New York, MINA – Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi berbicara di Sidang Majelis Umum PBB ke-77 di New York, Amerika Serikat, Senin (26/9). Dalam pidatonya Ia menegaskan, Indonesia akan terus bersama Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
“Sudah terlalu lama, orang-orang di Palestina telah menderita dan merindukan perdamaian,” ujar Retno dalam pidatonya.
Menlu RI menegaskan, sampai Palestina benar-benar bisa menjadi negara merdeka, Indonesia akan berdiri kokoh dalam solidaritas dengan rakyat Palestina.
Selain Palestina, dalam sesi debat umum level tinggi itu, Retno juga berbicara mengenai isu Afghanistan.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Menlu RI mengatakan, masyarakat di Afghanistan juga berhak mendapatkan kehidupan yang damai dan sejahtera dengan hak semua orang, termasuk perempuan, sama-sama dihormati.
Selain itu akses pendidikan untuk perempuan dan anak perempuan Afganistan harus diberikan.
Di awal pidatonya, Menlu RI menyerukan perlunya tatanan dunia yang berdasarkan paradigma baru.
“Indonesia menawarkan tatanan dunia yang berbasis paradigma baru. Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment). Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi. Ini adalah solusi tansformatif yang kita butuhkan,” jelasnya.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Ia menyayangkan, kondisi saat ini sangat menghawatirkan: pandemi yang berkepanjangan, ekonomi dunia yang masih kelam, perang yang bukan lagi sebuah kemungkinan, tapi sebuah kenyataan, dan pelanggaran terhadap hukum internasional yang telah menjadi norma untuk kepentingan sebagian. Krisis pun datang silih berganti, dari pangan, energi, hingga perubahan iklim.
“Seharusnya dunia bersatu untuk mengatasinya, namun sayangnya, dunia justru terbelah, sehingga menyulitkan kita berupaya mengatasi kondisi ini,” katanya.
Menurutnya paradigma baru tersebut penting karena beberapa alasan, antara lain adalah untuk menyalakan kembali spirit perdamaian.
Kurangnya kepercayaan antar-negara memicu kebencian dan ketakutan, sehingga dapat berujung pada konflik. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, kurangnya kepercayaan harus diubah menjadi kepercayaan strategis.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
“Ini harus diawali dengan penghormatan terhadap hukum internasional. Prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar. Prinsip-prinsip ini harus senantiasa ditegakkan. Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik,” tegas Retno. (L/RE1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka