Oleh: Imam Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-New York City
Sekali lagi kita dihadapkan kepada situasi yang sangat krusial. Krusial dalam berbagai dimensi; keamanan, politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya dan agama. Yaitu memanasnya isu Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kelompok-kelompok teroris lainnya di berbagai belahan dunia, khususnya di Irak dan Suriah. Di Amerika Serikat (AS) sendiri, isu ISIS hari-hari ini adalah isu yang paling panas (hot issue). Hampir semua media menjadikannya sebagai headlines, sementara para politisi di Washignton DC sibuk mendiskusikan bagaimana menghadapi “immense security threat” (ancaman besar terhadap keamanan AS) tersebut.
Sesungguhnya terorisme adalah anti klimaks dari kecenderungan atau tendensi ekstrim dalam pandangan dan sikap. Amerika sendiri berpandangan bahwa ekstremisme tidak dianggap berbahaya selama tidak mengarah kepada “violent extremism” (ekstrimisme kekerasan). Artinya selama “ekstremisme” itu masih berada pada batas-batas ekspresi opini atau sikap yang tidak mengancam dan merusak. Hal ini didasarkan kepada paham Amerika tentang “kebebasan eskspresi” yang tidak terbatas.
Masalahnya adalah sejarah mengajarkan bahwa ekstremisme akan selalu membawa kepada sikap dan prilaku yang secara sosial tidak menguntungkan. Minimal akan melahirkan sikap ekslusivisme yang sempit, tidak bersahabat, merasa benar, bahkan arogan dan menebarkan permusuhan. Ambil sebagai contoh, salah satu faksi Partai Republikan di Amerika yang dikenal dengan Tea Party.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Kelompok dalam tubuh Partai Republikan ini sebenarnya lahir sebagai anti tesis kemenangan Barack Obama yang dianggap sebagian sebagai kemenangan ultra liberal Partai Demokrat. Maka Tea Party dalam sepak terjangnya telah menimbulkan goncangan politik, yang tidak saja mempengaruhi kehidupan perpolitikan di AS, tapi menjalar kepada sisi kehidupan masyakarat lainnya, termasuk keagamaan. Tea party sangat dikenal sebagai kelompok politisi yang memiliki kecenderungan “islamophobia” yang tinggi.
Salah satu akibat negatif dari sikap ekstrim Tea Party adalah terjadinya gerakan anti Islam di mana-mana dalam beberapa masa, khususnya antara tahun 2010 hingga 2012. Beberapa proyek pembangunan Islamic Center ditentang habis-habisan oleh masyarakat, termasuk proyek Islamic Center dekat Ground Zero, karena aksi politisasi isu agama oleh Tea party ini.
Hal ini juga terjadi dalam pandangan-pandangan agama. Di mana ketika opini agama telah mencapai tingkatan ekstrim maka akan terjadi prilaku agama yang ekslusif, kurang bersahabat, bahkan arogan dan menuai permusuhan. Tumbuhnya kelompok-kelompok ekstrim, termasuk gerakan Wahabisme, di berbagai belahan dunia telah terbukti seringkali menjadi sumber retaknya persatuan umat Islam.
Beberapa faktor ekstrimisme
Ada kerancuan dalam melihat kecenderungan esktremisme selama ini. Biasanya pihak-pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap hal ini lebih terfokus kepada akibat yang ditimbulkan oleh ekstrimisme dan tidak peduli dengan penyebab atau akar dari tumbuhnya ekstremisme itu sendiri. Sehingga seringkali upaya-upaya penyelesaian itu tidak mendasar dan bahkan cenderung bersifat “pain killer” (pembunuh rasa sakit) semata. Ibarat seseorang yang kanker dan kesakitan tapi diberikan sekedar advil atau panadol untuk meringankan sakitnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Tanpa diagnosa, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ekstremisme agak berat untuk menemukan yang sesuai yang bisa membunuhnya hingga ke akar-akarnya. Berbagai obat yang ditawarkan boleh jadi hanya “pain killer” atau mungkin penenang, atau boleh jadi salah preskripsi sehingga mengakibatkan pesakit semakin menderita atau bahkan mengalami kematian.
