Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

FAKTA-FAKTA PENTING SOAL PEMILU ISRAEL 2015

Rana Setiawan - Kamis, 19 Maret 2015 - 15:27 WIB

Kamis, 19 Maret 2015 - 15:27 WIB

1747 Views

AntaraNews - Netanyahu
Netanyahu Menangi Pemilu Israel (Antaranews)
Seorang Arab <a href=

Israel berjalan melewati sebuah poster kampanye yang menunjukkan kandidat Arab-Israel yang tergabung dalam Partai Persatuan Arab (dari kiri ke kanan), Ahmad Tibi, Jamal Zahalka, Masud Ghanayem dan Ayman Odeh, di Kfar Menda, 16 kilometer barat laut Nazaret, pada 8 Maret 2015. (AHMAD GHARABLI/Getty Images/CSMonitor)" width="300" height="173" /> Seorang Arab Israel berjalan melewati sebuah poster kampanye yang menunjukkan kandidat Arab-Israel yang tergabung dalam Partai Persatuan Arab (dari kiri ke kanan), Ahmad Tibi, Jamal Zahalka, Masud Ghanayem dan Ayman Odeh, di Kfar Menda, 16 kilometer barat laut Nazaret, pada 8 Maret 2015. (AHMAD GHARABLI/Getty Images/CSMonitor)

Oleh: Rana Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Lebih dari 5,8 juta pemukim Israel  Selasa (17/3) pergi ke 10.372 TPS ditempatkan di seluruh 25 wilayah pendudukan Israel untuk memilih pemerintahan baru.

Menurut Harian Israel Haaretz, pemungutan suara dimulai pada Selasa (17/3), pukul 07.00 pagi waktu setempat dan ditutup pada hari yang sama pukul 22.00 waktu setempat.

Dalam pemilu Israel itu, ikut 12 partai politik utama atau daftar pemilih gabungan untuk memperebutkan 120 kursi di Knesset (parlemen) Israel.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Secara garis besar, partai dan daftar pemilih dalam pemilu Israel kali ini terbagi menjadi dua kategori, Zionis dan non-Zionis, di mana hanya satu partai non-Zionis di antara semua partai berideologi Zionis, yaitu partai koalisi Persatuan Arab terdiri dari warga Palestina yang berada di wilayah jajahan Israel.

Sementara pada pemilihan kali ini diberlakukan aturan baru, di bawah sistem perwakilan di parlemen, semua partai di Israel dapat menempatkan wakil mereka jika mendapatkan lebih dari 3,25 persen suara rakyat, bukan 2% yang diperlukan dalam pemilu sebelumnya.

Di bawah sistem pemilu Israel, perdana menteri bukanlah pemimpin partai yang memperoleh kursi terbanyak tapi siapa pun dapat membangun koalisi memerintah mayoritas minimal 61 kursi di parlemen.

Hasil pemilu awal diumumkan Rabu (19/3), partai sayap kanan Likud yang dipimpin Netanyahu memenangkan pemungutan suara dengan memperoleh 30 kursi dari 120 kursi Knesset, disusul kedua terbesar partai kiri-tengah Zionis Union dengan perolehan 24 kursi.

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Partai koalisi Persatuan Arab secara mengejutkan menjadi partai terbesar ketiga dengan perolehan 14 kursi, disusul Partai Yesh Atid dengan 11 kursi, Kulanu dengan 10 kursi, Habayit Hayehudi dengan delapan kursi, Shas dengan tujuh kursi, Persatuan Yahudi Torah dengan enam kursi, Yisrael Beiteinu dengan enam kursi, dan Meretz dengan empat kursi.

Sementara Partai Yahad belum melewati minimum perolehan suara pemilu (electoral threshold).

Berikut beberapa fakta penting tentang pemilu Knesset ke-20 yang perlu Anda ketahui yang penulis rangkum dari berbagai sumber:

Satu dari tujuh warga Palestina dapat memilih dalam pemilihan umum Israel.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Hanya satu dari tujuh dalam jumlah total penduduk Palestina yang hidup di dalam perbatasan Israel pra-1967 dan masih dapat memiliki kewarganegaraan. Sebuah kekuasaan ketiga di bawah peraturan militer Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza tidak bisa memilih (meskipun pemukim ilegal Yahudi yang tinggal di antara mereka dapat memilih). Sementara itu, sekitar setengah dari semua rakyat Palestina dicegah dari kembali ke tanah air mereka oleh Israel; diusir, kecuali mereka yang dipaksa mempunyai alasan mengapa sebagian besar warga Israel adalah Yahudi.

Israel hanya pernah memiliki dua menteri dari non-Yahudi.

Sejak pendirian sepihak negara ‘Yahudi’ Israel pada tahun 1948, sekitar 600 menteri telah melayani di 33 pemerintahan. Hanya dua dari mereka non-Yahudi, dan mereka menjabat dan bertugas dengan total jika digabungkan sekitar tiga tahun.

Meskipun Israel secara nominal menganut demokrasi parlementer, selama sejarah hampir 67 tahun negara sepihak tersebut telah terjadi periode hanya sekitar satu tahun (1966-1967) bahwa Israel tidak memerintah atas sejumlah besar warga Palestina melalui keputusan militer, memberikan mereka tanpa hak-hak sipil dan politik hanya karena mereka bukan orang Yahudi.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Sistem politik Israel menganut sistem Apartheid.

Israel tidak memiliki konstitusi, hanya seperangkat hukum dasar yang mengacu pada kesetaraan selama mengatur sebuah sistem yang secara eksplisit sesuai keinginan Yahudi.

Menurut salah satu undang-undang, dilarang bagi partai politik atau kandidat untuk mempertanyakan status Israel sebagai negara Yahudi.

Sebagai negara yang secara sistematis mempunyai hak istimewa warga Yahudi atas orang-orang non-Yahudi, yang direkayasa untuk mempertahankan mayoritas Yahudi. Israel lebih akurat digambarkan sebagai penganut ethnocracy, atau negara apartheid.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Tidak ada pihak Arab yang pernah menjadi bagian dari sebuah koalisi yang berkuasa.

Setelah pemilu 2013, tokoh sentris Yair Lapid secara jelas mengesampingkan pembentukan sebuah aliansi taktis dengan pihak Arab, mengatakan ia “tidak akan bergabung, sebuah pemblokiran mayoritas, dengan Haneen Zoabi” – sebuah referensi pada anggota parlemen Kenesset perwakilan Palestina dari Balad.

Meningkatnya jumlah pemilih warga Palestina (Arab-Israel).

Terdapat 5.881.696 pemukim Israel (warga berusia di atas 18 tahun) yang memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilihan Knesset ke-20 Selasa kemarin.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun

Sebanyak 4.017.235 orang memberikan suara mereka dari 5,8 juta yang berhak untuk memilih, demikian Ma’an News melaporkan.

Jumlah tersebut mewakili 71,8 persen total pemilih dibandingkan dengan 67,8 persen pada pemilu terakhir pada tahun 2013.

Dalam pemilu Israel kali ini juga terdapat tanda-tanda peningkatan jumlah pemilih antara penduduk Arab-Israel terhadap pemilu sebelumnya.

Salah satu faktor utama adalah keputusan parta-partai Arab bersatu dalam satu koalisi, yang terdiri dari Majelis Nasional Demokrat (Balad), Front Demokratik untuk Perdamaian dan Kesetaraan (Hadash), cabang selatan Gerakan Islam, dan Gerakan Arab Pembaruan (Ta’al),  yang mengklaim partai pertama mewakili warga Palestina di wilayah pendudukan Israel.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Beberapa faksi Palestina mendesak pemboikotan pemilu Knesset.

Kelompok politik yang mendukung boikot pemilu termasuk Gerakan Islam cabang Utara, yang dipimpin Sheikh Raed Salah, dan gerakan Abn’a el-Balad, bersama dengan aktivis yang tidak terafiliasi juga juru kampanye mahasiswa.

Sementara Gerakan Perlawanan Hamas menegaskan, pihaknya tidak membedakan antar partai-partai Israel dan menolak bergantung pada hasil pemilunya.

Fokus Kampanye kesengsaraan sosial ekonomi.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Kampanye pemilu Israel kali ini telah difokuskan pada kesengsaraan sosial-ekonomi di Israel, seperti biaya hidup yang tinggi.

Bahkan, demonstrasi besar-besaran berlangsung 10 hari menjelang Pemilu Israel. Puluhan ribu demonstran pemukim Israel berunjuk rasa di Tel Aviv menentang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mendesak dilakukannya “perubahan”.

Aksi protes gelar organisasi akar-rumput Million Hands, yang melancarkan kampanye perjanjian perdamaian Israel-Palestina serta pembentukan Negara Palestina.

Masyarakat Israel menganggap, Netanyahu telah mengesampingkan perekonomian negara itu yang terpuruk, salah satunya soal harga perumahan yang naik, dan lebih mementingkan soal keamanan dalam negeri. Netanyahu disebut terlalu terobsesi dengan Iran dan nuklirnya.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Bangkitnya Partai Non-Zionis dengan meningkatnya perolehan suara.

Sejauh ini, catatan paling penting dari pemilu Israel kali ini adalah bangkitnya Partai Persatuan Arab, sebuah koalisi partai non-Zionis (kebanyakan warga Palestina), dan penurunan dukungan untuk partai ultra-nasionalis Yisrael Beiteinu yang dipimpin Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman, kemungkinan terkait skandal korupsi besar.

Pada tahun 2013, pihak Arab dijamin memperoleh secara gabungan 11 kursi di Knesset. Kali ini, Partai Persatuan Arab menjadi partai terbesar ketiga dalam pemilihan Parlemen Israel ke-20 itu dengan mendapatkan 14 kursi pada perhitungan awal.

Ironisnya, hukum menaikkan ambang masuk di Knesset menjadi 3,25% dari 2%, banyak pihak percaya peraturan baru itu dimaksudkan sebagai serangan terhadap partai Arab/Palestina/non-Zionis, mengakibatkan mereka menyatukan dalam sebuah koalisi bersama.

Ada kemungkinan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Israel, oposisi resmi di Knesset mendatang dapat terdiri dari partai-partai non-Zionis.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Pemilih Palestina khawatir tentang diskriminasi, pekerjaan, pendidikan.

Isu-isu utama yang dihadapi warga Palestina dari Israel kekhawatiran ekonomi (yaitu pengangguran dan penciptaan lapangan kerja), pendidikan, pembatasan perencanaan desa dan kota, penghancuran rumah (terutama di Negev), undang-undang rasis atau ultra-nasionalis, serta isu-isu lain yang berasal dari diskriminasi struktural yang dihadapi oleh non-Yahudi.

Saat malam menjelang penutupan pemungutan suara, rakyat Palestina, bergabung dengan beberapa pemukim Israel dan orang-orang asing, berbaris di dekat Abu Dis, Tepi Barat, dalam upaya untuk mengirim pesan menentang perluasan dan pembangunan permukiman ilegal Israel.

Para demonstran bentrok dengan pasukan keamanan Israel, dan beberapa demonstran ditahan, Haaretz melaporkan.

Contoh pendekatan rasis pemerintah Israel terhadap warga Arab diwujudkan pada Oktober 2000, ketika polisi Israel menggunakan peluru tajam terhadap warga sipil tak bersenjata yang melakukan aksi solidaritas mereka dengan rakyat Palestina di wilayah pendudukan. Tiga belas warga Palestina, di antaranya dua belas adalah pemukim Israel, ditembak mati.

Komisi resmi, dipimpin Hakim Theodor Or, menyerukan dan menegaskan bahwa polisi menggunakan kekerasan “berlebihan” dan tidak dapat dibenarkan, menambahkan polisi melihat warga Arab di entitas Zionis itu sebagai “musuh”.

Selama 18 tahun pertama keberadaan negara sepihak ‘Yahudi’ Israel (1948-1966), warga Palestina dari Israel diperintah melalui keputusan militer, tidak seperti warga Palestina di wilayah pendudukan. Meskipun mereka memiliki hak untuk memilih, warga Palestina dari Israel, yang membuat sekitar 20% dari total jumlah penduduk Israel (sekitar 1,7 juta orang) mengalami diskriminasi di hampir setiap aspek kehidupan publik dan swasta, mulai dari kepemilikan tanah dan reunifikasi hak keluarga, kesempatan kerja dan akses mendapatkan pendidikan tinggi.

Anggota Knesset dari Palestina Haneen Zoabi awalnya didiskualifikasi.

Pusat Komite Pemilihan Israel memilih untuk melarang dua kandidat: Haneen Zoabi – dengan 27 suara menjadi enam suara – dan sayap kanan Yahudi nasionalis Baruch Marzel – dengan 17 suara menjadi 16 suara. Kedua keputusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, meskipun pelarangan Zoabi didukung sebagian besar kandidat – termasuk pemimpin partai kiri Zionis Union, Isaac Herzog.

Di bawah hukum Israel, kandidat atau partai dilarang ikut pemilihan, antara lain, jika meniadakan keberadaan Israel sebagai ‘negara Yahudi’.

Aturan Knesset membatasi kemampuan Anggota Knesset asal Palestina untuk menantang diskriminasi struktural.

Knesset mengatur prosedur RUU yang diusulkan dapat melemahkan eksistensi Israel sebagai negara bangsa Yahudi – sebagai lawan semua warganya – akan ditolak.

Anggota Knesset asal Palestina sering menjadi sasaran penganiayaan politik.

Setelah di Knesset, Anggota Knesset asal Palestina sering menjadi sasaran penganiayaan bermotivasi politik. Di masa lalu, penganiayaan politik ini sudah termasuk penghentian dari Knesset, investigasi untuk mengunjungi sebuah ‘negara musuh’, dan penuntutan pidana berdasarkan tuduhan palsu. Lebih luas lagi, Shin Bet dalam catatan menyatakan upaya itu  untuk menggagalkan kegiatan kelompok-kelompok yang berusaha merongrong karakter Yahudi Israel.

Sementara pada tahun 2008, Mantan Kepala Badan Keamanan Internal Yuval Diskin, mengatakan kepada para pejabat Amerika Serikat (AS) bahwa banyak “penduduk Arab-Israel” mengambil hak-hak mereka “terlalu jauh.”(T/R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda