Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilema Warga Palestina Tanpa ID

Rudi Hendrik - Selasa, 17 Mei 2016 - 21:45 WIB

Selasa, 17 Mei 2016 - 21:45 WIB

468 Views

(Foto: Al Jazeera)

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Khalid Yasin (25) adalah mahasiswa sekolah tinggi Palestina yang lulus dengan peringkat tertinggi di kelasnya. Meski demikian, tidak ada universitas yang akan menerimanya untuk kelanjutan pendidikannya.

Yasin telah tinggal tanpa kewarganegaraan atau tanpa memiliki kartu ID selama tinggal di daerah yang dijajah oleh Israel, Tepi Barat. Yasin hidup dalam ketergantungan kepada orang lain, bahkan sesuatu yang sederhana seperti mendaftar saluran telepon, ia harus dibantu.

“Ini seperti saya tidak ada,” kata Yasin sambil duduk di belakang meja di dalam toko sepatu yang kecil. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa nomor ID. Bisnis saya bukan atas nama saya, saya tidak bisa pergi ke universitas, saya tidak bisa memiliki sebuah apartemen (tempat tinggal), saya bahkan tidak bisa menikah secara sah. Saya bukan warga negara mana pun. Ke mana saja saya pergi, saya ilegal.”

Baca Juga: Parfum Mawar Untuk Masjid Al-Aqsa

keluarga Yasin melakukan perjalanan ke distrik utara Tepi Barat, Qalqilya, ketika ia berusia empat tahun. Orangtuanya melarikan diri dari Kuwait pada 1991, selama Perang Teluk berlangsung. Mereka tinggal di Yordania selama beberapa tahun sebelum mendapat izin dari pemerintah Israel untuk memasuki Tepi Barat yang dijajah.

Keluarganya mengajukan permohonan kewarganegaraan Palestina, permohonan yang bisa disetujui Israel jika usia 14 tahun ke bawah. Saat itu Yasin yang berusia 18 tahun, ditolak. Pemerintah Israel mengatakan kepadanya bahwa ia tidak lagi di bawah umur. Ia harus mengajukan sendiri. Yasin pun telah mengajukan permohonan berkali-kali, tapi selalu ditolak.

“Saya hidup dalam ketakutan jika ditangkap,” kata Yasin. “Ada pos pemeriksaan di mana-mana, setiap malam ada penggerebekan. Tentara Israel selalu memasuki kota dan saya selalu berisiko. Mereka mencari tahu tentang saya.”

Menurut Imad Shanan, Direktur Kementerian Dalam Negeri Otoritas Palestina untuk Urusan Sipil Umum, sebanyak 576 warga Palestina di Tepi Barat yang dijajah mengajukan permohonan nomor ID pada 2015, tapi semuanya ditolak. Shanan tidak bisa mengetahui, berapa banyak dari mereka yang mengajukan permohonan berulang.

Baca Juga: Keseharian Nabi Muhammad SAW yang Relevan untuk Hidup Modern

“Ketika datang ke masalah ini, pemberian ID keluar dari tangan kami,” kata Shanan. “PA (Otoritas Palestina) dapat memberikan ID hanya jika Israel setuju, dan masalah ini belum terlihat ada kemajuan. Kami melakukan yang terbaik untuk memberikan hak-hak asasi manusia, tetapi pada akhirnya, masalah ini sampai ke pihak Israel yang  akan mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak ‘.”

Koordinasi Kegiatan Pemerintah Israel di Wilayah Kesatuan yang mengawasi Tepi Barat yang diduduki, mengatakan bahwa pemerintah Israel tidak menyimpan catatan berapa banyak orang yang tinggal di sana secara ilegal.

Muak dengan birokrasi yang selalu gagal, Yasin akhirnya keluar dari persembunyian dan mulai menceritakan kisahnya kepada media.

“Saya selalu takut ketahuan dan saya masih takut ditangkap dan dibawa jauh dari keluarga saya, tapi saya tidak bisa hidup seperti ini selamanya. Sehingga media adalah harapan terakhir saya,” katanya kepada Al Jazeera.

Baca Juga: Satu Tahun Badai Al-Aqsa, Membuka Mata Dunia

<a href=

Khalid Yasin (25) tinggal di Tepi Barat yang dijajah tanpa memiliki nomor ID atau kartu identitas. (Foto: Abed Al-Qaisi/Al Jazeera)" width="600" height="337" /> Khalid Yasin (25) tinggal di Tepi Barat yang dijajah tanpa memiliki nomor ID atau kartu identitas. (Foto: Abed Al-Qaisi/Al Jazeera)

Tiga tahun lalu, Yasin mengambil risiko lain. Di saat teman-temannya lulus dari universitas, ia memutuskan untuk meninggalkan Tepi Barat.

Di bawah hukum Yordania, warga Palestina di Tepi Barat bisa mendapatkan lima tahun paspor Yordania sebagai dokumen perjalanan, meskipun mereka masih belum diberikan nomor ID nasional.

Paman Yasin di Dubai telah menawarkannya pekerjaan sebagai pramugara, dan ia memutuskan untuk menyeberang ke Yordania. Meskipun Yasin tidak memiliki paspor lima tahun, ia memiliki akta kelahiran Yordania dan ia mengira itu akan cukup sebagai surat untuk menyeberangi perbatasan.

“Saya tidak pernah diterbangkan dengan pesawat, atau melihat laut,” kata Yasin. “Itu adalah keputusan yang besar, saya sangat takut bahwa setelah saya pergi, saya tidak akan diizinkan kembali masuk Tepi Barat lagi, tapi saya harus melakukan sesuatu. Hidup saya di sini begitu stagnan.”

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Keluarga pun pergi mengantar Yasin ke perbatasan Tepi Barat-Yordania untuk melepasnya pergi, tapi hal-hal tidak berjalan seperti yang dibayangkan.

“Ketika saya pergi untuk menyeberangi perbatasan (Israel), petugas sangat bingung tentang kondisi saya,” kata Yasin. “Akhirnya mereka (petugas) memanggil seorang kaptennya. Saya menjelaskan kondisi saya dan dia mengatakan kepada saya bahwa ia harus menangkap saya, tapi dia merasa kasihan dan tidak ingin menangkap saya.”

Sebaliknya, pejabat Israel mengatakan kepada Yasin untuk pulang ke rumah, karena petugas Israel tidak bisa membiarkannya menigggalkan Israel tanpa dokumen perjalanan untuk distempel.

Sejak itu, Yasin telah memikirkan berkali-kali tentang penyerahan dirinya kepada pihak berwenang Israel.

Baca Juga: Satu Tahun Taufanul Aqsa

“Aku sudah menghadapi banyak situasi yang akrab dipanggil oleh pasukan Israel. Saya berpikir banyak tentang, akankah saya membiarkan mereka menangkap saya untuk melihat apa yang akan terjadi, tapi saya tidak pernah memiliki keberanian,” katanya.

Untuk saat ini, Yasin sangat ingin menjalani kehidupan normal. Karena ia masih muda, ia ingin belajar jurnalisme, dan ia berangan-angan bisa ke Eropa untuk belajar dan kemudian pulang untuk membuat cerita tentang Tepi Barat yang diduduki. Dia juga ingin menikah dan memiliki anak. Namun, semuanya ia tahan hingga nanti akhirnya ia memiliki ID.

Amal, ibu dari Yasin, ia berharap bahwa anaknya suatu hari nanti memiliki kehidupan yang lebih baik.

“Saya mencoba untuk berbicara kepadanya untuk menikah, tapi dia tidak mau memikirkan hal itu, kecuali pernikahannya bisa diakui secara hukum, karena dia tidak ingin menempatkan kesulitannya kepada isteri dan anak-anaknya nanti,” kata Amal. “Saya tidak pernah menyangka hal ini bisa terjadi padanya. Ini situasi sulit.”

Baca Juga: Memetik Buah Manis Syukur dalam Kehidupan Muslim

Bahkan di dalam Tepi Barat yang diduduki, Yasin jarang bepergian. Dalam 21 tahun, ia hanya pernah berkunjung ke Ramallah dua kali dan Hebron sekali. Setiap perjalanannya menegangkan.

“Saya mencoba mencari secara daring (online) orang lain yang sama di posisi saya, tapi saya menemukan, kebanyakan mereka tidak diberi ID karena isu politik,” kata Yasin. “Itu sangat jauh berbeda dari kasus saya. Tidak ada seorang pun di keluarga saya adalah orang politik, terutama saya. Saya tidak mengikuti (perkembangan politik).” (P001/P4)

Sumber: Tulisan Sheren Khalel dan Abed al Qaisi di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Internasional
Palestina
Palestina
Palestina