Dalam pandangan saya ada beberapa faktor ektrimisme, khususnya ekstrimisme agama, antara lain:
Pertama: Ketidaktahuan (ignorant)
Dalam hubungan antar manusia, ketika dikaitkan dengan agama, disebut interfaith relations atau tepatnya hubungan antar pemeluk agama. Ketika hubungan antar manusia dalam satu agama, biasanya disebut intra-faith atau hubungan dengan sesama pemeluk agama yang satu. Keduanya seringkali mengalami gesekan-gesekan, yang terkadang mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pengalaman mengajarkan bahwa tumbuhnya kebencian, baik di dalam hubungan antar agama mau pun intra agama, seringkali disebabkan oleh paham ekstrim yang terbangun di atas asas ketidaktahuan. Orang-orang Islam misalnya membenci orang lain, pada umumnya karena tidak pernah belajar tentang mereka atau bahkan memang tidak tahu mereka sama sekali. Namun demikian di atas ketidaktahuan itu mereka membangun berbagai hipotesis atau asumsi-asumsi yang tidak pernah dan tidak mau diklarifikasi.
Sebagai contoh ekstrim ambillah misalnya hubungan Muslim-Yahudi. Sejak pertama kali Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam tiba di Madinah, interaksi positif antara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan komunitas Yahudi cukup harmonis. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam membangun relasi dengan mereka secara baik, baik pada tataran individu mau pun sosial. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam secara pribadi dalam sejarah diketahui pernah meminjam uang dari seorang Yahudi. Demikian pula Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam justeru mengajak komunitas Yahudi berada di garis depan ketika beliau menyusun konstitusi Madinah.
Masalahnya kemudian adalah bahwa ketika kehidupan berpolitik semakin memanas, maka sudah bisa dipastikan adanya kompetisi sosial, sehingga puncaknya masyakarat Yahudi di Madinah mengkhianati Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan mengkhianati perjanjian Madinah yang pernah mereka tandatangani. Di situlah kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengambil tindakan tegas sebagai pemimpin, di mana mereka yang berkhianat dihukum. Akan tetapi mereka yang tidak bersalah tetap menikmati hak-haknya sebagai bagian integral dari Madinah saat itu.
Sehingga jelas bahwa membangun permusuhan kepada umat Yahudi karena mereka Yahudi (sebagai komunitas agama), adalah pemahaman yang perlu dikoreksi. Hubungan menjadi bermasalah bukan karena “faktor” agama tapi justeru faktor kompetisi pengaruh (politik), dan terjadilah pelanggaran perjanjian yang telah disepakati bersama itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Betapa banyak di kalangan umat ini secara membabi buta, tanpa memilah-milah, menyimpulkan bahwa yang namanya Yahudi wajib dimusuhi, bahkan dengan memakai beberapa ayat dan hadits (nantinya akan saya jelaskan) dengan penafsiran yang tidak sama sekali peduli dengan konteks-konteks yang relevan. Bahkan banyak di antara umat ini yang mengambil kesimpulan bahwa orang-orang Yahudi itu adalah jahat, buruk, pengkhianat, dan tidak bisa sama sekali dipercaya.
Pertanyaan sederhana yang kemudian bisa disampaikan adalah pernahkah mereka bertemu, bergaul, bertatap wajah dan melihat karakter orang-orang yahudi? Mayoritas jawabannya tidak pernah karena memang di Indonesia tidak ada Yahudi, atau mininmal selama ini tidak pernah ada yang mengaku Yahudi. Tapi bagaimana dengan Yahudi di Iran, di Yaman, di Maroko, di Aljazair, di Tunis, di Turki, dan lain-lain? Ternyata mereka bergaul dengan orang-orang Islam dalam kehidupan keseharian mereka sebagai manusia secara normal.
Masalahnya, seringkali tendensi ekstremisme menjadikan manusia mengambil kesimpulan tanpa klarifikasi, dan bahayanya adalah kesimpulan itu terkadang dianggap sebuah kebenaran absolut.
Kedua: Penyesatan media
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sejak zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sesungguhnya kita sudah diingatkan bahwa media itu memiliki kekuatan dahsyat. Media mampu merubah yang putih menjadi hitam dan hitam menjadi putih. Media mampu membentuk pola pikir manusia (mindset) sesuai arah kepentingan sponsornya. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman jika orang-orang fasik datang kepadamu dengan sebuah berita maka klarifikasilah…dst).
