Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dompet Dhuafa: Akar Kemiskinan Karena Ketimpangan Ekonomi

Hasanatun Aliyah - Selasa, 28 Februari 2017 - 19:41 WIB

Selasa, 28 Februari 2017 - 19:41 WIB

1065 Views

General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa Muhammad Sabeth Abilawa.(Foto: MINA/Aliya)

General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa Muhammad Sabeth Abilawa.(Foto: MINA/Aliya)

Jakarta, 28 Februari 2017/ 30 Jumadil Awwal 1438 (MINA) – General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa Muhammad Sabeth Abilawa mengatakan, munculnya akar kemiskinan dipicu adanya ketimpangan ekonomi sosial antara rakyat desa dan kota.

Menurutnya, isu kemiskinan tidak bisa lepas dari soal ketimpangan sosial, melainkan hal itu saling berkaitan erat.

“Dalam banyak kasus, kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan distribusi ekonomi dari struktural maupun natural. Problem kesenjangan ekonomi disebabkan adanya rakyat yang tertinggal, karena inflasi di desa jauh lebih besar dibandingkan inflasi di kota. Munculnya akar kemiskinan adanya ketimpangan ekonomi yang tinggi,” ujarnya dalam Rembuk Republik yang digelar Republika bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Dompet Dhuafa bertajuk ‘Solusi Atas Masalah Ketimpangan Sosial dan Ekonomi’ di Museum Bank Indonesia, pada Selasa (28/2).

Ia mencermati, pada gilirannya akan dapat memotret seberapa adilkah “kue” perekonomian didistribusikan di antara sesama warga negara.

Baca Juga: Guru Tak Tergantikan oleh Teknologi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Tekankan Peningkatan Kompetensi dan Nilai Budaya

“Di sisi lain, melalui indikator ketimpangan inilah, kita bisa membaca seberapa efektif peran pemerintah dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada kelompok kelompok warganya dan di mana kecenderungan posisi pemerintah lebih berpihak,” katanya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat terjadi gini ratio (kesenjangan ekonomi) menurun sebesar 0,397 dibandingkan dengan Maret 2015 yang sebesar 0,408 dan gini ratio September 2015 yang sebesar 0,402. Namun gini rasio dari 0,397 pada Maret 2016 menjadi 0,394 pada September 2016.

Ia memaparkan, meski gini ratio Indonesia terbaru relatif menurun, namun tergolong masih mengkhawatirkan. Bila masih berkutat pada angka diatas 0,36 persen masih berpotensi memicu kerawanan sosial yang akhirnya dapat memunculkan gejolak sosial. Apalagi beberapa lembaga internasional menyebutkan ketimpangan Indonesia masuk dalam jajaran mengkhawatirkan dibanding negara negara lain di dunia.

“Pembacaan terhadap situasi terkini negeri kita tak boleh dilepaskan dari alat ukur yang penting ini (Gini Ratio). Tak hanya soal ekonomi tapi juga bisa ke masalah masalah sosial. Salah satu akar konflik sosial adalah kesenjangan antar kelompok masyarakat. Ini yang harus menjadi perhatian kita bersama,” paparnya.

Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa

Ia menambahkan salah satu solusinya ada pada pilihan kebijakan yang dijalankan pemerintah, utamanya kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Rembuk Republik yang digelar Republika bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Dompet Dhuafa bertajuk ‘Solusi Atas Masalah Ketimpangan Sosial dan Ekonomi’ di Museum Bank Indonesia, pada Selasa (28/2), tujuannya untuk mencari solusi ketimpangan ekonomi yang terus terjadi di Indonesia.

Dalam acara ini menghadirkan pembicara seperti Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa, Pemimpin redaksi Republika Irfan Junaidi, Direktur Eksekutif Departenen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Iindonesia (BI) Eni V Panggabean, General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa Muhammad Sabeth Abilawa, dan Ekonom UI Lana Soelistianingsih.(LlR10/P02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MINA Preneur
Indonesia
Indonesia