Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Redaksi Editor : Ali Farkhan Tsani - 55 detik yang lalu

55 detik yang lalu

0 Views

Tim penyelamat menyeberangi sungai melalui jembatan darurat saat pencarian korban banjir bandang dan tanah longsor di Kotapraja Mapo, Kabupaten Yuzhong, Provinsi Gansu, China, 10 Agustus 2025. (Foto: Xinhua)

Oleh Muhammad Arroyan, Pengasuh Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Fatah Pekalongan, Jawa Tengah

SETIAP kali musim hujan datang, sejumlah daerah di Indonesia kembali harus menghadapi genangan air yang meluas, bahkan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Banjir tidak lagi menjadi fenomena lokal, tetapi telah berubah menjadi persoalan nasional yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Di balik peristiwa alam ini, sesungguhnya tersimpan pesan spiritual dan pendidikan yang mendalam. Islam memandang bahwa alam adalah amanah dari Allah, dan setiap kerusakan di dalamnya merupakan cerminan dari perilaku manusia terhadap amanah itu.

Lebih dari sekadar bencana alam, banjir merupakan cermin dari relasi manusia dengan lingkungan. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rūm [30]: 41).

Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan, termasuk banjir dan longsor, bukanlah sesuatu yang muncul tanpa sebab. Ia adalah konsekuensi dari eksploitasi alam tanpa etika dan lemahnya kesadaran ekologis umat manusia.

Dalam konteks ini, pendidikan Islam memegang peranan penting. Salah satu pendekatan yang kini semakin relevan adalah ekopedagogi Islam, pendidikan ekologis berbasis nilai-nilai keislaman.

Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina, Terus Bergerak untuk Al-Aqsa dan Palestina

Konsep ini menekankan bahwa manusia tidak hanya belajar tentang alam, tetapi juga belajar dari alam. Alam bukan sekadar objek pengetahuan, melainkan subjek pendidikan yang menyampaikan pesan-pesan ketuhanan (ayat kauniyyah). Melalui interaksi dengan alam, manusia diajak memahami kebesaran Allah, menumbuhkan rasa syukur, dan mengembangkan tanggung jawab moral terhadap lingkungan.

Ketika air meluap dan menggenangi bumi, itu bukan hanya persoalan cuaca, tetapi juga tanda agar manusia merenungkan kembali gaya hidupnya. Firman Allah kembali mengingatkan:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-A‘rāf [7]: 56).

Baca Juga: Ketika Cinta Tak Lagi Bernilai: Perceraian Jadi Jalan Cepat

Ayat ini memberikan fondasi moral bagi setiap muslim agar menjaga keseimbangan alam. Merusak lingkungan berarti melanggar amanah Allah, sementara menjaga dan memperbaikinya merupakan bentuk ketaatan yang bernilai ibadah.

Fenomena banjir di berbagai wilayah Indonesia yang terus berulang setiap tahun menunjukkan bahwa aspek ekologis belum sepenuhnya terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Hutan ditebang secara masif, daerah resapan air menyempit, dan sungai-sungai menjadi tempat pembuangan limbah. Semua ini memperparah bencana yang seharusnya dapat diminimalkan. Dalam konteks pendidikan, hal ini menuntut hadirnya sistem pembelajaran yang menanamkan nilai khalifah fil-ardh, kesadaran bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi yang bertugas memelihara, bukan merusak.

Konsep khalifah ini menjadi dasar dari ekopedagogi Islam. Sebagai khalifah, manusia diberi amanah dan kemampuan untuk menjaga keseimbangan ciptaan Allah. Pendidikan Islam perlu menumbuhkan kesadaran ini melalui integrasi nilai-nilai ekologis dalam kurikulum, seperti pelajaran fikih lingkungan, tafsir tematik tentang alam, hingga praktik nyata seperti penghijauan dan pengelolaan sampah di lingkungan madrasah dan pesantren.

Kisah umat terdahulu juga menjadi refleksi berharga dalam memahami hubungan manusia dengan alam. Salah satu kisah besar yang diabadikan Al-Qur’an adalah banjir besar pada zaman Nabi Nūḥ. Kaumnya mendustakan peringatan Allah, hidup dalam kesombongan, dan mengabaikan keseimbangan moral serta spiritual. Akibatnya, Allah menurunkan azab berupa banjir besar yang menenggelamkan mereka semua.

Baca Juga: Nabi Daud Alaihi Salam, Utusan Allah dan Raja Muslim

Kisah ini bukan sekadar sejarah, tetapi peringatan moral bagi manusia masa kini. Kerusakan ekologis yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, mulai dari banjir besar, pencemaran sungai, hingga tanah longsor, mencerminkan bahwa kesombongan dan ketamakan masih menjadi penyakit sosial yang harus disembuhkan melalui pendidikan nilai dan spiritualitas.

Kesadaran Ekologis

Dalam konteks masyarakat modern, ekopedagogi Islam hadir bukan hanya untuk menambah pengetahuan tentang alam, tetapi juga untuk mengubah paradigma manusia terhadap lingkungan. Pendidikan Islam tidak boleh berhenti di ruang kelas; ia harus membentuk karakter dan kesadaran ekologis peserta didik agar mereka memiliki empati terhadap bumi yang mulai renta.

Beberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam kini mulai mengimplementasikan konsep “Green Madrasah” atau “Pesantren Ramah Lingkungan.”

Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal

Program-program seperti penghijauan, pengelolaan limbah organik, pemanfaatan air hujan, dan pelatihan konservasi menjadi langkah nyata yang menggabungkan sains dan spiritualitas. Dengan begitu, nilai-nilai keislaman tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata.

Selain itu, nilai spiritualitas juga menjadi bagian tak terpisahkan dari ekopedagogi Islam. Zikir, tafakkur, dan tadabbur terhadap ciptaan Allah adalah bentuk latihan rohani yang menumbuhkan kecintaan terhadap alam. Ketika seorang muslim menatap derasnya hujan dan merenungkan alirannya, ia diingatkan akan kebesaran Sang Pencipta. Dari tafakkur itu lahirlah kesadaran bahwa menjaga alam bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi bentuk ibadah yang bernilai pahala.

Rasulullah juga memberikan teladan dalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam. Beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi

“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengajarkan bahwa setiap tindakan kecil untuk melestarikan alam memiliki nilai spiritual yang besar. Dalam konteks banjir, menanam pohon di bantaran sungai atau menjaga kebersihan saluran air merupakan bentuk sedekah yang membawa maslahat luas.

Kondisi terkini di Indonesia menunjukkan bahwa banjir sering kali bukan semata akibat curah hujan tinggi, tetapi juga lemahnya sistem tata kelola lingkungan. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi membangun kesadaran bersama, terutama melalui jalur pendidikan. Madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi Islam dapat menjadi motor perubahan dengan menanamkan nilai-nilai ekopedagogi dalam kegiatan belajar, dakwah, dan pengabdian masyarakat.

Selain itu, aspek mitigasi dan adaptasi juga perlu diperkuat. Islam mendorong umatnya untuk berikhtiar secara ilmiah dan sistematis. Menghadapi ancaman banjir, umat Islam tidak cukup hanya berdoa, tetapi juga harus mengambil langkah preventif seperti membangun drainase berkelanjutan, melestarikan hutan, dan memperkuat literasi lingkungan.

Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an

Banjir yang melanda negeri ini seharusnya menjadi madrasah kehidupan. Ia mengajarkan kesabaran, empati, dan kesadaran bahwa manusia bergantung pada rahmat Allah. Melalui ekopedagogi Islam, generasi muda diharapkan mampu memahami bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang spiritual tempat mereka mengabdi dan belajar mengenal Sang Pencipta.

Pada akhirnya, ekopedagogi Islam mengajak kita menatap alam dengan hati yang beriman. Ketika bumi tergenang, jangan hanya dilihat sebagai musibah, tetapi juga sebagai seruan untuk memperbaiki diri. Di balik air yang meluap, tersimpan hikmah tentang kesederhanaan, keseimbangan, dan pentingnya menjaga harmoni dengan ciptaan Allah.

Banjir mengajarkan bahwa air bisa menjadi rahmat sekaligus ujian. Ia menumbuhkan solidaritas sosial di tengah kesulitan, mengingatkan kita akan batas kekuasaan manusia, dan membuka ruang refleksi untuk kembali kepada Allah.

Dari alam yang tergenang, manusia belajar tentang arti tanggung jawab, syukur, dan tawakal. Tiga nilai ini menjadi pondasi ekopedagogi Islam dalam membangun peradaban yang berkeadilan dan berkelanjutan. []

Baca Juga: Masjidil Aqsa Selalu di Hati Orang Beriman

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina

Rekomendasi untuk Anda