Menurut ayat di atas, informasi yang sampai kepada manusia dan tidak diklarifikasi maka kemungkinan besar akan membawa kepada kesimpulan bodoh (jahaalah) yang justeru mengantar kepada penyesalan. Nampaknya hal ini seringkali kita temukan dalam kehidupan keseharian di mana rumor, informasi bahkan jelas-jelas fitnah, dengan mudah diambil sebagai kesimpulan dan kebenaran. Pada akhirnya terjadi berbagai masalah bahkan bencana dalam kehidupan manusia itu.
Beberapa tahun lalu ada empat orang Muslim keturunan Gayana dan Trinidad yang ditangkap di kota New York. Tuduhannya karena mereka akan membom dua buah sinagog Yahudi di daerah Riverdale, New York. Untuk menangkis tumbuhnya kesalahpahaman dan ketakutan kepada masyarakat Muslim, saya mencoba meredam (damage control) dengan mengundang seorang Rabbi Yahudi ke masjid dan melakukan konferensi bersama mengutuk rencana jahat itu.
Singkat cerita, konferensi pers itu memang dimuat oleh beberapa media, termasuk CBS. Tapi disayangkan hanya sekilas dan tidak menjadi “break in news” atau front page news di surat-surat kabar. Sebaliknya, dua hari setelah acara konferensi pers itu ada seorang Imam masjid kecil di Peshawar, Pakistan memberikan ceramah dan mendukung rencana pemboman itu. Serentak semua media memberitakan bahwa Imam dan komunitas Muslim mendukung recana pemboman sinagog Yahudi di Kota New York.
Ketidak seimbangan berita tersebut menjadikan banyak juga orang-orang Amerika yang terpengaruh, khususnya di kota New York. Diakui atau tidak, menaiknya sentiment anti Islam atau Islamophobia memang seringkali dipicu oleh pemberitaan media yang tidak imbang itu.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Di sinilah saya ingin menyampaikan bahwa memang peranan media sebenarnya sangat besar dalam membangun kecenderungan ekstrimisme di masyarakat. Dan nampaknya hal ini sangat besar dan terkadang menjadi penentu bagaimana sebuah isu dibentuk (shaped) oleh media.
Ketika serangan 9/11 terjadi, pada saat bersamaan CNN menyiarkan sekelompok orang-orang Palestina, wanita khususnya dengan jilbab, berdansa dan bergembira seolah merayakan serangan itu. Padahal ditemukan kemudian bahwa gambar itu tidak ada hubungannya dengan serangan Sebelas September. Tapi itulah media. Maka serentak di seluruh penjuru dunia, di Barat khususnya, disimpulkan bahwa orang-orang Islam berada di belakang penyerangan itu. Akibatnya serentak pula kebencian kepada Islam tiba-tiba melangit seolah tanpa batas.
Sebagai Muslim Indonesia yang berdomisili di AS, saya seringkali sedih ketika media memberitakan bahwa Muslim Indonesia tidak toleran kepada kelompok minoritas. Diberitakan bahwa gereja-gereja ditutup, dilarang didirikan, bahkan dibakar. Seringkali pula Muslim Indonesia digambarkan dengan prilaku kasar, seperti merusak toko, merampas dagangan, dan memaksa penutupan warung. Sedihnya dalam pemberitaan itu seolah-olah mereka yang melakukan itu, kalau memang terjadi, seolah-olah mewakili lebih 200 juta Muslim Indonesia.
Contoh-contoh di atas membenarkan opini saya bahwa memang media seringkali menjadi sumber ekstrimisme di masyarakat. Dalam hal ini saya katakan bahwa media seringkali menjadi sumber kesesatan ketimbang sumber informasi. Dan oleh karenanya diperlukan kejelian dalam menerima berita yang sampai kepada kita. Atau dalam bahasa Al-Qur’annya: Fatabayyanu!
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Ketiga: Generalisasi sejarah
Sesungguhnya setiap kejadian sejarah ada penyebab dan juga konteks terjadinya. Oleh karena itu, seharusnya dalam memahami sejarah, justeru tidak dijadikan sebagai basis “penghakiman” kepada sebuah realita. Artinya, sebuah sejarah itu terjadi karena ada konteks penyebab yang tidak selalu menjadi hukum umum dalam memahami sebuah masalah.
