Banda Aceh, MINA – Kurangnya ketelitian pemerintah Aceh, saat mengeluarkan kebijakan, terkait ijin Hak Guna Usaha (HGU) untuk perusahan, membuat konflik agraria antar masyarakat dan perusahaan kembali terjadi di Aceh.
Hal ini di sampaikan Nurzahri, Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, saat menerima laporan dari masyarakat Aceh tamiang, soal sengketa lahan dengan PT Rapala, Selasa (2/10).
“Kita sudah dapatkan informasi dari masyarakat, masalah ini sudah cukup lama, sejak lahan tersebut dikuasai PT Parasawita, sekarang PT Rapala,” Kata Nurzahri.
Dalam pertemuan tersebut, Nurzahri menilai, adanya ketidaktelitian saat mengeluarkan ijin, Hak Guna Usaha (HGU) dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP), oleh pemerintah Aceh kepada perusahaan, seperti PT Rapala dan sejumlah perusahaan lainya yang berkaitan dengan penggunaan lahan di Aceh.
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Dirinya menambahkan, padahal sejak 2006, pengeluaran HGU sudah menjadi kewenangan pemerintah Aceh, namun masih saja ada ketimpangan saat pengeluaran ijin tersebut.
“Pemerintah yang mengeluarkan ijin HGU itu juga punya kewajiban untuk memantau ulang, apakah di lapangan itu sudah sesuai, jika tidak bisa di evaluasi untuk di perpanjang HGU atau di Cabut ijin HGU,” Terang Nurzahri.
Untuk wilayah Aceh Tamiang, DPRA meyakini masalahnya ada di teknis lapangan, seperti pengukuran lahan. Padahal tahun 2013 ada perpanjangan HGU yang dikeluarkan pemerintah dan perpanjangan IUP di tahun 2017, “Seharusnya semua maslah sengketa selai di tahun itu, tapi buktinya kan tidak,” Katanya.
DPRA juga mendesak pemerintah Aceh, untuk segera mengevaluasi kembali HGU dan IUP yang dikeluarkan untuk sejumlah perusahaan, serta menyarankan pemerintah Aceh untuk mengeluarkan sebahagian lahan yang dikuasasi PT Rapala, karena ada kewajiban perusahaan untuk mengeluarkan lahan plasma atau areal perkebunan masyarakat dibawah pembinaan perusahaan, sebesar 20 persen.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
“Dari luas 2600 hektare, berarti ada sekitar 520 hektar yang menjadi kewajiban PT Rapala untuk dijadikan lahan plasma,” Sebut Nurzahri.
Namun demikian, DPRA tetap akan memanggil kembali Biro pemerintah Aceh, Badan Pertanahan Nasional Aceh, serta pihak perusahaan, untuk menanyakan kasus yang dialami masyarakat Aceh Tamiang.
Masalah lain yang harus jadi perhatian pemerintah adalah terkait masih adanya aliran dana desa kepada desa yang bersengketa dengan PT Rapala, namun anggaran tersebut tidak bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat.
“Karena dana desa masih terus mengalir, namun dana desa tersebut tidak dapat digunakan, sehingga serapan anggaran menjadi terganggu,semakin lama dibiarkan semakin bermasalah,” jelasnya. (L/AP/RS3)
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Mi’raj News Agency (MINA)