Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Energi Puasa Memberantas Korupsi, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur  

Widi Kusnadi - Selasa, 13 April 2021 - 08:50 WIB

Selasa, 13 April 2021 - 08:50 WIB

0 Views

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah[2]: 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ /البقرة[٢]: ١٨٣

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Secara dimensional, Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsir “Al-Maraghi” mengkategorikan semua jenis ibadah yang disyariatkan menjadi dua, yaitu ibadah hissiyah (fisik) dan maknawiyah (nilai). Hissiyah artinya bentuk ibadah dhahir, yang bisa dilihat dan didengar dengan penglihatan dan pendengaran manusia. Sedangkan maknawiyah adalah nilai-nilai yang terkandung dari ibadah hissiyah tersebut.

Baca Juga: Sebanyak 1.562 Peserta Lulus Uji Kompetensi Calon Mahasiswa Al Azhar Mesir

Dalam konteks puasa, dimensi hissiyahnya adalah menahan diri untuk tidak makan, minum dan sex intercourse, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sedangkan secara maknawiyah adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membuat Allah murka, meskipun pada dasarnya, amalan itu diperbolehkan.

Dimensi Maknawiyah Puasa Ramadhan

Dalam melaksanakan ibadah puasa, seseorang hendaknya melaksanakan puasa tidak hanya dalam tataran hissiyah, tetapi juga secara maknawiyah. Puasa tidak hanya mengajarkan untuk menahan diri dari pemenuhan kebutuhan dan jasmani dan nafsu belaka, tetapi lebih dari itu, orientasinya adalah agar Allah Sang Pencipta ridha kepada dirinya, dengan ibadah puasa yang ia lakukan.

Puasa dalam dimensi maknawiyah adalah ketika seseorang merasa segala sesuatu yang ia kerjakan berada dalam pengawasan penuh, dimonitor, disaksikan dan akan dipertanggungjawabkan kepada Zat Yang Menciptakannya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan hanya amal perbuatannya saja yang diawasi, tetapi juga jalan pikiran, dan hatinya, baik pada saat sedang sendirian, maupun ketika bersama-sama. Pengawasan dan pertanggungjawaban itu bukan bagi para pejabat saja, tetapi juga para pedagang, pekerja, dan seluruh manusia.

Baca Juga: Prof Asrorun Niam: Tujuan Fatwa untuk Kemaslahatan Hakiki

Maka, bentuk ketaqwaan sebagai hasil dari ibadah puasa itu ditunjukkan dengan  sifat jujur, disiplin, peka terhadap penderitaan sesama, serta tidak berlebihan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Sifat-sifat yang tertanam sebagai buah dari ibadah puasa itulah yang mampu memberantas perilaku korupsi, curang, culas, mengambil keuntungan untuk diri sendiri, keluarga atau kelompoknya, dan sifat sifat tercela lainnya.

Rangkaian perintah puasa dalam surah Al-Baqarah di atas disambung dengan ayat berikutnya, yakni tentang larangan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil (salah). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ،… /البقرة [٢]: ١٨٨

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil,… (QS. Al-Baqarah[2]: 188)”.

Baca Juga: KH Afifuddin Muhajir: Fatwa Dibutuhkan Sepanjang Zaman

Al-Maraghi menjelaskan, apabila seseorang memakan harta orang lain secara bathil, itu sama saja dengan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa sehingga yang terjadi adalah saling melakukan kedzaliman antara satu orang/kelompok dengan kelompok lainnya. Tidak menutup kemungkinan, korban berikutnya adalah dirinya sendiri, orang yang pertama melakukan kedzaliman tadi. Al-Maraghi menyimpulkan, menghormati harta orang lain berarti menghormati hartanya sendiri, dan sewenang-wenang terhadap harta orang lain, berarti melakukan kejahatan kepada seluruh umat.

Perilaku memakan harta dengan jalan yang bathil termasuk korupsi, termasuk di dalamnya menyalahgunakan kewenangan atas jabatan yang diemban untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, atau membiarkan anak buahnya melakukan tindakan korupsi, itu juga termasuk tindakan bathil. Begitupun halnya ketika mengetahui hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, tetapi mencari celah untuk melakukannya melalui pembuatan peraturan-peraturan dan undang-undang seperti lazimnya dilakukan oleh koruptor.

Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia

Penelitian yang dilakukan Transparency Internasional Indonesia (TII) mengungkapkan, pada tahun 2020 lalu, Indonesia memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan skor 37, atau rangking 120 dari 180 negara yang disurvey (lebih rendah dari Timor Leste (40)). Skor tertinggi (88) adalah negara Denmark dan Selandia Baru, diikuti oleh Singapura dan Finlandia dengan skor 85.

Baca Juga: Pelatihan UMKM di Jakarta Diharap Lahirkan Muzaki Baru

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat kelima, di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).

Padahal, mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam yang memiliki perangkat syariat sempurna untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera dan melarang segala bentuk kedzaliman. Dasar negara kita adalah Pancasila yang diawali dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Masa Esa dan diakhiri dengan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Indonesia  juga dikaruniai modal tidak hanya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) berlimpah, tetapi juga sumber daya budaya, sejarah, dan  semangat rakyatnya yang pantang menyerah untuk bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan dan kezaliman.

Namun, mengapa IPK Indonesia begitu rendah, padahal modal yang kita miliki sangat berlimpah? Jawabannya dalam prespektif penulis adalah, Bangsa Indonesia belum megoptimalkan potensi yang dimiliki secara sempurna. Umat Islam di Indonesia belum mengamalkan syariat agamanya secara sempurna sehingga belum mendapat hasil maksimal. Dengan kata lain, ibarat seorang pedagang, meski modal yang dimiliki sangat besar, namun jika tidak bisa mengaturnya, maka usahanya tidak bisa berkembang, akan mengalami kerugian, bahkan bisa mengalami kebangkrutan.

Baca Juga: BMKG: Beberapa Wilayah Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat, Sepekan Mendatang

Masih Ada Kesempatan untuk Menjadi Lebih Baik

Terlepas dari realita di atas, tidak ada kata pesimis bagi bangsa Indonesia untuk dapat merealisasikan cita-citanya sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Masih ada dan selalu ada harapan untuk terus maju membuat perubahan menuju kebaikan dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hadirnya bulan Ramadhan dengan syariat puasa di dalamnya adalah kesempatan yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang beriman agar dapat menggapai taqwa yang sebenarnya, dengan mengendalikan diri dari sikap tercela, termasuk korupsi dan memperbaiki sikap dan perilaku guna meraih keselamatan dunia akhirat.

Dengan ibadah puasa Ramadhan itu, kiranya umat Islam dapat menghayati ibadah tersebut dalam dimensi maknawiyah sehingga tidak termasuk dalam apa yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam: “Banyak yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan dari puasanya, kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.” (HR Thabrani).

Baca Juga: Buka Pendaftaran Santri Baru, Shuffah Hizbullah Samarinda Fokus Kaji Kitab Kuning

Wallahu a’alam bis Shawab

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan

(A/P2/R1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Temanggung Jateng Optimis Turunkan Angka Kemiskinan

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Feature
Tausiyah
Indonesia