Sebagai contoh, apakah sejarah penjajahan Belanda selama beratus tahun itu lalu dijadikan hukum umum bahwa Belanda itu memang penjajah hingga sekarang? Selanjutnya apakah Belanda yang menjajah Indonesia lalu bersamanya membawa Kristiani ke Indonesia disimpulkan bahwa Belanda itu memang penjajah yang akan mengkristenkan Indonesia. Lalu kesimpulan ini dijadikan sebagai hukum umum yang akan berlaku sampai kapan pun.
Atau kita balik misalnya bahwa ketika Islam masuk ke Andalusia dengan peperangan dahsyat. Lalu apakah kejadian sejarah masuknya Islam ke Andalusia dapat dijadikan sebagai hukum umum bahwa Islam itu memang datang ke sebuah tempat dengan peperangan? Tentu tidak akan kita terima hal ini karena Islam masuk ke Indonesia tanpa peperangan dan kekerasan. Dan hingga kini Indonesia menjadi saksi hidup sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Generalisasi sejarah ini seringkali menyulut kebencian, atau minimal kecurigaan yang besar terhadap orang lain. Sekaligus menumbuhkan paham dan sikap ekstrim sebagai akibat dari kecurigaan itu. Mungkin contoh terdekat adalah serangan 9/11 yang oleh sebagian kecil orang-orang Amerika dijadikan sejarah umum bahwa kejadian itu menjadikan mereka harus berhati-hati dengan orang Islam.
Keempat: Terabaikannya keadilan
Keadilan itu identik dengan (keimanan kepada) Allah. Sehingga seolah-seolah menyiakan keadilan adalah setara dengan menyia-nyiakan Allah itu sendiri. Maka wajar saja kalau semua sifat Allah yang 99 itu memakai kata “pelaku” (subjek) kecuali keadilan yang secara langsung diidentikan bahwa Allah itu adalah “Al-Adl” (keadilan) itu sendiri.
Di sini pulalah rahasianya sehingga Tauhid itu identik dengan “keadilan” dan kesyirikan itu justeru merupakan kezaliman dan dosa terbesar: “Innas syirka lazulmun adzim”.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Para Rasul dan Nabi selain datang mengajarkan penyembahan kepada Tuhan yang Satu, juga datang untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan memerangi kezaliman. Musa ‘Alaihissalam memperjuangkan keadilan untuk Bani Israil. Isa ‘Alaihissalam juga kembali memperjuangkan keadilan untuk Bani Israil yang terjatuh dalam pengzaliman kaum Yahudi ketika itu. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga datang untuk menegakkan keadilan yang terinjak-injak di kota Mekkah dan di seluruh dunia ketika itu. Ambillah misalnya, wanita yang sama sekali tidak memiliki hak bahkan nilai sebagai manusia. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam datang untuk membawa keadilan gender tersebut.
Oleh karena itu, hilangnya keadilan dalam sebuah masyarakat akan menjadikan semua nilai-nilai ketuhanan (kebajikan) menjadi rapuh dan runtuh. Dan kalau itu terjadi maka tunggu kejatuhan kehidupan masyarakat itu sendiri, bagaiman langit yang kehilangan keseimbangan dan runtuh: was-samaa rafa’aha wawadho’al mizaan.
Di sinilah kita lihat dengan nyata bahwa ektremisme dan terorisme paling rentan terjadi di daerah-daerah atau negara-negara yang kehilangan keadilan sosialnya. Bahkan semakmur apa pun negara itu jika keadilan terabaikan, maka masyarakat akan bangkit dan melakukan perlawanan.
Tentu perlawanan tersebut bisa jadi positif, tapi sesungguhnya sesuatu yang tidak perlu terjadi. Irak misalnya, bertahun-tahun hidup dalam kegemilangan perekonomian sebagai produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Tetapi Saddam Husain yang diberikan kesempatan tersebut justeru menggunakan kegemilangan ekonomi itu untuk membangun kezaliman-kezaliman terhadap mereka yang dianggap lawan-lawan politiknya. Akhirnya kita menyaksikan apa yang terjadi.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa ekstrimisme tidak dapat dilepaskan dari hilangnya rasa keadilan dalam masyakarat. Keadilan adalah kehidupan dan kehidupan tidak dapat dibeli dengan uang. Ada penguasa yang mencoba meredam kebebasan rakyatnya dengan memberikan kompensasi keuangan yang cukup besar. Tapi sekali lagi keadilan tidak dapat sekedar diukur dengan uang atau ekonomi.
