Jakarta, MINA – Ahli Ekonomi Islam (Syariah) Dr. Muhammad Akhyar Adnan, MBA, CA, Ak menilai, dukungan kebijakan pemerintah terkait wisata halal sangat diperlukan, terutama karena pengembangan wisata halal diyakini bakal berpengaruh signifikan bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Wisata halal sudah sejak lama ada di Indonesia. Pengembangannya perlu dukungan kebijakan yang implementatif, terutama karena wisata halal memberi peluang besar bagi pengembangan ekonomi umat ke depan,” katanya di Jakarta, Kamis (7/10).
Akhyar mengemukakan keterangan tersebut dalam perbincangan dengan Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) Aat Surya Safaat, Sekjen Eni Heni Hermaliani, dan Wakil Ketua Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri FAI Didin Syahrudin Sukeni terkait rencana pembuatan buku wisata halal yang digagas FAI.
Anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) itu lebih lanjut mengemukakan, dukungan kebijakan yang implementatif dimaksud misalnya kemudahan akses menuju tempat wisata serta penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang memadai serta kemudahan akses permodalan bagi pengusaha yang bergerak di bidang wisata halal.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Tapi ia juga mengingatkan, dari sisi pengusaha, khususnya pengusaha menengah yang bergerak di bidang pengembangan wisata halal umumnya masih memiliki kelemahan, yakni kelemahan dalam hal legalitas dan pertanggungjawaban.
Menurut dia, prospek pengembangan wisata halal relatif cerah, karena penduduk Indonesia mayotitas Muslim, dan konsep wisata halal juga sudah bisa diterima secara internasional dengan terminologi “Moslem Friendly Tourism’”(Wisata Ramah Muslim), meski aksentuasinya baru pada tataran ”halal food” (makanan halal) dan penyediaan tempat ibadah bagi turis Muslim.
“Bagi umat Islam, dalam pemanfaatan atau pengembangan wisata halal atau wisata religi, apapun bisa dilakukan, kecuali yang bertentangan dengan akidah dan akhlak,” katanya sambil menambahkan bahwa di persyarikatan Muhammadiyah ada pedoman bahwa umat Islam harus menjauhi apa yang disebut “TBC”, yakni tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Selain itu, nilai-nilai ibadah dalam Islam harus masuk atau diterapkan dalam praktik muamalah (kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan urusan sesama umat manusia) seperti menepati janji, jujur, tetap waktu, termasuk dalam kegiatan bisnis atau perdagangan dengan relasi yang tidak seagama.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Pada bagian lain, Akhyar mengapresiasi dan memberikan dukungan bagi penulisan buku wisata halal berjudul “Tokoh Nasional Bicara Wisata Halal” yang digagas FAI serta merasa yakin buku tersebut akan memberikan pemahaman yang benar dan komprehensif tentang terminologi wisata halal di Indonesia.
“Saya juga bersyukur wisata halal sudah diterima secara internasional. Di Beijing saja sudah ada tujuh masjid besar dan kita tidak sulit mencari makanan halal di sana. Begitu juga di Australia, Amerika, dan di negara-negara Eropa kini sudah banyak tersedia tempat penjualan makanan halal dan tempat ibadah bagi turis Muslim,” kata Akhyar, salah seorang di antara sedikit ilmuwan akuntansi syariah yang ada di Indonesia.
Akhyar sendiri meraih titel S-1-nya dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1985, sedangkan gelar S-2 didapatkannya dari Department of Management, University of Wollongong, New South Wales Australia pada 1991, dan gelar S-3 diraih pada 1996 dari Department of Accounting and Finance pada universitas yang sama.(L/RS1/R1)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Mi’raj News Agency (MINA)