Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Etnis Cina di AS Ingatkan Trump Ulang Kesalahan Sejarah

Rudi Hendrik - Ahad, 5 Februari 2017 - 08:50 WIB

Ahad, 5 Februari 2017 - 08:50 WIB

706 Views

Karikatur pemerintah Amerika Serikat anti-Cina. (Gambar: Tumblr.com)

ANTI-CINA-2.jpg" alt="" width="500" height="282" /> Karikatur Pemerintah Amerika Serikat anti-Cina. (Gambar: Tumblr.com)

 

Dalam Perjanjian Scott tahun 1888, Pemerintah Amerika Serikat (AS) melarang warga etnis Cina ada di negara itu. Padahal sebagian di antaranya memiliki izin tinggal dan telah tinggal dan bekerja di negara tersebut selama bertahun-tahun.

Perjanjian tersebut mempengaruhi 20.000 warga AS asal Cina.

Larangan itu dicabut setelah lebih dari enam dekade kemudian, pada Desember 1943.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Bagi sebagian komunitas Amerika-Cina, perintah eksekutif Presiden Donald Trump yang melarang warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk masuk ke AS adalah mengulang sejarah.

Mengingat bagaimana kedatangan awal mereka yang menjadi sasaran kebijakan imigrasi yang diskriminatif, sebagian orang Amerika-Cina mengomentari perintah eksekutif Trump, dengan memperingatkan Washington atas pengulangan kesalahan yang dibuat lebih dari satu abad yang lalu.

“Kami melihat kembali larangan Trump ini sebagai bab memalukan dari sejarah AS,” kata Bill Ong Hing, profesor hukum di Universitas San Francisco yang telah bekerja untuk membela kebebasan sipil Amerika.

Profesor Hing menjelaskan bahwa beberapa organisasi hukum yang bekerja membela etnis Asia di AS turut berpartisipasi dalam perang nasional melawan pesanan Presiden Trump.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Bagi banyak orang dalam masyarakat Amerika-Cina, larangan Trump terasa terlalu akrab.

Gordon H Chang, seorang profesor sejarah di Universitas Stanford AS yang mengkhususkan diri menekuni sejariah orang Asia-Amerika, mengatakan, dulu ada beberapa ratus orang Cina di pelabuhan San Francisco yang dicegah mendarat karena perjanjian itu, mirip dengan orang-orang di bandara AS beberapa hari saat Trump memberlakukan larangannya terhadap warga Muslim yang ingin masuk ke AS.

Menurut Chang, Perjanjian Scott bertujuan untuk menghentikan imigran Cina yang saat itu dianggap komunitas penuh masalah, susah diatur, penjajah besar dari Dinasti Qing Cina.

Sejarawan mengatakan, Cina saat itu dikambinghitamkan oleh pemerintah AS saat negara itu dilanda kesengsaraan ekonomi, padahal kondisi tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan imigran asal Cina.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Di permukaan, UU Pelarangan Cina pada 1882 dan Perjanjian Scott 1888 memiliki efek drastis menurunkan angka jumlah masyarakat Amerika-Cina.

“Jelas, ini mempengaruhi ukuran masyarakat, di mana mereka tinggal – di ghetto atau Pecinan – baik rasio jenis kelamin dan status sosial ekonomi,” kata Profesor Hing dan menambahkan bahwa dalam menanggapi diskriminasi itu, banyak orang Amerika-Cina menyentralkan diri ke Pecinan.

ANTI-CINA.jpg" alt="" width="610" height="396" /> Karikatur Amerika Serikat anti imigran asala Cina. (Gambar: dok. Iexaminer.org)

 

Hari ini, Pecinan dipandang sebagai tempat hiburan, tempat warga Amerika-Cina berbelanja untuk bahan makanan, menjual makanan dan pernak-pernik untuk orang luar. Tapi secara historis, ini adalah ghetto bagi Amerika-Cina untuk mencari dukungan masyarakat dalam melawan hukum yang diskriminatif dan kejahatan kebencian yang merajalela terhadap mereka.

Baca Juga: Trump: Rakyat Suriah Harus Atur Urusan Sendiri

Fenomena Cinatown masih berlangsung hingga saat ini. Banyak orang Amerika asal Cina terjebak dalam kemiskinan generasi di Pecinan yang menjadi wajah khas dalam komunitas itu.

Sue Lee, direktur eksekutif lembaga Sejarah Msyarakat Cina Amerika menjelaskan, setelah pencabutan UU anti-Cina pada Desember 1943, Cina justeru dijadikan sekutu oleh AS saat melawan Jepang selama Perang Dunia II hanya karena kesamaan diplomatik.

“Ini politik yang tidak pantas untuk membatasi warga sekutu,” kata Lee. “Ini terjadi lagi.”

Menurutnya ada pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman warga Cina-Amerika.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Menurut Profesor Chang, orang-orang dari tujuh negara yang diidentifikasi oleh Trump murni sedang dikambinghitamkan menjadi kaki tangan prasangka publik.

Lee sepakat bahwa sejarah pelarangan terhadap imigran asal Cina adalah pelajaran untuk hari ini, saat presiden pengganti Barack Obama itu melarang imigran atau turis dari tujuh negara, yaitu Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.

Cinatown cepat terbangun di Los Angeles ketika komunitas imigran Cina tiba pada pertengahan 1800-an untuk membantu membangun infrastruktur transportasi AS.

Cinatown menjadi semarak di hari kedua Festival Musim Semi atau Tahun Baru Imlek, ketika banyak masyarakat Cina internasional berkumpul bersama keluarganya untuk perayaan.

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Presiden Trump pada hari Jumat, 27 Januari 2017 menandatangani sebuah perintah eksekutif yang melarang orang dari tujuh negara Muslim, selama minimal 90 hari, untuk memasuki Amerika Serikat.

Sementara dalam sejarah negara itu, UU Pelarangan Cina awalnya ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Chester A. Arthur pada tahun 1882 untuk 10 tahun. Kemudian pada tahun 1892, UU diperpanjang selama satu dekade lagi. Akhirnya, pada tahun 1902 diperpanjang tanpa batas.

Karenanya, Lee mengingatkan bahwa perintah eksekutif Trump bisa saja diperluas dan diperpanjang, merujuk pada sejarah UU Pelarangan Cina.

Sejarah perlawanan

Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan

Pelajaran lain adalah bahwa ketahanan warga Amerika-Cina menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang dalam masyarakat Amerika-Cina untuk melawan UU Pelarangan Cina dan serangkaian langkah-langkahnya, seperti Perjanjian Scott yang juga bertujuan untuk mengusir seluruh etnis itu dari AS.

Salah satu pasal UU itu memerintahkan orang Cina harus membawa foto identitas mereka setiap saat.

“Perjanjian Geary 1892 mewajibkan orang Cina di AS untuk membawa sertifikat identifikasi foto mereka setiap saat atau menghadapi deportasi,” kata Profesor Chang. “Puluhan ribu orang Cina menolak untuk mematuhi aturan itu dengan menolak mendaftar.”

Sementara itu Lee menjelaskan, cara lain warga Amerika-Cina menolak adalah dengan sistem permainan.

Baca Juga: Parlemen Brasil Keluarkan Laporan Dokumentasi Genosida di Gaza

Setelah gempa bumi besar melanda San Francisco pada tahun 1906 yang menyebabkan kebakaran sehingga menghancurkan dokumen publik, banyak orang Cina datang ke AS mengaku sebagai Paper Sons.

Paper Sons adalah istilah yang digunakan kepada orang-orang Cina yang lahir di Cina lalu secara ilegal berimigrasi ke AS dengan membeli dokumentasi penipuan yang menyatakan bahwa mereka adalah kerabat sedarah warga Cina di Amerika yang memiliki kewarganegaraan AS. Biasanya itu akan menjadikan imigran tersebut menjadi putra atau putri warga Amerika-Cina.

Termasuk kakek dari Sue Lee sendiri yang bernama Saw Lee, adalah salah satu dari Paper Sons tersebut. Ia mewarisi nama yang dirahasiakan. Memiliki nama-nama palsu menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Amerika-Cina, karena itu menjadi pengingat bahwa dengan itu mereka bisa bertahan hingga saat ini.

Selain itu, ada pula orang-orang Amerika-Cina yang mencoba untuk melawan melalui jalur hukum. Mereka menggugat dan berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka

Karenanya, ketika warga Muslim asal tujuh negara yang dilarang oleh Trump terjebak di bandara, ada sekelompok pengacara di bandara menawarkan bantuan hukum untuk melawan perintah eksekutif secara hukum.

Seorang pengacara dari kelompok advokasi Serikat Kebebasan Sipil Amerika Serikat (ACLU), Mitra Ebadolahi, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pada Ahad, 29 Januari 2017, ia datang ke Bandara Internasional John F. Kennedy di New York bersama “sepasukan pengacara” yang bertujuan untuk melindungi “kebebasan yang berharga” orang-orang yang mau masuk ke negara itu. (RI-1/P1)

Sumber: tulisan Massoud Hayoun di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Palestina
Kolom
Kolom
Eropa