Jakarta, MINA – Dalam upaya memperkuat peran agama dalam mitigasi perubahan iklim, Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama GreenFaith Indonesia menggelar diseminasi hasil advokasi lintas iman terkait pengelolaan risiko lingkungan, Kmais (20/3). Didukung oleh Pemerintah Inggris melalui Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO), acara itu menegaskan pentingnya kolaborasi lintas agama untuk mewujudkan Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Bertempat di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, acara ini dihadiri oleh tokoh agama, aktivis lingkungan, perwakilan kedutaan besar, organisasi lintas iman, serta kelompok pemuda dan disabilitas. Partisipasi luas ini mencerminkan komitmen bersama dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang kian mendesak.
Dalam sambutannya secara daring, Ari F. Adipratomo, Low Carbon Policy and Programme Advisor dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, menyampaikan apresiasi atas inisiatif tersebut. Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni, menekankan perlunya reformasi pemikiran keagamaan yang lebih pro-lingkungan.
“Isu lingkungan dan krisis iklim adalah persoalan fundamental bagi Muhammadiyah. Agama harus dipahami tidak hanya dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan alam. Sebagai khalifah di bumi, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga lingkungan,” tegasnya.
Baca Juga: AWG Sumsel Gelar Aksi Jumat Akbar Dukung Gaza
Ia juga menyoroti praktik pemborosan selama bulan Ramadan, di mana volume sampah makanan meningkat hingga 20%. “Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan kita masih rendah. Kita perlu menghidupkan kembali semangat Green Ramadan dan mengubah pola konsumsi agar lebih berkelanjutan,” tambahnya.
Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, Hening Parlan, memaparkan hasil kerja advokasi yang telah dilakukan di berbagai wilayah, termasuk Jakarta, Sawahlunto, Pekanbaru, dan Ambon, baik secara luring maupun daring.
Menurutnya, keterlibatan lintas agama berperan penting dalam membangun kesadaran kolektif mengenai kelestarian lingkungan.
“Agama bukan hanya sumber spiritual, tetapi juga penjaga moral yang mendorong tanggung jawab, kepedulian, dan keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan,” ujarnya.
Baca Juga: BAZNAS Tetapkan Zakat Fitrah Rp47.000 Per Jiwa di Jabodetabek
Hasil kerja advokasi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan lingkungan untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kelembagaan Organisasi Keagamaan dan Koalisi Lintas Iman, antara lain: mengevaluasi kebijakan yang melanggengkan kerusakan lingkungan, penguatan kebijakan dan regulasi berorientasi lingkungan, penguatan dukungan dan pendanaan program lingkungan, peningkatan kolaborasi dan koordinasi lintas sektor, penghargaan dan integrasi jaringan lintas iman, peningkatan kapasitas dan advokasi kebijakan, serta strategi komunikasi dan dukungan bagi kelompok rentan.
Kisah Perjuangan Komunitas Lintas Iman
Pendeta Jhon Victor Kainama dari Gereja Protestan Maluku (GPM) berbagi pengalaman tentang perjuangan gereja bersama masyarakat dalam melawan eksploitasi tambang di Nusa Tenggara Timur.
“Kami merasa bertanggung jawab untuk terlibat dalam aktivisme lingkungan karena ini adalah bagian dari iman dan moral kami. Kita tidak bisa hanya berdiam diri di mimbar,” ujarnya.
Senada dengan itu, Putu Ardana, tokoh adat dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Bali, mengisahkan perjuangan komunitasnya dalam melindungi hutan suci dari ancaman investasi yang merusak.
Baca Juga: Pemprov Jateng Larang Mobil Dinas untuk Mudik, Satpol PP Siap Razia
“Leluhur kami telah menetapkan bahwa hutan dan danau adalah sumber kehidupan yang tidak boleh dieksploitasi. Pesan ini tertulis dalam lontar dan diwariskan turun-temurun,” ungkapnya.
Dari perspektif kelompok disabilitas, Indah Purwanti Mugianti, Kepala Sekolah SLB Tia di Sawahlunto, menekankan pentingnya keterlibatan komunitas disabilitas dalam mitigasi perubahan iklim.
“Kami sering kali terlupakan dalam kebijakan lingkungan, padahal kelompok disabilitas adalah yang paling rentan terdampak krisis iklim,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana tuna rungu kesulitan menerima peringatan dini bencana, sehingga sistem mitigasi yang lebih inklusif sangat diperlukan.
Acara tersebut menggarisbawahi bahwa agama tidak hanya sebatas ritual, tetapi juga sumber moral yang mampu menggerakkan perubahan nyata dalam pelestarian lingkungan. Kolaborasi lintas agama yang inklusif dan berbasis gotong royong dapat menjadi kekuatan transformatif dalam menghadapi krisis iklim.
Baca Juga: Ini Lima Tuntutan Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina
Dengan semangat Memayu Hayuning Bawana—merawat keindahan dunia—Indonesia berpotensi menjadi contoh global dalam pembangunan rendah karbon. Kini, saatnya agama tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak untuk bumi yang lebih hijau dan berkelanjutan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Santri Al-Fatah di Jambi Salurkan Donasi untuk Pembangunan RSIA Gaza