Refleksi Pedagogis bagi Pendidikan Islam Kontemporer
Oleh Muhammad Arroyan, M.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Fatah Pekalongan, Jawa Tengah
PENDIDIKAN Islam memandang proses belajar sebagai perjalanan ruhani dan intelektual yang membentuk akhlak, hati, dan akal manusia. Ia tidak sekadar transfer pengetahuan, tetapi transformasi diri menuju kesadaran akan Allah ﷻ.
Tujuan utamanya bukan hanya menguasai ilmu, melainkan melahirkan insan yang berilmu sekaligus beradab. Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar hasil rasionalitas, tetapi cahaya yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya. Karena itu, proses belajar selalu diiringi dengan adab, kesabaran, dan keikhlasan mencari kebenaran.
Baca Juga: Menetapi Jama’ah, Menjaga Diri dari Zaman Penuh Luka
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr dalam Surat Al-Kahfi menjadi salah satu potret paling indah dari interaksi edukatif berbasis dialog dan pengalaman langsung (experiential learning). Allah mengabadikan pertemuan ini sebagai pelajaran mendalam tentang adab mencari ilmu, batas rasionalitas manusia, serta pentingnya pengalaman hidup dalam memahami hikmah Ilahi. Firman-Nya:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَـٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
“Lalu mereka berdua mendapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi [18]: 65)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu hakiki datang dari Allah, bukan semata hasil usaha rasional manusia. Dalam konteks pendidikan Islam, hal ini mengajarkan bahwa guru sejati adalah Allah, sementara manusia hanyalah perantara penyampaian ilmu. Maka, seorang murid harus menyadari bahwa proses belajar adalah ziarah spiritual untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Ilmu.
Baca Juga: 14 Poin Krusial KUHAP Baru, Publik Soroti Risiko Pelemahan Hak Asasi
Nabi Musa, meskipun seorang rasul yang diberi wahyu, tetap rendah hati dalam mencari ilmu kepada Khidr. Ia berkata dengan penuh hormat:
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (QS. Al-Kahfi [18]: 66)
Ungkapan ini merupakan contoh adab ilmiah yang sangat tinggi. Musa as. tidak menuntut, tetapi meminta izin. Meskipun seorang nabi, tetapi bersikap tawadhu di hadapan seorang guru yang diberi ilmu. Dalam pendidikan Islam, adab seperti ini merupakan fondasi utama sebelum seseorang menuntut ilmu. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Dialog ini juga menggambarkan pentingnya komunikasi dua arah dalam pembelajaran. Khidr tidak hanya memberi nasihat, tetapi juga membimbing melalui pengalaman hidup yang penuh hikmah.
Baca Juga: Indonesia dan Masa Depan Hutan Tropis Dunia, Langkah Baru Memimpin Konservasi
Dalam tiga peristiwa perahu yang dirusak, anak yang dibunuh, dan tembok yang diperbaiki, Nabi Musa belajar bahwa pengetahuan tidak selalu dapat dijelaskan secara rasional, tetapi terkadang hanya bisa dipahami setelah melalui pengalaman.
Hal ini sejalan dengan konsep experiential learning dalam teori pendidikan modern, yang dikemukakan David Kolb, bahwa belajar adalah proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Dalam konteks Islam, proses tersebut dipadukan dengan kesadaran spiritual, yakni menyadari bahwa setiap pengalaman hidup adalah tanda-tanda (ayat) dari Allah SWT.
Allah menegaskan pentingnya kesabaran dan ketaatan dalam proses belajar. Ketika Khidr berkata:
إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
Baca Juga: Ancaman Sunyi di Balik Evakuasi Warga Gaza Berkedok Kemanusiaan
“Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi [18]: 67)
Ungkapan ini mengandung hikmah pedagogis bahwa pembelajaran sejati memerlukan kesabaran, terutama ketika berhadapan dengan hal-hal yang belum dipahami sepenuhnya. Nabi Musa pun menjawab dengan tekad yang tulus:
سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًۭا وَلَآ أَعْصِى لَكَ أَمْرًۭا
“Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” (QS. Al-Kahfi [18]: 69)
Baca Juga: Ketika Pelukan Anak Jadi Obat Lelah
Kesabaran dan ketundukan terhadap guru adalah adab yang menjadi fondasi keberhasilan dalam pendidikan Islam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed juga menekankan bahwa dialog sejati menumbuhkan kesadaran kritis dan memanusiakan proses belajar. Prinsip ini sejalan dengan semangat Islam yang menuntun manusia berpikir, bertanya, dan merenung atas tanda-tanda Allah di alam semesta. Selain itu, dalam pendidikan Islam modern, pendekatan ini sangat relevan dalam pembelajaran.
Baca Juga: Kritik Radikal Ilan Pappe terhadap Proyek Kolonial Israel
Guru tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi fasilitator yang mengarahkan peserta didik untuk menemukan makna melalui pengalaman, refleksi, dan diskusi. Metode ini menumbuhkan tafaqquh fi al-din, pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai Islam yang aplikatif dalam kehidupan.
Kisah Nabi Musa dan Khidr juga mengajarkan bahwa setiap ilmu memiliki konteks dan batas. Ilmu rasional dan empiris tidak dapat menjangkau rahasia kehendak Ilahi. Di sinilah letak pentingnya adab epistemologis dalam Islam, yaitu kesadaran bahwa ilmu manusia terbatas dan tidak boleh melahirkan kesombongan intelektual.
Dalam konteks experiential learning, setiap pengalaman baik menyenangkan maupun menyakitkan, merupakan media pendidikan yang menumbuhkan hikmah, empati, dan kedewasaan spiritual. Maka, model pendidikan Islam yang ideal adalah yang mengintegrasikan tiga dimensi: dialog yang membangun kesadaran, pengalaman yang menumbuhkan hikmah, dan adab yang mengantarkan pada ridha Allah.
Dengan demikian, dialog dan experiential learning dalam kisah Nabi Musa dan Khidr bukan hanya pendekatan pembelajaran, tetapi juga jalan menuju tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Melalui dialog yang jujur dan pengalaman yang dihayati dengan sabar, manusia dapat memahami bahwa di balik setiap peristiwa, Allah sedang mendidiknya untuk menjadi hamba yang lebih berilmu, beradab, dan bijaksana.
Baca Juga: Pentingnya Narasi dan Literasi dalam Perjuangan Palestina
Pendidikan Islam yang ideal merupakan pendidikan yang menyatukan akal, hati, dan pengalaman dalam satu kesadaran tauhid. Ia menuntun manusia bukan sekadar menjadi pintar, tetapi menjadi insan Rabbani, yang menjadikan Allah sebagai tujuan dari segala proses belajar.
Dalam semangat inilah kisah Nabi Musa dan Khidr menjadi cermin abadi: bahwa ilmu tanpa adab akan menyesatkan, tetapi ilmu yang disertai kesabaran dan pengalaman hidup akan mengantarkan kepada hikmah dan cahaya Ilahi. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ternyata Jadi Ayah Tak Seindah Cerita Film
















Mina Indonesia
Mina Arabic