Jakarta, 3 Safar 1438/3 November 2016 (MINA) -Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim memaparkan, pembentukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) didasarkan atas usulan dari pemerintah adat pada 1925 untuk menghadang invansi perkebunan dan pertambangan kolonial Belanda.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah tempat Badak, Orangutan, Gajah, dan Harimau hidup bersama jutaan manusia yang bergantung pada fungsi lingkungan KEL sebagai sumber kehidupan.
Di tahun 2013, Pemerintah Aceh mengesahkan Qanun RTRWA (Rancangan Tata Ruang Wilayah Aceh) yang menghapuskan eksistensi KEL dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
“Kesepakatan bersama antara para tokoh agama, toko adat, tokoh masyarakat dan intelektual, mereka meminta pemerintah melindungi KEL, yang dinyatakan dalam deklarasi di berbagai tempat di Aceh dan Sumatra Utara.
Baca Juga: Kota Semarang Raih Juara I Anugerah Bangga Berwisata Tingkat Nasional
Kemudian, Presiden Indonesia menetapkan Peraturan Presiden No. 33 tahun 1998, memuat ketentuan KEL,” katanya saat konferensi pers dan Media Briefing di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/11).
Saat ini, tambahnya, ada 93 perusahaan di wikayah KEL menguasai 351.000 hektar lahan. Tidak dimasukkannya KEL kedalam target perlindungan merupakan bentuk pelanggengan aksi perusakan.
“Selain berdampak langsung terhadap kekayaan bio diversity di dalam dan sekitar kawasan, juga akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas lingkungan di Aceh, setidaknya degradasi kualitas 24 sungai yang menjadi sumber air bersih, irigasi, dan tatanan kehidupan rakyat Aceh,” tutupnya. (L/ima/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Banjir Rob Jakarta Utara Sebabkan 19 Perjalanan KRL Jakarta Kota-Priok Dibatalkan