Oleh : Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional, Wartawan MINA News
Pemerintah Afrika Selatan dengan berani pada tanggal 29 Desember 2023, mengajukan kasus terhadap Israel di Mahkamah Internasional (International Court Of Justice /ICJ), dengan tuduhan melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.
Mahkamah Internasional (ICJ) adalah lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, yang bertugas menyelesaikan kasus-kasus persengketaan antar-negara dan kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional.
ICJ mempunyai kewenangan (yuridiksi) untuk memutuskan perkara negara para pihak yang bersengketa dan kewenangan untuk memberikan opini kepada negara-negara yang meminta dan memberikan opini yang diminta oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.
Baca Juga: Al-Qassam Tembak Mati Tentara Zionis! Perlawanan Gaza Membara di Tengah Genosida
Putusan ICJ wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka jika ada negara tidak mematuhi keputusan, ada beberapa sanksi yang diterapkan untuk memaksa negara tersebut mematuhinya.
Ada lembaga mahkamah lainnya, yaitu Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).
ICC adalah pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen yang memiliki yurisdiksi terhadap individual yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Afsel memandang, setelah hampir tiga bulan pengeboman tanpa henti oleh Israel sejak 7 Oktober, telah menewaskan lebih dari 21.500 orang dan menyebabkan kehancuran luas di wilayah Gaza, kantong yang diblokade sejak 2007.
Baca Juga: Israel Halangi Evakuasi Jenazah di Gaza Utara
Dalam permohonannya ke Mahkamah ICC, Afsel menggambarkan tindakan Israel di Gaza sebagai “bersifat genosida karena dimaksudkan untuk menghancurkan sebagian besar kelompok nasional, ras dan etnis Palestina”.
Presiden Afsel, Cyril Ramaphosa, mengatakan kepada Parlemen bahwa pemerintahnya akan terus mendukung rakyat Palestina “yang telah mengalami pendudukan brutal apartheid selama lebih dari tujuh dekade”.
Afsel adalah pendukung setia Palestina dan telah berulang kali mengutuk Israel sejak dimulainya perang dengan Gaza pada 7 Oktober.
Setelah permohonannya ke ICJ, Presiden Afsel mengatakan bahwa negaranya berkewajiban “mencegah terjadinya genosida”.
Baca Juga: Keluarga Tahanan Israel Kecam Pemerintahnya Sendiri
Dokumen setebal 84 halaman tersebut menyatakan bahwa “tindakan dan kelalaian Israel bersifat genosida karena dimaksudkan untuk menghancurkan sebagian besar kelompok nasional, ras, dan etnis Palestina”.
Pengacara Pemerintah Afsel sedang mempersiapkan kasus ini untuk disidangkan pada 11 dan 12 Januari, kata Clayson Monyela, juru bicara Departemen Hubungan Internasional dan Kerja Sama Afrika Selatan, pada laman X.
Di pihak lain, petinggi Israel bermaksud untuk melawan kasus ini, kata Juru Bicara Pejabat Israel, Eylon Levy, “untuk menghilangkan pencemaran nama baik yang tidak masuk akal di Afsel”.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan marah menolak tuduhan Afrika Selatan ketika mengajukan gugatan, dengan mengatakan, “Tidak, Afrika Selatan, bukan kami yang melakukan genosida, melainkan Hamas.”
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang
“Mereka akan membunuh kita semua jika bisa. Sebaliknya, Tentara IDF bertindak semoral mungkin,” ujar Netanyahu.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri Israel dilaporkan telah mengeluarkan Telegram kepada misi-misi diplomatik luar negeri mereka di seluruh dunia untuk melobi negara-negara tempat mereka bertugas. Siaran telegram itu berisi instruksi penggerakan misi diplomatik guna meyakinkan negara-negara di dunia agar menolak gugatan genosida di ICJ sebelum sidang 11 Januari.
“Entitas pendudukan Israel menerapkan mode siaga diplomatik penuh setelah Afrika Selatan mengajukan kasus genosida terhadap mereka di Mahkamah Internasional awal pekan ini,” pernyataan Kemenlu Israel.
Pengajuan gugatan Afsel ke ICJ terjadi ketika Israel juga sedang menghadapi penyelidikan oleh ICJ, yang pengaduan Palestina, atas tuduhan “pendudukan berkepanjangan, pemukiman dan aneksasi di wilayah Palestina”.
Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina
Mahkamah tersebut pernah menjatuhkan putusan terhadap Israel sebelumnya, pada tahun 2004. Saat itu pengadilan memutuskan bahwa tembok pembatas yang dibangun Israel di dalam dan di sekitar Tepi Barat yang diduduki melanggar hukum internasional.
Sementara Israel sendiri mengatakan penghalang itu dibangun untuk menggagalkan bom bunuh diri dari Tepi Barat, Palestina. Dan pemerintah Israel tidak mengindahkan keputusan tersebut.
Organisasi-organisasi Yahudi di Afrika Selatan menuduh Kongres Nasional Afrika yang berkuasa berpihak pada terorisme dan antisemitisme.
Kepala rabi Afsel, Warren Goldstein, menanggapi pengajuan ke ICJ dengan menuduh pemerintah Afsel bertindak “sebagai sekutu dan wakil Iran dalam rencana negara Islam untuk menghancurkan negara Yahudi.”
Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza
Dukungan Negara Lain
Langkah pemerintah Afsel mendapat dukungan penuh dari pemerintah Malaysia, sebagai negara pertama yang mendukung Afsel.
“Malaysia menyambut baik permohonan Afsel yang mengajukan tuntutan terhadap Israel di hadapan Mahkamah Internasional,” pernyataan Kementerian Luar Negeri Malaysia pada hari Selasa, 2 Januari 2024.
“Tindakan hukum terhadap Israel di hadapan ICJ adalah langkah yang tepat waktu dan nyata menuju akuntabilitas hukum atas kekejaman Israel di Gaza dan Wilayah Pendudukan Palestina pada umumnya,” lanjut pernyataan Kemenlu Malaysia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Sebelumnya, Kuala Lumpur juga telah melarang kapal Israel berlabuh di pelabuhan negara Malaysia.
Negara kedua yang mendukung Afsel adalah pemerintah Turkiye yang juga secara resmi mendukung langkah Afsel melawan Israel di Mahkamah Internasional (ICJ).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Turkiye, Oncu Keceli mengatakan Ankara menyambut baik upaya Afsel, yang mengajukan tuntutan Israel telah melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
“Pembunuhan Israel terhadap lebih dari 22.000 warga sipil Palestina, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, di Gaza selama hampir tiga bulan tidak boleh dibiarkan begitu saja,” tegas Keceli.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
“Mereka yang bertindak atas hal ini harus bertanggung jawab di hadapan hukum internasional. Kami berharap proses ini akan diselesaikan secepat mungkin,” ujarnya.
Bolivia menjadi negara ketiga, yang mendukung langkah Afsel. Sekaligus Bolivia menjadi negara Amerika Latin pertama yang ikut mendukung tindakan hukum Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Gaza.
Kementerian Luar Negeri Bolivia mengatakan dalam sebuah pernyataan Selasa, 9 Januari 2024, pihaknya bergabung dalam kasus ini sebagai penandatangan Konvensi Genosida.
Bolivia menyebutkan alasannya sebagai bentuk “komitmen terhadap perdamaian dan keadilan”.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
“Afrika Selatan mengambil langkah bersejarah dalam membela rakyat Palestina,” tambah pernyataan Bolivia.
Sementara Kementerian Luar negeri Yordania juga mengatakan, Amman akan mendukung langkah Afrika Selatan.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) termasuk organisasi internasional yang ikut menyambut baik keputusan Afrika Selatan untuk mengajukan kasus genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
OKI yang bermarkas di Jeddah, dengan 57 negara anggota, meminta ICJ untuk merespons tindakan tersebut dengan cepat.
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
“OKI menekankan bahwa kekuatan pendudukan Israel telah melakukan genosida dengan menargetkan penduduk sipil tanpa pandang bulu, membunuh dan melukai puluhan ribu warga Palestina, memaksa mereka mengungsi, mencegah mereka memperoleh kebutuhan dasar dan bantuan kemanusiaan, serta menghancurkan bangunan, lembaga kesehatan, pendidikan dan keagamaan,” pernyataan OKI.
Adapun Indonesia, secara moral dan politis Indonesia, seperti disampaikan Pihak Kemenlu RI, mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan di Mahkamah Internasional atas dugaan genosida Israel di Gaza. Namun secara hukum Indonesia tidak bisa ikut menggugat karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida di mana Indonesia bukan Negara Pihak.
Di sisi lain, pada tanggal 30 Desember 2022, Majelis Umum PBB telah meminta saran dan pendapat (advisory opinion) Mahkamah Internasional mengenai “status dan konsekuensi hukum” pendudukan Israel terhadap Palestina.
Dalam kaitan ini, pada 19 Februari 2024 mendatang Menlu RI dijadwalkan hadir untuk menyampaikan pendapat lisan (oral statement) di depan Mahkamah Internasional guna mendorong Mahkamah memberikan advisory opinion sebagaimana diminta oleh Majelis Umum PBB.
Suara dukungan juga dinayatakan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dari Indonesia, yang menyatakan dukungannya kepada Afrika Selatan yang telah mengajukan Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas tindakan Israel melakukan genosida di Jalur Gaza, Palestina.
Siaran pers Amir Majelis Ukhuwah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Syakuri,S.H., pada Rabu, 3 Januari 2024 menyebutkan, mendukung penuh inisiatif yang brilian dan gagah berani Pemerintah Afsel tersebut serta berharap dapat segera direspons oleh ICJ untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Menurut Syakuri, Jama’ah Muslimin mendesak pemerintah Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya serta negara-negara Arab secara khusus, dan semua negara anggota OKI serta anggota PBB secara umum untuk mendukung dan mendorong Mahkamah Internasional agar secepatnya bisa mengadili Israel atas kejahatan yang dilakukannya di Palestina.
Peluang Tuntutan
Afrika Selatan, yang berjarak lebih dari 4.000 mil dari Gaza, sebenarnya tidak terkena dampak langsung serangan Israel terhadap Gaza. Afsel juga tidak mengklaim terkena dampaknya. Jadi wajar jika ada yang bertanya, bagaimana dasar hukumnya membawa kasus ini?
Langkah Afsel mengikuti contoh Gambia dalam proses hukumnya terhadap Myanmar karena melanggar Konvensi Genosida.
Pada tahun 2019, Gambia mengajukan permohonan ke ICJ terhadap Myanmar, dengan tuduhan bahwa tindakan mereka melanggar Konvensi Genosida dan meminta tindakan sementara dari ICJ.
ICJ juga pernah menerima permohonan bersama Belanda dan Kanada terhadap Suriah atas dugaan pelanggaran Konvensi Menentang Penyiksaan. Hasilnya, pada bulan November 2023, ICJ memerintahkan penetapan sementara langkah-langkah yang mengharuskan Suriah untuk mengambil semua tindakan untuk mencegah tindakan penyiksaan dan untuk menjamin pelestarian bukti.
Dalam artikel yang ditulis bersama oleh Alaa Hachem dan Oona A. Hathaway, keduanya pemerhati masalah hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional, mengatakan ICJ mengumumkan akan mengadakan dengar pendapat publik mengenai permintaan tindakan sementara pada hari Kamis dan Jumat, 11 dan 12 Januari.
Mahkamah kemudian akan memutuskan apakah akan menerapkan tindakan sementara.
Keputusan itu mungkin memakan waktu beberapa pekan atau berbulan-bulan, tulisnya, pada laman Just Security, edisi 4 Januari 2024.
Dalam kasus Gambia, misalnya, keputusan Mahkamah mengenai tindakan sementara diambil kira-kira dua bulan setelah Gambia mengajukan permohonannya, atau sekitar satu bulan setelah dengar pendapat publik.
Dalam kasus Kanada dan Belanda terhadap Suriah, keputusan Mahkamah mengenai tindakan sementara diambil lima bulan setelah permohonan diajukan, atau satu bulan setelah dengar pendapat publik.
Dalam kasus antara Ukraina dan Rusia, keputusan Pengadilan mengenai tindakan sementara diambil sekitar satu bulan setelah Ukraina mengajukan permohonan, dan sekitar dua pekan setelah dengar pendapat publik.
Dalam keputusannya mengenai tindakan sementara, Mahkamah akan menentukan apakah mereka memiliki yurisdiksi prima facia, termasuk apakah Afrika Selatan mendasarkan penerapannya pada hak dan kewajiban perjanjian yang “masuk akal,” dan apakah terdapat hubungan yang memadai antara tindakan yang diminta oleh negara-negara Selatan, dan dan hak-hak Afrika Selatan yang perlu dilindungi.
Hal ini juga akan mempertimbangkan apakah terdapat risiko kerugian yang tidak dapat diperbaiki dan situasi yang mendesak, dua kriteria yang mungkin mudah dipenuhi dalam situasi seperti ini.
Dalam mengambil keputusan, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diklaim oleh Afrika Selatan berdasarkan manfaatnya, dan yang ingin diselesaikan oleh Afrika Selatan, masuk akal.
Ada kemungkinan bahwa Pengadilan dapat mengizinkan kasus tersebut untuk dilanjutkan, dan Mahkamah setelah mengadakan dengar pendapat publik mengenai perselisihan tersebut, akan memberikan keputusan akhir mengenai apakah tindakan Israel merupakan genosida.
Permohonan Afrika Selatan bukanlah tuntutan pertama di pengadilan.
Pada pertengahan bulan November, Pusat Hak Konstitusional (CCR) juga pernah mengajukan gugatan ke pengadilan distrik AS dengan argumen serupa, tuduhan genosida Israel. Tuduhannya berargumentasi bahwa Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza dan melanggar Konvensi Genosida.
Gugatan tersebut, yang diajukan bukan terhadap Israel namun terhadap para pejabat AS, berargumentasi bahwa kegagalan Amerika Serikat dalam menerapkan pengaruhnya terhadap Israel untuk mencegah genosida merupakan kegagalan dalam mencegah genosida dan juga keterlibatan dalam genosida.
Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah deklarasi bahwa para pejabat AS telah melanggar kewajiban mereka berdasarkan hukum kebiasaan internasional untuk mencegah Israel melakukan genosida dan memberikan perintah Mahkamah agar mereka mengambil semua tindakan yang mereka mampu untuk mencegah tindakan genosida yang dilakukan Israel.
Sekalipun gugatan CCR sendiri gagal, klaim tersebut menimbulkan serangkaian pertanyaan sulit bagi pemerintah AS.
Sebagai pihak dalam Konvensi Genosida, Amerika Serikat mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan afirmatif untuk mencegah genosida.
Jika ICJ menemukan sebuah kasus prima facie yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus tersebut, hal ini dapat memaksa para pengacara di pemerintahan AS untuk mempertimbangkan legalitas, misalnya, bantuan keuangan dan militer yang sedang berlangsung kepada Israel.
Undang-undang AS yang dikenal sebagai Undang-Undang Leahy melarang bantuan militer kepada pasukan keamanan asing jika terdapat informasi yang dapat dipercaya yang melibatkan unit tersebut dalam melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Seperti yang ditulis Brian Finucane, dukungan finansial dan militer AS untuk Israel
Ada pula implikasi yang lebih luas terhadap hukum hak asasi manusia dan ICJ itu sendiri. Jika ICJ mengizinkan kasus ini berjalan sebagaimana mestinya, hal ini akan semakin memperkuat posisi erga omnes partes sebagai alat baru yang penting dalam menegakkan hukum hak asasi manusia internasional.
Apa pun pendapat orang tentang penerapan di Afrika Selatan, hal ini bisa menjadi langkah maju yang penting bagi penegakan hukum hak asasi manusia, memperkuat alat baru yang penting untuk memastikan kepatuhan yang lebih besar terhadap kewajiban perjanjian yang telah lama tidak ditegakkan.
Kita sebagai masyarakat dunia tentu berharap, Mahkamah Internasional (ICJ) dapat melaksanakan tugasnya dengan profesional, adil dan objektif untuk mengambil semua tindakan dalam mencegah tindakan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
ICJ juga kita harapkan untuk dapat memberikan sanksi sesuai kewenangannya untuk memaksa Israel mematuhi keputusannya.
Keputusan ICJ ini juga nantinya kita harapkan dapat menjadi opini yang diminta oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. Sehingga semakin mengisolasi Israel dari kancah diplomasi politik dan kemanusiaan internasional. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Penulis, Ali Farkhan Tsani, dapat dihubungi melalui WA : 0858-1712-3848 atau Email : [email protected]