Banda Aceh, 10 Rajab 1438/7 April 2017 (MINA) – Setiap umat Muslim memahami dan menjadi pengetahuan atau pemahaman bersama akan kewajibannya untuk menjalankan seluruh ajaran syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam berbagai aspek kehidupannya sehari-hari, demikian DR. Jabbar Sabil, MA.
Namun demikian, katanya, yang menjadi masalah adalah ketika pengamalan ajaran Islam tersebut tidak sejalan dan berbanding lurus dengan pemahaman yang dimiliki, sehingga kurang berempati dengan penerapan syariat Islam seperti halnya yang terlihat dalam kehidupan umat di Aceh.
Demikian antara lain disampaikan Ustaz Dr Jabbar Sabil MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, beberapa waktu lalu sebagaimana keterangan pers KWPSI yang diterima MINA.
“Inilah yang menjadi masalah umat Islam hari ini sehingga tidak berempati dengan syariat Islam sepenuh hati. Itu akibat aspek kognitif yang lebih diutamakan untuk pemahaman dan pengetahuan saja, sementara aspek rekognitif untuk pengamalan sering diabaikan dan tidak menjadi perhatian untuk diprioritaskan,” ujar Ustaz Jabbar Sabil.
Baca Juga: Hikmah Kisah Maryam, Usaha Maksimal untuk Al-Aqsa
Menurutnya, perilaku umat Islam yang hanya menjadikan kewajiban agamanya sebatas pengetahuan dan hanya jadi bahan pembicaraan saja tapi minim pengamalan, ini juga mendapat peringatan keras dari Allah SWT.
Dalam Alquran Surat As-Shaff ayat 2 – 3, Allah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”
Selanjutnya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 44, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab. Apakah kamu tidak berpikir?”
“Jika kita merenungi ayat ini, sangat jelas peringatan Allah. Kenapa hari ini misalnya implementasi syariat Islam belum berjalan sesuai harapan kita bersama, kurang mendapat empati dari masyarakat muslim Aceh, masih setengah hati dan tidak serius menjalankannya, itu karena syariat Islam baru sebatas diketahui sebagai pemahaman, belum ada keyakinan sungguh-sungguh untuk mengamalkan nilai-nilai Islam dalam praktek sehari-hari,” sebutnya.
Baca Juga: Perintah Membaca Sebelum BebasKan Al-Aqsa
Bukan cuma menyampaikan pesan kebenaran, tapi juga memengaruhi orang lain untuk ikut melakukan kebenaran. “Hampir semua orang muslim Aceh tahu kebenaran Islam, tapi melakukan kebenaran dan memengaruhi orang lain untuk kebenaran masih sulit,” terangnya.
Ustaz Jabbar juga mengungkapkan, selama ini pendidikan kognitif menjadikan etika dan hukum sebagai pemahaman. Banyak orang fasih berbicara tentang syariat, kebaikan, kebenaran dan keindahan dengan rujukan otentik. Tapi ketika harus berfungsi sebagai pemain baikdi sektor publik, birokrasi atau kemasyarakatan, mereka melihat seolah tidak mengalami pembelajaran sama sekali.
Di sektor interaksi sosial, orang yang berpengetahuan agama, pengamalan dengan orang yang berpengetahuan umum hampir tidak ada bedanya. Lulusan pendidikan tinggi agama sama tidak terlatihnya dengan perguruan tinggi umum dalam hal cinta dan empati terhadap sesama.
Pendidikan kognitif dibantu dari dimensi orang ketiga, sehingga menjadikan peserta didik sebagai pengamat, bukan pelaku. Sebaliknya pendidikan rekognitif dibangun dari perspektif orang kedua. Institusi pembelajaran kognitif eksklusif di sekolah, dayah dan perguruan tinggi, sedangkan pembelajaran rekognitif adalah dalam interaksi sosial yang berlaku pada interaksi dan komunikasi, intinya dialog.
Baca Juga: Menag Bertolak ke Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H
Ustaz Jabbar menambahkan, dalam hal penerapan syariat Islam lewat qanun-qanun, cenderung dilihat media menyampaikan pesan ilahi, bukan media pembelajaran syariat secara interaktif. Akibatnya, pemerintah sebagai pelaksana berperan sebagai orang ketiga yaitu pengamat dan pengawas, bukan pelaku.
“Hubungan yang terbangun adalah relasi subjek dan objek, bukan subjek dengan subjek. Artinya, pemerintah sebagai subjek pelaksana syariat dan masyarakat sebagai objek yang dikenakan penerapan syariat. Padahal penerapan syariat Islam, tidak cukup hanya menjalankan qanun dan menghukum pelanggar, tapi juga harus menciptakan kondisi kesadaran masyarakat untuk berjalan syariat sehingga tidak terulang lagi hukuman bagi pelanggar,” jelasnya. (L/R01/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Polisi Amankan Uang Rp150 M dari Kasus Judol