Jakarta, MINA – Menanggapi isu kekhawatiran akan pemenuhan hak serta kebebasan perempuan Afghanistan dalam berbagai akses di bawah pemerintahan Taliban, Duta Besar RI untuk Afghanistan Arief Rachman mengatakan saat ini Taliban masih perlu waktu.
“Pasti. Bukan ragu-ragu pasti ada perubahan dan untuk noto proses ini perlu waktu, tidak bisa semudah membalik- telapak tangan lalu terjadi. Apalagi itu kaitannya dengan syariat dan keyakinan seseorang. Kita tidak bisa memaksakan itu, tidak boleh. Kita juga harus mengerti, jika memaksakan siapa kita?” ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan Tim Ambassador Talk Kantor Berita MINA di kediamannya, Sabtu (25/9).
“Kalau dulu Taliban dipropagandakan sebagai sesuatu yang kejam dan jauh dari wanita, tentunya belum sepenuhnya seperti itu, karena memang dalam keadaan perang kita umat Islam itu selalu lebih menjaga wanita dan takut jika wanita kita terluka kemudian menjadi korban perang, yang seharusnya tidak boleh apalagi anak-anak. Nah hal itu kemudian dieksploitasi sehingga dunia yang sudah memahami pentingnya peran wanita menjadi kaget akan hal ini, padahal ada keadaan-keadaan yang mengharuskan begitu. Syariat mereka menurut mazhabnya berbeda dengan kita dan ya tadi, disesuaikan dengan keadaan,” kata Arief.
“Kalau nanti sudah aman, in shaa Allah. Saya rasa mereka punya anak perempuan yang juga butuh sekolah, mereka ingin pasien perempuan ditangani dokter perempuan, lalu dokter perempuannya dari siapa?” tegasnya.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Ia mengungkapkan, mengenai aturan-aturan tertentu bagi wanita sendiri tidak hanya terjadi di Afghanistan tetapi juga di Pakistan, Muslim di India demikian juga Saudi.
“Indonesia juga dulu seperti itu, tidak ada sekolah perempuan hingga pada akhirnya pelan-pelan orang memahami, berproses jadi tidak menimbulkan fitnah dan isu-isu negatif. Kita harus cerdas dan bisa melihat situasi-situasinya dan siapa yang berbicara. Jangan menambah kesimpang siuran apalagi tidak mau bertanya, tidak mau belajar, sehingga kita nanti menjadi penyebar fitnah juga,” tambahnya.
Arief juga mengungkapkan, Menlu Retno Marsudi dan ia menjadi yang terus menyuarakan pentingnya peran wanita dalam perdamaian. Sejak 2013 Indonesia dan Afghanistan sendiri sudah ada MoU mengenai pemberdayaan perempuan Afghanistan.
“Kalau ada yang bilang itu kan pemerintahan sebelumnya bukan Taliban. MoU ini state to state bukan hanya dengan pemerintahnya tapi untuk seluruh masyarakat Afghanistan dan apa yang kita lakukan itu menyebar dan didengar, orang Taliban juga tahu itu,” jelasnya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Sebelumnya, Departemen Pendidikan Taliban memerintahkan guru dan siswa laki-laki kembali ke sekolah menengah, tanpa memberi tahu perempuan untuk melakukan hal yang sama. Langkah itu kemudian menimbulakan kecaman internasional.
Seorang juru bicara Taliban kemudian mengatakan, perempuan akan kembali ke kelas “sesegera mungkin”.
Menanggapi hal itu, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dalam wawancaranya dengan BBC Tv juga mengatakan, perempuan Afghanistan akan “menegaskan hak-hak mereka” dari waktu ke waktu, tetapi saat ini “terlalu dini” untuk menilai kondisi di bawah pemerintahan Taliban. (L/R7/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa