Jakarta, MINA – Sebuah Diskusi Publik menyebutkan, penjualan rokok batangan dekat sekolah masih bebas, iklan rokok di media sosial masih marak, dan standar kemasan rokok beserta peringatan kesehatan bergambar belum juga dijalankan. Padahal sudah dua tahun diterbittkan Undang-Undang Kesehatan 17/2023 dan setahun pasca terbitnya PP 28/2024.
Hal tersebut menjadi sorotan dalam Diskusi Publik bertajuk “Urgensi Implementasi Standardisasi Kemasan dan Peringatan Kesehatan Bergambar pada Bungkus Rokok untuk Penguatan Kesehatan Masyarakat” yang digelar Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) di Jakarta, Rabu (24/9).
Hanifah Rogayah, SKM., MPH, dari Direktorat P2PTM Kemenkes RI, memaparkan rancangan peraturan menteri yang mengatur desain kemasan rokok, mulai bentuk, warna, hingga ukuran peringatan kesehatan bergambar, saat ini masih berada di tahap harmonisasi Biro Hukum.
“Aturan ini krusial untuk menekan daya tarik produk rokok, khususnya di mata remaja,” ujarnya.
Baca Juga: Kantor Berita MINA Hadirkan Literasi Al-Aqsa dan Palestina di Indonesia International Book Fair 2025
Survei opini publik TCSC IAKMI bersama Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender (CHGL LSPR) di lima kota pada Maret 2025 menunjukkan 81,7% responden peduli terhadap bahaya merokok, dan 91% mendukung peringatan kesehatan bergambar minimal 75% dari luas bungkus. Lebih dari separuh responden mengaku desain kemasan yang menarik memengaruhi keinginan untuk merokok.
“Peringatan kesehatan bergambar sangat efektif mencegah anak dan remaja merokok pertama kali. Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda aturan ini,” tegas dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua TCSC IAKMI.
Data terbaru semakin menegaskan urgensi regulasi. Survei Kesehatan Indonesia mencatat prevalensi perokok usia 10–18 tahun kini mencapai 7,4% atau hampir 6 juta anak. Sementara itu, Global Adult Tobacco Survey (GATS) melaporkan pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas melonjak dari 0,3% pada 2011 menjadi 3,0% atau sekitar 6,6 juta orang pada 2021.
Aktivis menilai pemerintah terlalu lamban dan cenderung lebih melindungi industri tembakau ketimbang keselamatan generasi muda. “Saat pemerintah beralasan menunggu aturan teknis, industri justru semakin gencar menarget anak-anak sebagai pasar jangka panjang,” ungkap Sumarjati.
Baca Juga: Fadli Zon Kunjungi Stand MINA di IIBF 2025, Apresiasi Kepedulian pada Isu Palestina
Indonesia sebenarnya tidak sendiri. Lebih dari 20 negara sudah menerapkan kebijakan plain packaging atau standardisasi kemasan rokok. Australia menjadi negara pertama pada 2012. Hasilnya, menurut laporan Kementerian Kesehatan Australia, prevalensi merokok turun dari 15,1% pada 2010 menjadi 12,2% pada 2016.
Thailand mengikuti pada 2019 dengan aturan kemasan polos berwarna cokelat gelap yang disertai peringatan kesehatan bergambar hingga 85%. Uruguay bahkan lebih dulu sukses dengan larangan total varian merek untuk menekan ilusi pilihan di kalangan konsumen.
“Pengalaman internasional menunjukkan bahwa standardisasi kemasan bukan hanya strategi simbolik, tetapi langkah nyata yang efektif menurunkan angka perokok,” kata Sumarjati.
WHO sendiri secara konsisten merekomendasikan kemasan polos sebagai salah satu dari best buy policies untuk mengurangi prevalensi merokok.
Baca Juga: Fadli Zon: IIBF Jadi Wadah Diplomasi Budaya dan Tonggak Sejarah Baru Literasi Indonesia
Para pakar menegaskan, implementasi segera regulasi kemasan standar dan peringatan kesehatan bergambar akan menjadi langkah penting menuju Indonesia sehat dan generasi bebas nikotin. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pembukaan Indonesia International Book Fair, Literasi Jadi Pilar Pembangunan Bangsa