Jakarta, MINA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terus mendorong posisi Indonesia untuk menjadi bagian negara yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kemenkes RI dr. Elvieda Sariwati, M.Epid., mengatakan, perlunya dukungan dan keterlibatan semua pihak untuk membangun komitmen politik dan komunikasi publik dalam proses ratifikasi FCTC tersebut.
“Kementerian Kesehatan akan memfasilitasi terwujudnya regulasi pengendalian tembakau yang lebih kuat melalui aksesi FCTC,” kata Elvieda dalam Diskusi terbatas yang digelar bertajuk “Menagih Janji Ratifikasi/Aksesi FCTC,” di Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis (2/6).
Diskusi yang digelar Indonesia Institute for Social Development (IISD) ini dalam rangka menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2022.
Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi
Elvieda juga mengatakan, Kemenkes RI melaksanakan berbagai program prioritas dalam menurunkan prevalensi perokok muda dengan meningkatkan upaya promotif dan preventif, didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi.
“Kementerian Kesehatan akan terus melakukan berbagai upaya pendekatan, melalui pendidikan publik, layanan berhenti merokok, pembatasan iklan, pembatasan penjualan kepada anak di bawah umur dan mendorong peningkatan cukai,” tegasnya.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum bersedia meratifikasi maupun mengaksesi traktat internasional tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang sudah secara resmi disahkan oleh WHO sejak 2003.
Indonesia satu-satunya negara di Asia dan termasuk dari delapan negara di dunia yang belum aksesi FCTC, sederajat sama Zimbabwe, Somalia, Andorra, Liechtenstein, Monaco, Malawi, dan Eritrea.
Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi
Direktur Perdagangan, Perindustrian, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kemlu RI Antonius Yudi Triantoro, mengatakan, dalam ranah undang-undang perjanjian internasional ada dua cara untuk proses ratifikasi FTCT, yakni melalui undang-undang atau keputusan presiden.
“Jika kita bicara undang-undang harus dibawa ke DPR, tentu konsideran-konsideran politik akan lebih banyak daripada ratifikasi dilakukan melalui Kepres,” kata Yudi.
Penasehat Pengendalian Tembakau Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Dr Farrukh Qureshi, mengatakan, WHO mendorong pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC, sebagai instrumen hukum yang komprehensif untuk mengendalikan tembakau.
“Perlu tiga langkah strategis agar Indonesia dapat meratifikasi FCTC, yakni tidak hanya pendekatan secara teknis, tetapi perlu pendekatan politik dan penekanan global. Jadi ambil pasal-pasal yang menguntungkan secara politik internasional tidak hanya pada isu kesehatan saja,” ujarnya.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Masalah kesehatan dan kematian akibat rokok, menjadi perhatian serius aktivis anti rokok di Indonesia.
Pembina IISD dra. Tien Sapartinah menegaskan urgensi dan manfaat Indonesia meratifikasi FCTC. Dia mengatakan, Ratifikasi FCTC menjadi payung hukum bagi pengendalian tembakau yang mengikat Pemerintah secara keseluruhan.
Menurutnya, meratifikasi FCTC juga mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan pemenuhan hak asasi manusia masyarakat Indonesia untuk mendapatkan derajat kesehatan tertinggi.
“FCTC sebagai buah dari kesepahaman bersama bahwa tembakau yang tidak dikendalikan akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Untuk itu, IISD mendorong berbagai pihak mendesak pemerintah untuk melakukan pengendalian tembakau melalui aksesi FCTC,” pungkasnya.
Baca Juga: Meriahkan BSP, LDF Al-Kautsar Unimal Gelar Diskusi Global Leadership
Epidemi konsumsi rokok di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2018), menyatakan lebih dari sepertiga (33.8%) penduduk Indonesia adalah perokok. Remaja usia 10-18 tahun mengalami peningkatan prevalensi perokok sebesar 1,9%, dari 7,1% (2013) menjadi 9,1% (2018) dalam jangka waktu hanya lima tahun saja.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Indonesia adalah publik terakhir indutri rokok menjalankan bisnisnya akibat lemahnya kebijakan perlindungan masyarakat dari dampak buruk rokok.
Rokok merupakan faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM). Kanker, penyakit jantung dan pembulu darah, serta penyakit paru obstruktif kronis sangat berkaitan dengan perilaku merokok (Atlas Tembakau, 2020). Kebiasaan merokok di Indonesia telah membunuh setidaknya 235.000 jiwa setiap tahunnya.(L/R1/P1)
Baca Juga: Enam Relawan UAR Korwil NTT Lulus Pelatihan Water Rescue
Mi’raj News Agency (MINA)