Oleh: Moehammad Amar Ma’ruf: Fungsional Diplomat Ahli Madya-Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia*
Kata energi melekat dengan kehidupan alam semesta. Alam semesta di mana manusia dan berbagai makhluk hidup lainnya tinggal, baik di darat, laut maupun udara diyakini mengandung berbagai sumber yang bisa menghasilkan suatu energi.
Energi sendiri mempunyai arti gerak/berpikir/beraktivitas. Gerak itu kemudian menghasilkan suatu produk yang menghiasi perkembangan peradaban manusia di dunia. Memahami pengertian gerak seringkali membawa manusia berpikir untuk melihat lingkungan di luar dirinya sementara manusia itu sering terlupa terhadap kekuatan yang abadi dalam dirinya di mana tubuh dan pikiran ini bisa bergerak/berfikir. Padahal dalam diri manusia diyakini terdapat sumber energi yang maha dahsyat yang membuat manusia itu dapat bergerak, yakni ruh/kehidupan yang dititipkan oleh Sang Pencipta kepada manusia dan makhluk hidup.
Pendalaman terhadap sumber gerak (energi) setidak-tidaknya dibagi ke dalam dua jenis sumber energi, yakni sumber energi metafisika dan sumber energi fisika. Sumber energi metafisika merupakan sumber energi yang ditopang oleh unsur-unsur di luar nalar manusia (dalam hal ini keimanan) sementara sumber energi fisika lebih merupakan hasil dari sebuah proses rasional manusia terhadap pemanfaatan potensi sumber daya energi yang ada (baik yang terkandung di udara, darat maupun perairan/dasar laut).
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Di awal dan akhir abad ke-21 ini, dunia semakin diwarnai bahkan dihantui oleh adanya ancaman berupa kelangkaan sumber energi. Ketergantungan hidup manusia dengan sumber energi mengalami berbagai perubahan. Di era pra sejarah, sumber-sumber energi banyak dimanfaatkan secara tradisional dengan memanfaatkan berbagai jenis bebatuan maupun tanaman yang proses pemanfaatannya bersifat terbarukan (bisa di daur ulang).
Dalam ajaran kitab suci agama samawi, disebutkan berbagai sumber energi yang bisa menghasilkan panas, api atau listrik seperti pemanfaatan buah dari Pohon Zaitun dan Arkan serta jenis-jenis tumbuhan dan batu-batuan yang ada di lingkungan sekitar di mana peradaban manusia tersebut berada.
Pemanfaatan sumber energi yang tradisional ini kemudian mengalami perubahan sejak diketemukan sumber energi uap dan pemanfaatan teknologi terapan yang membawa wajah dunia menjadi lebih revolusioner terhadap cara pemanfaatan dan cara pencarian sumber energi.
Pada waktu itu, proses pencarian dan pemanfaatan lebih cenderung untuk membongkar lahan dan mengeksplorasi lahan yang berdampak terhadap keseimbangan untuk melakukan proses daur ulang. Sehingga proses pemanfaatan sumber energi di era ini cenderung tidak bisa terbaharui (unrenewable energy). Efek dari diketemukannya sumber energi ini membawa wajah dunia dipenuhi dengan berbagai inovasi produk yang diarahkan untuk menopang dan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber energi yang tak terbarukan.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Hingga puncak dari pencarian dan pemanfaatan sumber energi tak terbarukan ini adalah diketemukan sumber/ladang-ladang minyak di berbagai belahan dunia yang menyebabkan pula adanya ekspansi/invasi berbagai kekuatan untuk mendapatkan sumber energi tersebut. Di awal abad ke-20, para ahli di bidang energi dunia mulai memprediksi bahwa sumber-sumber energi tak terbarukan ini akan mengalami stagnan dengan mempertimbangkan tidak saja faktor ketersediaan bahan baku sumber energi yang semakin terbatas melainkan pula satu dengan menurunnya kwalitas dan daya topang alam (keseimbangan alam) serta proses pencarian dan pengelolaan yang high cost dan high risk.
Sementara kekhawatiran tersebut berkembang, para pemangku kepentingan di bidang energi ini tetap mencari sumber-sumber baru bahan baku energi dengan pola yang sama hanya produk mineralnya berbeda, antara lain batu bara. Dikabarkan, bahwa pemanfaatan sumber daya mineral non minyak, seperti batu bara ini akan mengiringi pemanfaatan sumber bahan baku energi berupa minyak bumi yang telah diproses sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan produk derivatif energi dengan berbagai kwalitasnya. Situasi ini tentunya membuat miris namun dengan berbagai pertimbangan situasional (konteks konvensional) situasi ini dikabarkan akan tetap berjalan dekade-dekade ke depan.
Perkembangan tersebut tentunya, sudah semakin memerlukan solusi yang berkelanjutan agar dunia dan peradaban dunia itu sendiri tidak terganggu akibat adanya efek domino dari keterbatasan sumber energi tak terbarukan dan dengan membangun infrastruktur serta pemanfaatan dan pengembangan serta pelestarian sumber energi yang berasal dari bahan baku nabati dan kelautan serta udara atau matahari yang kesemuanya digolongkan sebagai Renewable energy.
Pada proses ini, dunia seakan-akan melakukan upaya bersama untuk melakukan persiapan untuk menghadapi iklim dunia yang mengalami perubahan (climate change) dengan berbagai program akibat adanya pemanasan global. Penyebab utamanya adalah dari perilaku/cara manusia di dalam mengelola sumber energi, khususnya keberpihakan mereka pada eksplorasi sumber energi tak terbarukan (unrenewable source of energy explorationand exploitation).
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tercatat, sejumlah pembicaraan, perundingan dan kesepakatan internasional yang terkait erat dengan isu energi dikaitkan dengan keselamatan dunia merebak dan muncul. Perundingan tersebut dibarengi dengan perundingan isu-isu yang saling terkait, baik isu yang menyangkut ancaman dan tantangan konvensional seperti perang dan konflik bersenjata maupun juga menyangkut isu-isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, arus migrasi manusia dan perdagangan barang dan jasa.
Kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim Paris yang dicapai pada tanggal 12 Desember 2015 disambut secara gegap-gempita oleh para pemimpin negara di dunia. Mereka menyebutnya sebagai kesepakatan bersejarah yang diperlukan untuk menyelamatkan bumi dari ancaman bencana perubahan iklim. Salah satu kesepakatan yang dianggap paling penting dan bersejarah adalah kesepakatan untuk menjaga ambang batas suhu bumi dibawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1.5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-Revolusi Industri.
Bila ditilik dari latar belakang munculnya kesepakatan tersebut adalah bagaimana menyelamatkan manusia yang kini jumlahnya mencapai 7,53 miliar jiwa sementara daya topang alam yang semakin terbatas, maka dunia harus melakukan sesuatu yang menyelamatkan peradaban manusia. Dalam kondisi demikian, dunia semakin terbebani dan hal ini kembali memunculkan kesadaran kolektif untuk melakukan praktik-praktik yang mendukung terciptanya keseimbangan alam dan sosial, paling tidak turut memberikan dan bersikap dan berkontribusi guna mengurangi ancaman terhadap kelestarian alam dan lingkungan yang akan berdampak pada keselamatan peradaban manusia itu sendiri.
Cara berpikir para pemangku kepentingan seperti ini yang dapat dikatakan sebagai pemikiran yang bijaksana dan bersifat holistik yang tidak hanya mementingkan segi komersialitas belaka yang dipandang akan dapat menyelamatkan dunia.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai pulau dengan berbagai jenis flora dan faunanya patut merasa berkepentingan besar dan menjadi pemain utama di dalam menyelamatkan dunia ini.
Indonesia perlu mempertontonkan (red: mencontohkan) diri sebagai negara yang menjaga kestabilan alam dan sosialnya dengan melakukan berbagai tindakan penyelamatan dan pelestarian sekaligus pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan yang memang sangat melimpah di Indonesia.
Sejak lama Indonesia menjadi target eksplorasi para pelaku usaha dibidang energi takterbarukan dengan dalih proses tesebut juga akan memberikan nilai tambah bagi pembangunan Indonesia.
Memang diakui, sumbangsih dari sektor pemanfaatan sumber bahan energi tak terbarukan ini telah menopang kehidupan sosial kemasyarakatan dari tingkat rumahan hingga nasional. Namun, ancaman yang dihadapi dunia dan juga masyarakat Indonesia, perlu segera disikapi secara bijaksana dan terarah dengan mengoptimalkan berbagai kemajuan teknologi terapan hasil karya bangsa sendiri maupun asing yang memang menuju pada keseimbangan dan diversifkasi energi yang seimbang dan berkelanjutan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Dari berbagai interaksi dengan berbagai peneliti lingkungan hidup dan kehutanan/pertanian serta maritim baik di dalam maupun luar negeri, kebutuhan pengelolaan dan pemanfaatan ini hasil-hasil hutan dan pertanian serta kelautan dan matahari perlu secara memadai dilaksanakan pada sektor kehidupan manusia. Apalagi dalam konteks negara Indonesia yang kepulauan dimana masyarakat lokal masih sangat bergantung dengan produk pertanian dan kehutanan. Pada saat yang bersamaan, kehidupan manusia Indonesia juga perlu dilindungi karena lahan mereka perkembangannya dari tahun-tahun pun mulai tergerus.
Dalam konteks ini laporan media nasional yang bersumber dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, total luas hutan Indonesia saat ini mencapai 124 juta hektar. Tapi sejak 2010 sampai 2015, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi kehilangan luas hutannya yang mencapai 684.000 hektar tiap tahunnya setelah Brasil.
Padahal, Indonesia disebut sebagai mega diverse country karena memiliki hutan terluas dengan keanekaragaman hayatinya terkaya di dunia. Sementara terkait lahan pertanian berdasarkan kutipan media nasional pada 2013 tercatat luas area pertanian yang ada di seluruh Indonesia mencapai 7,75 juta hektar. Dari jumlah ini terjadi penyusutan antara 150.000 hingga 200.000 hektar setiap tahun sehingga area pertanian berpotensi habis dalam 38 tahun.
Sementara dari berbagai hasil penelitian dan uji coba serta peluncuran program pemberdayaan hasil kehutanan dan pertanian sebagai sumber energi terbarukan ini sangatlah menggembirakan. Baru-baru lalu, KLH&Kehutanan meluncurkan Program Sumber Energi yang bersifat Regional dibawah Program Desa Mandiri Berbasis Aren.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Mengingat dari Aren ini bisa dihasilkan sumber energi bio (bio energi seperti Bio etanol) dan berbagai kebutuhan pangan dan papan yang sangat bermanfaat bagi kegiatan sehari-hari masyarakat di kawasan. Capaian ini merupakan salah satu dari produk penelitian anak bangsa yang patut dikembangkan berdampingan dengan sumber-sumber energi ramah lingkungan dan banyak tumbuh di Indonesia.
Seiring dengan pengembangan jenis ini, jenis produk hutan dan pertanian nonkayu juga seyogyanya didorong karunia untuk Indonesia ini tidak sia-sia. Ini pun bisa menjadi suatu model kerja sama di bidang energi terbarukan ke depan. Perkembangan ini pun sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia di hadapan peserta/delegasi World Parliamentarian Forum on Sustainable Development/WPFSDG ke-2 di Bali beberapa waktu lalu.
Keberhasilan ini pun telah mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan salah satu negara, antara lain negara yang berada di Afrika, yakni Senegal untuk belajar memanfaatkan hasil hutan ini. Begitupun dari hasil peneliltian dan produk pertanian dan perkebunan, antara lain Sawit, Jagung, pohon Jarak dan lainnya yang benar-benar memberikan arti dan nilai tambah bagi kwalitas alam dan sosial kemasyarakatannya.
Dari hasil pengelolaan produk kehutanan dan pertanian ini pun telah memberikan pilihan yang baik di dalam memasyarakatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan di masyarakat indonesia. Bagitupun hasil laut danudara Indonesia termasuk matahari, Indonesia merupakan negara yang layak menjadi terdepan di dalam menggunakan sumber-sumber energi terbarukan ini.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Perkembangan seperti inilah yang perlu terus didorong dan dimasyarakatkan pemanfaatannya sehingga memberikan nilai tambah yang lebih nyata bagi Indonesia. Perkembangan ini pun layak dipomosikan di lingkup bilateral, regional maupun internasionalsebagai upaya menggerakkan dunia menjadi dunia yang ramah energinya. Promosi itu sendiri diarahkan sebagai suatu apresiasi dan tindak nyata keberpihakan pemangku kepentingan Indonesia di dalam mewujudkan dunia baru yang terancam oleh krisis sumber energi.
Tentunya adanya keprihatinan bersama negara-negara dunia terhadap ancaman krisis energi menjadi suatu hikmah dan rahmat bagi Indonesia untuk terus berkiprah di lingkup nasional, regional maupun internasional dengan mempelopori pemanfaatan energi terbarukan ini. Indonesia perlu mengkampanyekan sikap optimisme di dalam programdiversifikasi sumber energi ini secara bijaksana dan terarah.
Sementara Indonesia dan juga dunia melakukan pendampingan dan pengembangan serta pengelolaan sumber energiterbarukan ini, maka energi ini akan mengiiring secara perlahan tapi pasti hingga pada waktunya dapat menggantikan energi yang konvensional. Semoga hal ini bisa terwujud dengan suatu keinginan kuat pihak-pihak terkait tentunya. Wallahu’alam bi showab.(AK/R01/RI-1)
*Penulis juga merupakan Alumni Angkatan II Program Studi Kajian Timur Tengah Islam-Universitas Indonesia
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mi’raj News Agency (MINA)