Apa yang terjadi di Timur Tengah juga demikian. Negara adidaya, Amerika Serikat, tidak diharapkan untuk memihak kepada Palestina. Tapi minimal Amerika sebagai negara adidaya dan “tuan” demokrasi dunia harus menjadi “mediator” yang adil sehingga masing-masing pihak dapat berdialog, berdiskusi, hingga suatu ketika tercapai persetujuan damai yang mengantar kepada kemerdekaan bangsa Palestina.
Jika Amerika dan Barat secara terus menerus berpihak secara sepihak maka di situlah terbuka pintu-pintu lebar ektremisme akan terjadi. Penyebabnya bukan karena mereka memang mau demikian, tapi hilangnya nilai-nilai keadilan manusia sehingga ada yang merasa terzalimi dan perlu membela diri.
Keenam: Kemiskinan
Jika keadilan itu bersifat lebih luas karena mencakup keadilan sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain, maka kemiskinan lebih spesifik lagi kepada masalah perekonomian dan pembangunan. Memang tidak mudah diabaikan dalam pembangunan. Saya merasakan ketika kecil apa dan bagaimana rasanya menjadi seseorang yang tidak berdaya dalam ekonomi. Seringkali diekspresikan dengan kemarahan dan perkelahian.
Melihat kepada kejadian-kejadian ekstrim dan teror, pada umumnya terjadi atau tepatnya dilakukan oleh orang-orang yang secara ekonomi terbelakang. Ambillah misalnya bom Bali. Pelakunya adalah anak-anak desa yang memang dikenal secara ekonomi sangat terbelakang.
Walaupun ini tentunya tidak selalu. Karena boleh sebaliknya ada yang melakukan terorisme padahal dia berkehidupan yang baik. Ambillah misalnya Osama bin Laden, Aeman Al-Zawahiri (seorang dokter dari Mesir), dan beberapa orang lainnya.
Namun demikian jika kita mengkaji lebih jauh, akan didapati bahwa mereka yang rentan terpakai untuk melakukan aksi-aksi teror adalah mereka yang mudah dijanjikan dengan janji-janji yang menghibur. Kalau bukan janji dunia maka akan dijanjikan janji akhirat. Bagi mereka, kehidupan memang tidak bermakna karena memang tidak dapat dinikmati secara materi. Untuk itu, pelariannya adalah terbuai dalam janji-janji ukhrawi tadi.
Sesungguhnya jika kita mengkaji secara jeli sekali Al-Qur’an kita akan didapati bahwa hubungan antara tendensi ekstrim dan kekerasan ini memang berkaitan erat dengan masalah ekonomi (pembangunan). Ambillah misalnya di penghujung Surah Al-Quraisy disebutkan: “Alladzi atho’amahum min juuu’in wa aamanahum min khauf”. (Dia Allah yang memberikan makan dari lapar dan memberikan aman dari rasa takut).
Ayat tersebut dengan gamblang sesungguhnya menyampaikan bahwa ketika perut kosong maka manusia boleh jadi kehilangan “sense of humanity” (rasa kemanusiaan). Ketika manusia lapar maka dorongan hewaninya menjadi sangat tinggi dan tidak terkontrol sehingga dia akan siap memangsa bahkan sesama manusia. Ibarat seekor hewan yang kelaparan akan memangsa sesama hewan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Oleh karena itu, di penghujung tahun 2000 lalu, Kofi Annan selaku Sekjen PBB saat itu, memberikan laporan akhir abad kepada pertemuan tingkat tinggi negara-negara dunia yang kira-kira berisi begini:
“Kita hanya akan bisa memasuki abad 21 dengan aman dan selamat ketika manusia terselamatkan dari dua ancaman besar: 1) ketakutan (khauf atau fear) dan 2) kebutuhan atau perekonomian (wants)”.
Kofi Annan menyadari bahwa memasuki abad ke 21 ini jika kedua hal tersebut tidak ditangani secara baik dan bijak, kebutuhan (pembangunan ekonomi) dan keamanan maka kehidupan manusia di abad 21 dengan segala kemajuan sains dan tekonologi tidak akan mendatangkan ketentraman. Sekaligus menyampaikan bahwa kaitan antara penanganan keamanan tidak bisa dilepaskan dari keseriusan menangani masalah pembangunan (perekonomian).
Maka sekali lagi, tendensi ekstrimisme tidak akan pernah secara tuntas diselesaikan jika masalah pembangunan (development) tidak tertangani secara baik. Apalagi kalau upaya penanganan itu hanya mengandalkan penyelesaian militer, justeru akan semakin membangkitkan singa yang sedang lapar.
Ketujuh: Politisasi agama
Saya tidak membicarakan masalah hubungan agama dan negara karena hal ini adalah pembahasan lain. Menjadikan agama sebagai basis politik boleh jadi menjadi bagian dari keyakinan pemeluknya untuk menjadikan agamanya sebagai pedoman hidupnya dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Hal ini tentunya merupakan hak semua orang.
Yang sebenarnya saya ingin bahas adalah ketika para politisi, tidak menjadikan agama sebagai pedoman dalam melakukan aktifitas politikanya, tapi sebaliknya menjadikan agama sebagai alat untuk mengejar kepentingan politiknya. Keduanya saya kira sangat jelas.
Orang yang menjadikan agama sebagai dasar politiknya seharusnya nilai-nilai dan ajaran agama terpatri dalam berbagai aktifitas maupun kebijakan politiknya. Tentu kejujuran, keadilan, kesantunan, kasih sayang dan cinta, serta keinginan untuk mengabdi (khidmah) kepada masyarakat akan terlihat dari I’tikad dan prilakunya.
Sebaliknya orang yang menjadikan agama sebagai obyek politik hanya akan menjadikan agama sebagai justifikasi atau pembenaran dalam mengejar kepentingan kekuasaan, walau itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama. Misalnya menebarkan fitnah dan kebohongan untuk menyerang lawan politik, dan seringkali atas nama agama, maka ini yang disebut menjadikan agama sebagai korban politik.
Saya masih teringat ketika masyarakat Muslim New York akan mendirikan Islamic Center dua blok dari Ground Zero. Proyek tersebut dimulai Desember 2009 dan tidak ada yang mempermasalahkan. Tapi ketika akan ada pemilihan gubernur New York, salah seorang calon dari Republikan menjadikannya sebagai alat kampanye. Dikampanyekan bahwa Islamic Center tersebut akan menjadi simbol kemenangan Islam atas Amerika. Tujuannya adalah membakar sentimen masyarakat New York agar marah kepada komunitas Muslim dengan harapan dia akan dilihat sebagai pahlawan.
Akibatnya 70% masyarakat New York menentang, tapi ternyata itu tidak juga ampuh untuk menjadikannya terpilih sebagai Gubernur New York. Dia hanya dipilih oleh 32% suara kalau tidak salah.
Saya melihat di mana-mana, baik di dunia Islam mau pun di non dunia Islam, seringkali isu agama menjadi santapan empuk kepentingan politik segelintir orang. Sehingga pada akhirnya prilaku yang memang hanya memakai Islam sebagai topeng itu, ketika tergelincir ikut mencemari nama Islam yang agung tersebut.
Oleh karena hal inilah yang kemudian menjadikan sebagian anggota masyarakat terpancing, dan menumbuh suburkan kecerdnrungan ekstrim. Persis ketika masyakarat New York termakan rayuan calon dari Republikan tadi. Tiba-tiba di mana-mana terjadi demonstrasi menentang proyek masjid, dan penentangan itu dilakukan atas nama agama, selain Islam.
Itulah ekstrimisme yang disebabkan oleh politisasi agama oleh sebagian politisi. Dan sekali lagi, ini terjadi di dunia Islam dan juga di non dunia Islam, termasuk AS.
Ketujuh: Interpretasi teks-teks agama
Agama adalah petunjuk dalam membangun kehidupan yang baik, tenteram dan bahagia. Tapi kerap kali kita lihat agama juga menjadi sumber kejahatan, konflik dan penderitaan. Kenapa demikian? Karena pemahaman sumber-sumber agama yang keliru, atau minimal tidak mengindahkan ikatan-ikatan konteks yang sesuai.
Sejak beberapa waktu setelah wafatnya Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wasallam kecenderungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an mau pun hadits secara tidak proporsional atau di luar konteks sudah terjadi. Dan itulah yang kemudian menimbulkan awal dari “konflik” bersejarah dalam tubuh umat ini. Mulai dari peperangan antara sahabat-sahabat Nabi, antara kelompok Ali Radhiyallahu `anhu dan Aisyah Radhiyallahu `anha, keduanya memakai dalil atau nash agama dalam menjustifikasi posisi masing-masing.
Dalam perkembangannya penafsiran-penafsiran tersebut, seiring dengan semakin sirnanya komitmen iman, seringkali terpakai justeru untuk pembenaran melakukan berbagai penyelewengan sosial, khususnya mereka yanhg berada di posisi kekuasaan.
Singkatnya, pemahaman teks-teks agama memang seringkali dan sebenarnya boleh jadi faktor yang paling berbahaya dalam menumbuhsuburkan ektrimisme. Bahayanya adalah karena pemahaman ini terkadang dianggap ‘absolut’ sehingga apa pun akan dibela bahkan dengan tetesan darah. Sebaliknya menjadi sangat mudah menuduh mereka yang berseberangan sebagai “keluar” dari rumah Islam atau kafir karena berbeda pendapat.
Saya tidak ingin memberikan contoh-contoh lagi karena semua juga sudah tahu bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an, dan tentunya lebih banyak lagi pada kitab suci yang lain, khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan relasi antara manusia, dapat disalahpahami dan menjadi sumber konflik. Tiga ayat di bawah ini misalnya di kalangan umat Islam paling sering terpakai sebagai justifikasi untuk memusuhi orang lain:
“Dan orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan pernah ridho kepadamu sehingga kamu ikut kepada agama mereka”.
“Wahai orang-orang beriman, jangan kamu jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘awliya’ (teman, pemimpin)”.
“Dan engkau akan mendapati orang-orang yang paling benci kepadamu adalah Yahudi dan orang-orang musyrik”.
Semua ayat-ayat di atas seringkali dijadikan justifikasi untuk membangun kebencian dan permusuhan kepada pihak-pihak yang disebutkan pada ayat-ayat itu. Padahal jika kita jeli dan berhati-hati akan didapati bahwa ayat-ayat tersebut memiliki makna dan konteks yang harus disesuaikan. Orang-orang Islam di India justeru tidak dibenci oleh Yahudi dan Nasrani, tapi oleh orang-orang Hindu. Muslim Burma juga bukan dibenci Yahudi dan Nasrani tapi dibenci orang-orang Budha.
Saya pernah bertemu dengan Sheikh Mustafa Ceric, Mufti Bosnia, di Kota New York dalam sebuah diskusi panel. Pada kesempatan itu ada salah seorang Imam yang membacakan ayat: “walatajidanna asyaddan naasi ‘adaawaran lal-yahudu walladzina asyraku”….Imam itu kemudian memberikan penjelasan panjang lebar bagaimana orang-orang Yahudi benci kepada Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wasallam.
Mendapat giliran berbicara, Sheikh Mustafa keberatan dengan kesimpulan Imam tadi. Beliau mengatakan bahwa bagi umat Islam Bosnia bukan Yahudi yang paling membenci kami, tapi umat Kristiani karena kami dibantai oleh Kristen Serbia. Oleh sebab itu, beliau menolak untuk menerima ayat itu hitam putih, melainkan dengan memakai kacamata konteksnya masing-masing.
Dengan demikian, pemahaman teks-teks agama secara hitam putih, tanpa menghiraukan hubungan konteks yang ada, akan membawa kepada pemahaman ekstrim yang berbahaya.
Saya akhiri coretan-coretan ini karena penguman mendarat telah disampaikan. Saya tuliskan dari ketinggian 3500 kaki dalam penerbangan dari Los Angeles menuju New York. Semoga ini memberi masukan bahwa ektrimisme itu punya akar, dan hanya akan bisa diselesaikan dengan mencabut akar-akarnya. Wallahu a’lam!
Di ketinggian langit Kota New York, 17 September 2014
(L/R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timurKota New York, Amerika Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika.