Oleh: Dr. Ir. H. Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (Lembaga PLH & SDA MUI)
Pembangunan masa depan tanpa bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara) menjadi semakin penting dan semakin layak. Pertemuan internasional dengan lebih dari 300 delegasi dari berbagai negara, agama dan profesi mengenai “Financing the Future – The Global Climate Divest-Invest Summit” telah digelar di Cape Town, Afrika Selatan pada 10-11 September 2019.
Pertemuan tingkat tinggi tersebut menyepakati dan mengajak penarikan investasi dari bahan bakar fosil (divestasi) dan memindahnya dalam investasi energi bersih untuk merespon krisis iklim dan pemerataan energi bagi seluruh masyarakat.
Pembangunan energi dunia saat ini sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan krisis iklim, namun juga menyisakan 1 miliar masyarakat dunia yang masih hidup dalam kemiskinan energi serta serta masih diperlukannya subsidi negara dan meninggalkan hutang yang semakin membengkak.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Perubahan iklim merupakan hal paling mendesak yang dihadapi manusia saat ini. Perubahan iklim telah mendorong meningkatnya ketimpangan ekonomi di dalam dan di antara negara-negara maju dan berkembang.
Pembangunan yang bertumpu pada bahan bakar fosil – batu bara, minyak dan gas – merupakan faktor penyebab perubahan iklim yang paling signifikan.
Para ahli memperkirakan kerusakan permanen iklim bumi akan tidak dapat dipulihkan lagi bila dalam jangka waktu 10 tahun ini kita tidak segera berubah menggunakan energi bersih. Untuk menjaga eksistensi dan kemakmuran umat manusia, proses transisi menuju pada penghentian penggunaan bahan bakar fosil perlu segera dimulai.
Para pemimpin agama, organisasi kemasyarakatan, ilmuwan, dan pemerintah bertemu untuk membahas bagaimana dapat membiayai dan membangun masa depan yang berkedilan bagi seluruh umat manusia dengan keluar dari investasi bahan bakar fosil ke energi bersih.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pembangunan energi bersih yang merata kepada seluruh penduduk bumi secara lebih adil dipandang sebagai jalan yang bijaksana untuk pengendalian krisis iklim serta masalah kemanusiaan ini.
Nilai agama melihat bagaimana dunia modern saat ini menuju pada tahap penghancuran diri. Agama memandang krisis lingkungan bukan hanya sebagai langkah pencegahan, tetapi juga sebagai pendekatan holistik yang memberikan pengertian pada pentingnya manusia serta seluruh penghuni bumi, termasuk bumi itu sendiri.
Faktor inti dari gerakan divestasi-investasi adalah kepemimpinan komunitas-komunitas keagamaan. Saat ini, 22 lembaga keagamaan dunia telah mengumumkan divestasi mereka dari bahan bakar fosil, bergabung dengan total global 170+ organisasi berbasis agama yang telah keluar dari investasi dari energi kotor yang merusak.
Karen Armstrong dalam bukunya “A History of God” menyebut Nabi Muhammad saw sebagai “Nabi zaman kita”. Ajaran Nabi telah memperlihatkan bagaimana bumi serta seluruh penghuninya, serangga, binatang, burung, pohon, batu, gunung, sungai, dan samudera – abadi dalam lingkup alam.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Saat ini, ketika umat manusia menghadapi ancaman krisis lingkungan, ketidakseimbangan ekologis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, dan sebagainya, kita tidak bisa lagi mengabaikan ajaran Nabi yang tertanam dalam dan luas pada perkataan dan tindakannya.
Rasulullah SAW bersabda “Orang Mukmin itu bagaikan lebah, jika ia makan sesuatu ia makan yang baik, jika ia mengeluarkan sesuatu ia keluarkan yang baik. Dan jika ia hinggap di ranting yang sudah lapukpun, ranting itu tidak dirusaknya.” (HR. Tirmizi)
Divestasi, yang sebelumnya hanya merupakan seruan moral, sekarang dipandang sebagai satu-satunya respons finansial yang bijaksana dalam menghadapi risiko iklim.
Kenyataannya investasi pada sektor industri batubara dan migas telah menurun pasar modal selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, dan berada di urutan terakhir dalam peringkat S&P pada tahun 2018. Sektor ini berkinerja buruk, fluktuatif, dan terekspos pada berbagai risiko transisi dunia menuju energi bersih.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Akibatnya divestasi aset telah melonjak dari $ 52 miliar pada tahun 2014 menjadi lebih dari $ 11 triliun saat ini. Lebih dari 1.110 lembaga kini telah berkomitmen untuk menempatkan kebijakan daftar hitam terhadap investasi batubara, minyak dan gas.
Para investor, dengan aset triliunan dolar, memiliki kekuatan dan dapat bergerak lebih cepat daripada pemerintah dalam melakukan transisi menuju dunia dengan energi bersih dan terbarukan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Para investor ini, termasuk aset organisasi keagamaan, dengan mudah memindahkan aset modalnya untuk keluar dari investasi yang mengancam kehidupan manusia untuk keluar dari ancaman iklim dan pemerataan akses energi untuk masyarakat yang berkeadilan.
Pertemuan Divestasi-Investasi Iklim Global di Cape Town telah menghasilkan beberapa langkah yakni:
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
• Memberikan cara dan sumber daya guna menyelaraskan keuangan dengan tujuan iklim.
• Mengajak komunitas global untuk meninggalkan bahan bakar fosil tetap dalam tanah.
• Menegaskan kebutuhan mendesak investasi negara-negara berkembang untuk meninggalkan pembangunan berbasis energi kotor dan menyediakan akses energi bersih.
• Menetapkan visi bagaimana pembiayaan masa depan dilakukan.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
• Memungkinkan mitra dari berbagai wilayah dan sektor untuk merencanakan aksi nyata.
Divestasi bahan bakar fosil dan investasi energi bersih lebih penting dari sebelumnya.
(AK/R01/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Sumber: energi-bersih-untuk-krisis-iklim-dan-pemerataan-energi" target="_blank" rel="noopener noreferrer">EcoMasjid