Oleh Yasmi Adriansyah, Pendiri Center for Policy, Business, and International Studies, Universitas Al Azhar Indonesia
Permintaan maaf Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Staquf atas kunjungan kontroversial lima tokoh muda Nahdliyin di awal Juli lalu cukup melegakan. Bahwa anak-anak muda tersebut diakui telah melakukan kesalahan fatal. Mereka tidak hanya menciderai nama besar NU, namun justru menyakiti perasaan umat Muslim dan merendahkan martabat Indonesia, negara yang selama ini sangat gigih mendukung perjuangan bangsa Palestina.
Pelajaran penting dari kontroversi kunjungan sejatinya bukanlah semata dari kesalahan para kader muda NU. Memang ada pendapat kesalahan ini terjadi karena kenaifan. Seperti dinyatakan Ketum PBNU, mereka “belum cukup umur”. Namun hal ini dapat diperdebatkan mengingat intelektualitas dan aktivisme para tokoh muda tersebut tidaklah medioker. Justru yang perlu dicermati secara lebih kritis adalah apakah mereka sudah ‘terbeli’ sehingga sudah menjadi bagian dari diplomasi publik yang masif dari zionisme Israel.
Diplomasi Publik Zionisme
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Beberapa tahun silam saat menempuh pendidikan di Oxford University Foreign Service Programme, Saya pernah berdialog dengan seorang diplomat Amerika Serikat (AS) di London. Uniknya saat Saya mengkritik kebijakan luar negeri AS terkait isu Israel-Palestina, sang diplomat justru menyatakan keinginan untuk mundur dari profesinya. Dia berujar, “Our foreign policy is too much influenced by ethnic politics”. Setelah Saya kejar apa yang dia maksud dengan politik etnis tersebut, secara terang benderang ia katakan, “Jewish” (Yahudi).
Pernyataan di atas mengonfirmasi apa yang sudah kerap kita dengar. Bahwa kebijakan publik AS secara umum, dan lebih khusus lagi kebijakan luar negerinya, memang banyak dipengaruhi lobi Yahudi. Karenanya tidaklah mengherankan jika negara Paman Sam ini selalu menjadi pendukung total zionisme Israel. Apakah presiden yang berkuasa dari Partai Demokrat maupun Republikan, semua bersikap sama, tegak lurus membela Israel.
Lobi Yahudi tentu tidak berhenti di AS. Untuk memenangkan ‘pertempuran’ dalam rangka mengamankan eksistensi, negara zionis Israel juga harus membeli hati atau melakukan diplomasi publik kepada bangsa lain. Strategi utama bentuk diplomasi ini ditujukan kepada negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Hal ini mengingat sikap anti-Israel banyak menyebar di sana. (Lihat, misalnya, Lindsay Benstead, 2019. Shifting Attitudes in the Arab World Toward Israel: The Importance of Public Diplomacy).
Lobi Yahudi tidak hanya ditujukan kepada pemerintah. Untuk negara-negara non-demokrasi, memang target utama adalah pemerintah yang berkuasa. Jika Pemerintah Israel tidak dapat melakukan secara langsung, maka AS yang akan aktif bergerak. Adapun di negara-negara dimana demokrasi diterapkan, lobi Yahudi dilakukan melalui diplomasi publik, dengan fokus kepada kalangan masyarakat sipil. Mereka bisa berada di lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus, atau bahkan dunia usaha.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Berbagai diplomasi publik Israel dilakukan oleh berbagai LSM. Beberapa yang ternama di antaranya American Jewish Committee, World Jewish Congress, dan International Association of Jewish Lawyers and Jurists. Sebagian bahkan mendapatkan status konsultatif di badan-badan hak asasi manusia (HAM) PBB, membukakan jalan bagi untuk memengaruhi proses pembuatan norma dan hukum internasional (Michael Galchinksy, 2011. Jewish Non-governmental Organizations).
Jika berbagai LSM di atas beraktivisme dengan kedok HAM atau norma internasional, sebagian secara terang-terangan sebagai pembela negara Israel. Lembaga StandWithUs (SWU), misalnya, aktif di berbagai negara sebagai pembela eksistensi Israel sekaligus mengecam pihak manapun yang dianggap antisemit. Target utama pergerakannya adalah ke lembaga pendidikan, dari jenjang sekolah menengah sampai universitas. SWU mendapatkan dana sumbangan (charity) yang menempati posisi tiga persen tertinggi di AS.
Lobi Yahudi di Indonesia
Kasus pertemuan lima anak muda Nahdliyin dengan Presiden Israel Isaac Herzog, di satu sisi, adalah contoh ‘keberhasilan’ lobi Yahudi di Indonesia. Di sisi lain, kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam mengawasi aktivisme masyarakat sipil yang dapat merusak kebijakan luar negeri. Sekalipun terdapat nada pembelaan bahwa mereka bergerak atas nama pribadi dan bukan institusi (NU), tentu tidak mungkin mereka diundang tanpa melihat latar belakang ke-NU-annya.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Kiranya cukup mudah membaca apa yang menjadi tujuan diplomasi publik Israel melalui undangan kepada sang lima Nahdliyin. Israel ingin mendapatkan citra positif bahwa sejumlah pihak di Indonesia, dan lebih khusus lagi NU sebagai ormas besar di dunia Islam, dapat menerima berbagai kebijakan zionisme. Hasilnya, sebagaimana pernyataan viral dari Zainal Maarif yang mewakili lima delegasi, ‘Indonesia’ menginginkan normalisasi hubungan dengan Israel.
Adanya kunjungan dan bahkan pernyataan memilukan dari perwakilan delegasi, ditambah dengan keterampilan Bahasa Inggris yang memalukan, di satu sisi menunjukkan keberhasilan diplomasi publik Israel. Di tengah genosida yang zionis Israel lakukan di Gaza, mereka masih mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh muda di Indonesia, negara muslim terbesar di dunia.
Di sisi lain, perkembangan di tanah air yang memperlihatkan masifnya kecaman kepada kelima anak muda dan berujung permintaan maaf berulangkali dari Ketua Umum PBNU, menunjukkan upaya diplomasi publik Israel kali ini masih menemui kegagalan. Alih-alih mendapatkan simpati, justru berbagai bentuk lobi Yahudi di Indonesia semakin terkuak. Nahdlatul Ulama pun diperkirakan akan makin kritis mengawasi para kadernya untuk tidak begitu mudah terbeli oleh lobi Yahudi.
Kita harapkan NU dan berbagai elemen di tanah air untuk terus berhati-hati dalam menyikapi diplomasi publik zionis Israel. Termasuk di dalamnya diplomasi yang dilakukan oleh sang pembela utama, Amerika Serikat. Interaksi antarindividu mungkin sulit dielakkan mengingat pendukung lobi Yahudi ada di berbagai belahan dunia, apalagi di Indonesia. Hal terpenting adalah selalu menjaga kehati-hatian dalam interaksi agar tidak mudah terbeli.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Apresiasi layak kita sematkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), berbagai ormas, intelektual, dan media massa yang selama ini sangat vokal dalam menyuarakan aspirasi. Sehingga aktivisme segelintir anak bangsa yang nyaris mencederai nilai dan arah negara masih terkendali. Sejarah telah mencatatkan tinta emas bagi semua entitas tersebut dalam menjaga amanat konstitusi untuk turut melaksanakan ketertiban dunia. Wallahu a’lam. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina