Tiba-tiba saya merasa sedang berhadapan dengan Ustadz Muhammad Iqbal, ustadz yang memiliki wajah teduh dan selalu tersenyum ceria saat mengajarkan kami mufrodat (kosakata) demi mufrodat bahasa Arab.

“Maafkan saya Ustadz, saya tidak serius memperhatikan apa yang ustadz ajarkan, yang saya ingat hanya U’sbun (rumput), kosakata yang ustadz ulang-ulang supaya makhroj A’in yang keluar dari mulut kami sesuai dengan kaidah bacaan bahasa Arab,” gumamku sekali lagi dalam hati.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Sebenarnya pada Desember 2023, terdorong semangat untuk bisa berbahasa, saya pernah mengikuti LCDU English Camp yang diselenggarakan selama enam hari di Bandung.

LCDU sendiri merupakan singkatan dari Language Course for Da’wah and Ummah. Lembaga yang didirikan untuk menyiapkan kemampuan SDM dakwah dalam upaya pembebasan Masjid Al-Aqsa.

Dan saat ini saya masih menyempatkan diri ikut kelas online kursus intermediate Bahasa Inggris di tengah kesibukan dalam misi FFC.

Sudah sembilan hari di Istanbul. Saya harus terus memaksakan diri mempraktikkan sedikit kemampuan bahasa yang dimiliki. Meskipun beberapa kali mencoba berbicara dengan orang asing, direspon dengan gestur dan bahasa tubuh yang menandakan dia tidak faham dengan apa yang saya ucapkan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Beberapa kali saya merasakan seperti dipaksa oleh rekan saya Bang Nurhadis untuk bisa berbahasa. Ada beberapa momentum saya dimintanya untuk berkomunikasi langsung dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris. Hal yang menurut saya semestinya Bang Hadis yang lakukan, malah meminta saya dan Ja’far.

Suatu ketika kami pulang dari rumah Syeikh Omar yang menghabiskan waktu perjalanan selama kurang lebih 1 jam. Saat berangkat, kami menggunakan moda transportasi trem, namun karena pulangnya malam, kami harus cari tahu menggunakan transportasi apa untuk kembali ke rumah.

Bang Nur Ikhwan dan Bang Hadis memaksa saya dan Ja’far untuk bertanya ke beberapa orang. Dalam hati ngucap, mestinya mereka yang nanya langsung supaya tidak tersesat. “Susah juga ngak bisa bahasa Inggris ini, bisa kesasar nanti kalau salah naik kereta,” gerutuku.

Beberapa contoh lain misalnya diminta ke resepsionis hotel untuk menanyakan mengapa air panas di kamar mandi penginapan kami mati, diminta keliling pasar cari piring kemudian ditawar supaya murah. Dan setiap ada pertemuan, Bang Hadis minta saya jangan dekat-dekat dengan dia yang selalu sibuk untuk ambil photo dan video kegiatan juga buat report untuk minanews. “Jangan dekat-dekat, duduk sana terpisah, gabung dengan peserta dari negara lain,” katanya.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

Awalnya saya berfikir senior saya lagi ngerjain saya, atau memang tidak suka dengan saya. Sampai kemudian dia bilang kalau itu dilakukannya supaya saya “terpaksa” ngobrol menggunakan bahasa Inggris dan Arab kepada peserta lain sehingga kemampuan bahasa saya bisa terasah. “Saya juga kadang nggak faham mereka ngomong apa Zal, tapi ya udah paksain aja komunikasi supaya terbiasa,” kata Bang Hadis.

Sebenarnya beberapa tips yang saya pelajari untuk bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa asing sudah banyak, saya pun mulai mencoba mempraktikkan teori yang sudah saya pelajari tersebut.

Paling tidak ada 10 langkah yang sedang berusaha saya lakukan untuk bisa lancar berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Pertama, bergabung dengan kelas atau kelompok belajar sehingga bisa berinteraksi dengan pengajar dan sesama pembelajar. Itu sebab kenapa saya bergabung di LCDU.

Kedua, saya gunakan aplikasi di android untuk membantu kemampuan komunikasi bahasa asing saya. Memang ada beberapa aplikasi yang dirancang khusus untuk membantu kita belajar bahasa Inggris dengan mudah dan menyenangkan, seperti Duolingo, Babbel, atau Memrise. Tapi saya sendiri belum mencobanya.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Langkah ketiga adalah dengan ngobrol bareng native speaker. Inilah yang saya terus saya lakukan selama di Istanbul ini. Walaupun belum semua yang diucapkan lawan bicara saya bisa saya mengerti, tapi berproses, yang utama adalah saya akan terus mencoba.

Keempat yaitu terus praktik komunikasi dengan siapapun yang saya temui. Ngobrol tentang misi Freedom Flotilla, tentang rencana keberangkatan yang terus tertunda hingga hari ini.

Kelima, buat simulasi percakapan. Saya kadang becanda ngobrol dengan rekan saya Ja’far seolah sedang berbincang dengan orang asing.

Saya sering mengulang-ulang dengan pelan apa yang diucapkan salah satu panitia pengarah FFC, Ann Wright kalau sedang bicara. Ini langkah keenam, meniru apa yang diucapkan oleh Ann yang kalau bicara sangat jelas terdengar di telinga baik pengucapan, intonasi dan cara berbicaranya.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Ketujuh, jangan takut salah. Memang awal-awal malu juga kalau salah. Tapi asyiknya, teman-teman aktivis tidak menertawakan kalau saya salah bicara, jadi semangat aja ngobrol to North to South (ngalor ngidul). Hehe.

Berikutnya kedelapan, saya mencoba membaca dan mendengarkan berita dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain selama di Istanbul untuk meningkatkan kosakata dan memahami konteks penggunaan kata-kata dalam situasi yang berbeda.

Kesembilan, mencatat kesalahan bicara saat percakapan dengan orang. Dan yang terakhir konsisten dan sabar, karena proses ini perlu latihan terus menerus.

Selama di Istanbul, saya merasa semakin termotivasi untuk meningkatkan kemampuan bahasa asing. Mudah-mudahan Allah memudahkan langkah saya untuk dapat menguasai berbagai macam bahasa asing. (A/ral/B03)

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia