Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menagih laporan keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 saat mengawali agenda Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Agama, Rabu (31/8).
Desakan tersebut dia sampaikan lantaran Kementerian Agama tidak menyertakan laporan keuangan penyelenggaraan haji di dalam bahan rapat kerja terkait evaluasi penyelenggaraan haji 2022 yang diterima oleh anggota Komisi VIII DPR RI.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU No.8/2019) Pasal 43 dan 51 dijelaskan, bahwa Menteri menyampaikan laporan hasil evaluasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji kepada Presiden dan DPR RI paling lama 60 hari terhitung setelah penyelenggaraan ibadah haji berakhir.
“Jadi saya melihat laporan ini masih belum dilengkapi sebagaimana mestinya, mengingat semua kegiatan terkait dengan penyelenggaraan haji ini basisnya adalah keuangan.,” ucap Bukhori saat agenda Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Agama, Rabu (31/8).
Baca Juga: BNPB: Banjir Bandang Melanda Tapanuli Sumut, Dua Orang Meninggal
Tanpa itu, kita tidak bisa melihat lebih jauh dan dalam sehingga membuat kami kesulitan membahas evaluasi haji ini secara memadai. “Karena itu, agar tidak membuang waktu, kami mengusulkan agenda raker ini dijadwalkan ulang saja sampai Kemenag melengkapi laporan keuangan haji,” ujarnya.
Meskipun usulan Fraksi PKS ini didukung oleh beberapa fraksi lain di Komisi VIII, pimpinan Komisi VIII memutuskan rapat kerja tetap dilanjutkan dengan agenda evaluasi haji secara umum sekaligus meminta Kementerian Agama segera menyelesaikan laporan keuangan haji 2022.
Anggota Badan Legislasi ini juga menyinggung soal tindak lanjut Kementerian Agama untuk menyampaikan surat keberatan kepada Arab Saudi atas tingginya biaya masyair yang ditetapkan sepihak di luar kontrak.
“Ketika perkara masyair ini terungkap, kami sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk menyampaikan surat keberatan soal biaya masyair ini karena itu kami ingin mengetahui sejauh apa tindak lanjutnya,” ucapnya.
Baca Juga: Rekor Baru MURI: 44.175 ASN Jabar Pakai Sarung Tenun, Bukti Cinta Budaya Lokal
Anggota Komisi Haji ini menekankan, negosiasi dengan Arab Saudi tidak mungkin dilakukan secara person to person, tetapi juga perlu dipertimbangkan strategi negosiasi melalui pendekatan informal dan kolaboratif.
“Dalam bayangan saya, posisi Indonesia yang saat ini didapuk sebagai Presidensi G20 dengan populasi muslim terbesar, sangat diperhitungkan oleh negara-negara lain, khususnya negara muslim. Dengan modal strategis itu, kenapa tidak kita manfaatkan untuk mengonsolidasikan negara-negara lain untuk mengantisipasi berbagai hal terkait kebijakan haji Arab Saudi di masa mendatang,” usulnya.
Pasalnya, Bukhori mengaku khawatir dengan kebijakan haji Arab Saudi yang dinilai semakin liberal dan berpotensi mengorbankan eksistensi Kementerian Agama dan BPKH.
“Undang-undang haji kita menekankan bahwa penyelenggaraan haji harus diselenggarakan oleh umat Islam, dalam hal ini travel haji dan umrah milik muslim, dan untuk umat Islam (Pasal 89 UU No. 8/2019). Namun sayangnya ketentuan ini hampir dihapus oleh RUU Ciptaker kala itu sehingga kami tolak dengan tegas. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa undang-undang yang ada saat ini pola pembentengan terhadap kepentingan umat Islam itu sangat tipis sekali, bahkan rentan dijebol jika tidak ada langkah antisipasi,” jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Dukung Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Sementara di sisi lain, Bukhori melanjutkan, ketika cadangan minyak Arab Saudi semakin menipis sehingga mengancam pendapatan utama mereka, maka yang menjadi satu-satunya sumber pendapatan potensial selain dari sektor migas adalah sektor pariwisata, dimana terdapat haji dan umrah di dalamnya.
“Arab Saudi benar-benar serius mewujudkan Visi Saudi 2030, salah satunya dengan memaksimalkan pendapatan dari sektor pariwisata. Ke depan, saya membayangkan orang yang akan berangkat haji sangat mungkin bisa dilakukan secara perorangan. Kebijakan haji tidak lagi berbasis kuota, tapi berbasis harga tertinggi,” katanya.
Dengan begitu, demikian politisi PKS ini melanjutkan, siapa yang bisa membayar lebih tinggi, maka tidak perlu menunggu berlama-lama. Calon jemaah cukup berkomunikasi langsung dengan pihak di sana (Arab Saudi), ditambah dengan terbukanya ruang bagi masuknya perusahaan-perusahaan fintech yang dapat membantu transaksi haji sehingga lebih mudah dan efisien.
Jika itu benar-benar terjadi, saya khawatir eksistensi Kementerian Agama dan BPKH dalam penyelenggaraan haji menjadi tidak lagi relevan, atau dengan kata lain, terancam bubar,” ujarnya.
Baca Juga: Gandeng MER-C dan Darussalam, AWG Gelar Pelatihan Pijat Jantung
Untuk itu, legislator dapil Jawa Tengah 1 ini berharap, Presiden Jokowi bisa memanfaatkan posisi Indonesia saat ini untuk menginisiasi konsolidasi dengan negara-negara muslim dalam rangka bernegosiasi dengan Arab Saudi terkait kebijakan haji.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Doa Bersama Menyambut Pilkada: Jateng Siap Sambut Pesta Demokrasi Damai!