Jakarta, MINA – Pakar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Firmanzah mengatakan, ketahanan pangan di tengah pandemi corona menjadi persoalan, utamanya adalah apakah pemerintah mampu menangani masalah pangan, sementara belum diketahui pasti kapan wabah Covid-19 berakhir.
“Daya beli masyarakat semakin mengalami penurunan melihat gelombang PHK, karena banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat tidak adanya pemasukan saat dilanda corona. Tentunya kondisi ini, sangat mempengaruhi ketahanan pangan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Rabu (13/5).
Firmanzah menambahkan, adanya Covid-19 ini menjadi berdampak pada ketahanan pangan dan harus segera diatasi.
“Perkembangan perekonomian Asia semakin drop, disusul pendapatan bersumber dari sektor migas semakin menurun. Seluruh negara mengalami krisis,” ucap Firmansyah.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Sehingga perlu ada pendekatan holistik antar instansi untuk menangani permasalahan ini. Seperti Kementerian, Bappenas, OJK, Mentan, Pemerintah Provinsi, Kabupaten maupun Kota.
“Perlu ada transformasi struktural, terlebih setelah Covid-19 ini berlalu,” katanya.
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Arief Satria mengatakan, meski dipastikan stok pangan masyarakat aman hingga bulan Agustus 2020 mendatang, bukan berarti penanganan panganan berhenti begitu saja.
Masalah utama saat ini adalah pendistribusian logistik yang terhambat karena kebijakan Covid-19 terkait sosial distancing, diberlakukannya PSBB, pembatasan gerak rantai pasok pertanian.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Arief menegaskan kendala tersebut menyebabkan ketidakpastian distribusi, yang mempengaruhi musim tanam petani setelah bulan Agustus. Kondisi saat ini diperlukan kebijakan logistik untuk memasok pangan kepada masyarakat.
“Kita tidak bisa lagi menggunakan desain (pasok) logistik lama, salah satunya dengan sistem blok chance melalui pengembangan teknologi 4 point 0 yang menjamin akurasi data, sehingga koneksi hulu dan hilir menjadi lebih efisien,” katanya.
Selain itu, kondisi petani juga harus diperhatikan melihat kenyataan di tengah pandemi corona ini harga jual panen mereka jatuh di pasaran. Over supplay hasil pertanian, menyebabkan penghasilan petani menurun.
Berdasarkan data dari BPS, nilai tukar petani turun dari 104 pada Bulan Januari 2020. Sementara di Bulan Maret menjadi 102, hal tersebut menurut Arief akan berdampak pada terbatasnya modal usaha berproduksi.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
“Disini peran dari pemerintah, mengeluarkan program stimulus dan relaksasi bagi petani,” tegasnya.
Program stimulus, lanjut Arief sangat penting diberikan kepada petani agar sektor pertanian tetap tumbuh dan mensejahterakan masyarakat pedesaan. Karena, hingga saat ini pertanian masih menjadi basis perekonomian pedesaan atau sekitar 73,14 persen.
“Stimulus diberikan berupa benih, pupuk harus tepat sasaran, kemudian relaksasi kebijakan terukur secara holistik agar petani tenang dalam mengahadapi oversuplay dan masalah distribusi ini. Lalu mereka juga akan tenang, ketika menghadapi musim tanam mendatang,” katanya. (R/R11/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng