EKONOMI DIAMBANG KEHANCURAN, MASIH MAMPUKAH GAZA BERTAHAN?

Warga Gaza di Khuzaah, Timur Khan Younis Jalur Gaza sedang menggali puing reruntuhan bangunan rumahnya yang hancur akibat serangan israel. Foto : mirajnews.com
Warga di Khuzaah, Timur Khan Younis sedang menggali puing reruntuhan bangunan rumahnya yang hancur akibat serangan israel. Foto : mirajnews.com

Oleh: Nur Ikhwan Abadi (Wartawan Kantor Berita Islam MINA Jalur Gaza Palestina)

Tahun 2014 bisa dikatakan sebagai tahun terburuk bagi Jalur Gaza. Bagaimana tidak, setelah di selama delapan tahun berturut-turut, ditahun itu juga Israel melakukan serangan besar-besaran untuk ketiga kalinya menghancurkan hampir semua sisi kehidupan Gaza.

Tulisan ini berbicara tentang perekonomian Gaza, yang hingga berakhirnya tahun 2014, Jalur Gaza masih dalam keadaan terblokade oleh Israel sejak 2006 lalu. Diluar tiga perang besar yang terjadi, perang itu semakin menambah krisis ekonomi hingga mengakibatkan kerusakan besar berbagai sektor kehidupan di daerah yang hanya seluas 365 meter persegi itu.

Warga Gaza mendapatkan secercah dan harapan ketika bulan April 2014 dua faksi besar di Palestina, Hamas dan Fatah menandatangani perjanjian rekonsiliasi, dimana kemudian membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional pada Juni 2014.

Angina segar rekonsiliasi ini mengakhiri tujuh tahun perpecahan yang merupakan salah satu era paling kelam dalam sejarah perjuangan Palestina. Rekonsiliasi ini memunculkan rasa optimis untuk memperbaiki perekonomian, kehidupan sosial, dari semua lapisan masyarakat Palestina terutama di Jalur Gaza.

Point terpenting yang diharapkan dari rekonsiliasi ini adalah mengakhiri blokade terhadap Jalur Gaza. Yang tak kalah penting berharap bisa mengatasai tingginya angka pengangguran, tingkat kemiskinan serta duplikasi berbagai macam peraturan, hukum dan perundang-undangan. Termasuk masalah pajak dan lainya antara Tepi Barat dan Jalur Gaza yang selama ini muncul akibat adanya dua pemerintahan.

Namun, sangat disayangkan setelah pembentukan pemerintahan persatuan nasional muncul permasalahan lain yang sebenarnya bisa diatasi jika masing-masing pihak mengutamakan kepentingan nasional Palestina diatas kepentingan kelompok.

Krisis paling mencolok ketika awal pemerintahan rekonsiliasi dibentuk adalah pembayaran gaji para staf pemerintah di Gaza. Staf yang bekerja pada pemerintahan Ismail Haniya tidak sepenuhnya dibayar, sementara staf pemerintahan yang  bekerja untuk Mahmoud Abbas dibayar.

Alasannya, pemerintahan rekonsiliasi tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarakan gaji seluruh stafnya sekaligus. Sementara Hamas mengatakan, pemerintahan rekonsiliasi tidak berkomitmen untuk membayar gaji staf pemerintahan sebelumnya. Untuk mengatasi krisis itu, Qatar sempat menawarkan bantuan. Namun Pemerintahan Netanyahu meminta bank-bank Palestina yang berada dibawah kontrol Israel untuk tidak menerima transfer dana dari Qatar tersebut.

Sementara di lapangan, krisis ini seketika melebar dan mengakibatkan penutupan bank-bank di Gaza selama beberapa hari, sebagai bentuk protes dari kebijakan yang dinilai oleh warga Gaza tidak adil, bahkan saat itu kegiatan komersial tergantung pada bank sempat terhenti.

Belum selesai krisis tersebut, sebulan kemudian Israel melancarkan serangan terhadap Gaza secara besar-besaran, bahkan terbesar dalam sejarah Palestina. Perang yang berlangsung selama 51 hari berturut-turut sejak 7 Juli 2014 hingga 26 Agustus 2014 terjadi saat situasi perekonomian dan kemanusiaan yang sedang parah, sehingga mengakibatkan bencana yang cukup besar dan belum pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

Terlebih setelah perang ketiga tersebut terjadi setelah delapan tahun pengepungan, dan merupakan ketiga dalam kurun waktu tersebut, dimana peperangan pertama kali terjadi pada 2008-2009, perang kedua 2012 yang masih menyisakan banyak kehancuran dan masih dalam masa pemulihan akibat dua perang sebelumnya.

Pada perang ketiga ini, Jalur Gaza mengalami serangan yang cukup sengit dan keras. Israel melancarakan seranga membabibutanya terhadap manusia, pepohonan, bebatuan serta membantai setiap orang tanpa pandang bulu dan hanya menyisakan Gaza menjadi penampungan puing-puing bangunan terbesar yang pernah ada. Kerusakan yang terjadi cukup fantastis, perkiraan awal kerugian seluruh sektor perekonomian Gaza mencapai 5 milyar us dollar atau 63.5 triliun rupiah lebih, selama 51 hari peperangan terjadi.

Israel melakukan penghancuran terhadap perekonomian Palestina sehingga lebih dari 500 fasilitas milik perusahaan besar dan strategis hancur. Kehancuran juga dialami lebih dari 4000 fasilitas perusahaan menengah dan kecil yang mewakili semua sektor perekonomian Jalur Gaza secara komersial, industri atau pun jasa. Akibat serangan barbar itu, kerugian ditaksir sebesar 5,4 juta us dolar sekitar 6.9 triliun rupiah atau bahkan tiga kali lebih besar dari kerugian yang dialami pada perang pertama tahun 2008-2009.

Untuk melakukan revitalisasi dan rekonstruksi sektor ekonomi diperlukan dana sebesar 1,2 milyar us dollar atau 15,3 triliun rupiah seperti yang dipresentasikan pada konferensi Negara Negara donor di Kairo Oktober 2014 lalu.

Rekonstruksi Jalur Gaza

Setelah menunggu selama 50 hari sejak disepakatinya gencatan senjata, akhirnya konferensi Negara Negara donor untuk rekonstruksi Jalur Gaza, pada 12 Oktober 2014 di Kairo yang difasilitasi Mesir pun terwujud. Otoritas Palestina kemudian mengajukan kepada Negara donor agar dana yang dihasilkan bisa digunakan untuk pemulihan nasional dan rekonstruksi terhadap Jalur Gaza.

Langkah ini diambil dengan tujuan agar dari sekedar bantuan kemanusian menjadi sebuah rencana jangka panjang rekonstruksi Jalur Gaza dengan mengedepankan empat sektor utama yaitu, sektor sosial, ekonomi, infrastruktur dan pemerintahan. Untuk keempat sektor ini Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional Palestina mengajukan dana sebesar 4 millar us dollar atau 51 triliun rupiah.

Otoritas Palestina juga meminta dana sebesar 4,5 milliar dollar untuk mendukung anggaran pemerintahan selama tiga tahun kedepan, sehingga total dana yang diajukan oleh pemerintahan pimpinan Rami Hamdalah ini menjadi 8,5 milliar dollar atau 108 triliun rupiah.

Hasil konferensi Kairo itu, maka terkumpullah “janji” dari Negara Negara donor dana sebesar 5,4 millar dollar dan pemerintahan rekonsiliasi membaginya menjadi dua bagian, setengahnya atau sekitar 2,7 milliar dollar untuk rekonstruksi jalur Gaza dan setengahnya lagi untuk mendukung anggaran Otoritas Palestina selama tiga tahun kedepan.

Namun sayangnya fakta jumlah yang disebutkan untuk rekonstruksi di Jalur gaza yaitu 2,7 milliar dollar sangat jauh untuk mencukupi untuk memulihkan Jalur Gaza dari kerusakan perang terakhir, bahkan akibat dari dua peperangan sebelumnya yaitu 2009 dan 2012 masih menyisakan kehancuran hingga saat ini.

Jumlah dana observasi hasil konferensi tersebut hanya mencukupi untuk dua sektor saja yaitu pemulihan infrastruktur perumahan dan sektor sosial, dan belum mencakup pemulihan sektor perekonomian yang telah mendapatkan dampak buruk dari blokade selama depalan tahun.

Hingga saat ini, lebih kurang empat bulan setelah disepakatinya gencatan senjata dan lebih dari dua bulan setelah konferensi donor di Kairo, muncul pertanyaan pertanyaan dasar sebagai berikut:

Pertama, kapan sebenarnya akan dimulai rekonstruksi terhadap jalur Gaza? Kedua, berapa lama waktu yang dijanjikan oleh Negara Negara donor untuk memberikan dana tersebut? Ketiga, kapan dana kompensasi untuk korban perang akan diberikan? Keempat, kapan akan diberikannya ganti rugi bagi perusahaan yang hancur selama peperangan berlangsung? Kelima, bagaimana sebenarnya mekanisme rekonstruksi dan kompensasi untuk para korban perang? Keenam, bagaimana kemungkinan warga yang rumahnya tidak hancur pada perang terakhir mendapatkan satu zak semen?

Perbatasan Karim Abu Salim

Sejak awal 2014, Israel mengumumkan menutup perlintasan Karim Abu Salim, di selatan Jalur Gaza untuk waktu yang tidak ditentukan. Setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata pada 26 Agustus 2014 lalu, diumumkan bahwa semua penyeberangan atau perlintasan yang ada di Jalur Gaza akan dibuka dan dioperasikan untuk memasukkan barang-barang kebutuhan Gaza.

Namun, fakta dilapangan setalah empat bulan gencatan senjata diumumkan, tidak ada yang berubah. Satu-satunya penyeberangan komersial yang hingga saat ini beroperasional hanya perbatasan Karim Abu Salim. Itu pun tidak ada perubahan, masih sama sebelum dan sesudah peperangan karena Israel masih membatasi jumlah truk yang berisi barang-barang kebutuhan untuk masuk ke Gaza.

Berbagai komoditas dan barang baku, mesin, terutama barang-barang kebutuhan rekonstruksi seperti, semen, besi, dan batu kerikil sangat dibatasi untuk masuk, sehingga tertundanya rekonstruksi pasca serangan terakhir Israel.

Dari pemantauan pergerakan masuknya barang-barang melalui perlintasan selama tahun 2014, tercatat 145 hari atau 40% dari jumlah hari dalam satu tahun Israel menutup perlintasan komersial yang berbatasan dengan Mesir tersebut.

Perbatasan Karim Abu Salim secara normal akan buka selama 22 hari dalam satu bulan, dimana Israel menutup perlintasan tersebut pada hari Jumat dan Sabtu setiap minggu karena hari libur resmi. Selain penutupan pada hari libur nasional Israel dan hari-hari lainnya dengan alasan keamanan yang dibuat-buat.

Dari catatan majalah ekonomi Palestina, pada tahun 2014 jumlah truk yang masuk ke Jalur Gaza melalui perlintasan Karim Abu Salim sebanyak 53.133 truk atau rata-rata 145 truk perharinya,  jika dibandingkan pada tahun 2013 sebanyak 55.833 dan 57.441 truk pada tahun 2012.

Sejumlah barang kebutuhan rekonstruksi dalam jumlah sangat terbatas yang masuk ke Jalur Gaza, tercatat hanya 18.228 ton semen, selama empat bulan setelah diumumkanya gencatan senjata. Jumlah ini hanya mencukupi kebutuhan semen di Jalur Gaza selama 2 hari saja dalam keadaan normal. Semen-semen tersebut kemudian dibagikan kepada warga yang rumahnya hancur akibat agresi Israel, namun warga masih harus membayar lagi dengan harga lebih tinggi dari biasanya.

Selain itu, Isael juga memberlakukan kebijakan blokade dengan mencegah ekspor produk–produk industri dan pertanian dari Jalur Gaza ke dunia luar, termasuk ke Tepi Barat. Pada tahun 2014 sejumlah kecil produk pertanian seperti strawberry, paprika dan tomat diizinkan Israel untuk diekspor ke pasar Eropa. Pada tahun 2014, hanya 129 truk berisi barang produksi Gaza yang diizinkan, jika dibandingkan pada tahun 2013 sebanyak 187 dan 234 truk pada 2012.

Tingkat produk yang telah dipasarkan di Tepi Barat sejak deklarasi gencatan senjata dan klaim Israel, membuka pemasaran produk pertanian dan industri Gaza untuk Tepi Barat tidak melebihi 77 truk. (K01/R02)

(bersambung……)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Abu Al Ghazi

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0