Jakarta, 8 Rabiul Awwal 1436/30 Desember 2014 (MINA) – Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama Kamaruddin Amin menyatakan setuju dengan gagasan menjadikan Indonesia sebagai pusat studi Islam dunia, tetapi untuk mewujudkannya membutuhkan waktu sekitar lima sampai 10 tahun ke depan.
Menurut dia, hal itu sesungguhnya merupakan visi Ditjen Pendis dan program kerja yang disiapkan saat ini sudah mengarah ke sana.
“Itu visi Ditjen Pendis sesungguhnya dan untuk mengarah ke sana kami punya konsepnya di antaranya program 50.000 doktor, 10.000 hafidz Al-Qur`an, santri berprestasi dan sejumlah program strategis lainnya,” kata Kamaruddin dalam siaran pers Kemenag yang diterima Mi`raj Islamic News Agency (MINA), Selasa.
Tentang target implementasinya, Kamarudin mengatakan, kurang lebih diperlukan satu atau dua RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Sebelumnya, Koordinator Presidium KAHMI, Mahfud MD usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, Senin (29/12), mewacanakan akan menjadikan Indonesia sebagai pusat pemikiran Islam. Bahhkan ia menegaskan, tak perlu belajar Islam di Timur Tengah.
“Masa kita belajar Islam harus di Timur Tengah, sementara kawasan itu sendiri tidak bisa memberi, menjadi contoh yang baik, karena pertikaian, pembunuhan terjadi di sana,” kata Mahfud.
Menurut dia, Indonesia berhasil mengembangkan Islam yang lebih rasional dan moderat sehingga pemikiran Islam seharusnya bisa lebih berkembang di sini.
Terkait pernyataan itu, Kamaruddin menyebut apa yang disampaikan Mahfud MD bukan hal baru, karena Ditjen Pendis sudah merencanakannya sejak lama.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Meski demikian, Kamaruddin mengatakan, Timur Tengah masih sangat penting untuk menjadi tujuan belajar. Di samping memiliki distingsi yang dapat memperkaya khazanah keislaman Indonesia, kawasan itu juga masih menjadi simbol Islam salaf al-salih yang terlalu penting untuk diabaikan.
“Menjadikannya rujukan mutlak tidak tepat, tetapi mengabaikannya sama sekali juga tidak benar,” kata Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini.
Kamaruddin mengaku bahwa pemikiran Islam Timur Tengah juga sangat variatif, tidak selalu radikal, dan itu tergantung negaranya. Mesir misalnya, beda dengan Saudi dan juga Maroko.
“Overall, distingsi Timur Tengah adalah kekayaan materi keilmuannya. Rasanya juga naif kalau relitas sosio politik Timur Tengah yang kurang demokratis sepenuhnya dituduhkan kepada pemikiran keislamannya. Tentu faktornya sangat multidimensional,” ujarnya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Dia juga menyebutkan, pengembangan pendidikan Islam juga harus mempertahankan tradisi keagamaan pada masa Sahabat dan Tabiin sebagai rujukan nilai dalam kehidupan. “Ilmu tentang hal itu penting dan Timur Tengah kuat di bidang tersebut.” (T/P010/R01)
Mi`raj Islamic News Agency (MINA)